Krisis Air Ancam Ibu Kota Negara
Jakarta, Kompas – DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, telah lama mengalami krisis air. Masalah ini semakin lama kian kompleks. Persoalan ini bisa menjadi bom waktu yang dapat meledak setiap saat. Karena itu, pemerintah harus segera turun tangan mengatasinya secara sungguh-sungguh.
Berdasarkan pantauan Kompas, rakyat kecil yang hidup di Ibu Kota ini bagai pelanduk di tengah kompetisi memperebutkan air tawar yang semakin defisit. Mereka harus merogoh kantong dalam-dalam untuk mendapatkan air.
Bahkan, ada yang harus mengais air asin dari sumur-sumur dangkal, seperti yang dilakukan Siti Aminah (39) di depan rumah tetangganya di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Aminah memilih menggunakan air asin karena terlalu mahal baginya membeli air bersih Rp 3.000 per pikul, yang terdiri dari dua jeriken berukuran 40 liter. Meski sudah menghemat, dalam satu bulan dia bisa menghabiskan Rp 150.000 hanya untuk membeli air pikulan.
Tanpa terobosan kreatif, defisit air di DKI Jakarta diperkirakan bakal semakin parah. Dengan jumlah penduduk mencapai 11,4 juta jiwa tahun 2010 (termasuk pelaju harian), DKI membutuhkan air 26.938 liter per detik. Namun, air yang tersedia hanya sekitar 17.800 liter per detik (produksi air 15.000 liter per detik dan air curah olahan 2.800 liter per detik). Dengan demikian, defisit air di DKI mencapai 9.183 liter per detik.
Sepuluh tahun kemudian, defisit air di DKI Jakarta diperkirakan akan lebih parah. Dengan proyeksi penduduk sebanyak 13,4 juta jiwa di tahun 2020, defisit air diperkirakan mencapai 19.000 liter per detik.
DKI Jakarta juga tidak bisa mengandalkan daerah lain di sekitarnya. Pertarungan perebutan air antardaerah di Pulau Jawa bahkan akan semakin ketat. Pasalnya, Pulau Jawa hanya memiliki 4,5 persen cadangan air tawar nasional yang mencapai 1.957 miliar meter kubik per tahun. Sementara itu, Pulau Jawa dihuni 148 juta jiwa atau 65 persen penduduk Indonesia.
Saat ini saja, Dewan Sumber Daya Air DKI Jakarta mencatat, total kebutuhan air di Pulau Jawa pada musim kemarau adalah 38,4 miliar meter kubik. Sementara yang tercukupi hanya 66 persen. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan air ini akan memicu krisis air.
Staf Ahli Hubungan Antarlembaga PD PAM Jaya, Wibisono Harisantoso, mengatakan, persoalan air di Jakarta ini bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak suatu saat, mengingat Jakarta sangat bergantung pada pasokan air dari daerah lain.
Pasokan air baku warga Jakarta, menurut Badan Regulator Air Minum DKI, sebanyak 97 persen merupakan pasokan dari Tarum Barat dan Kali Cisadane. Hanya 3 persen yang diproduksi di wilayah Jakarta.
Selain terbatas, kata Wibisono, pasokan air baku terutama dari Tarum Barat juga telah mengalami penurunan kualitas, seiring dengan tingginya kandungan amonia.
Pemanfaatan 13 sungai
Seharusnya pemerintah bisa memanfaatkan 13 sungai dan 76 anak sungai yang mengalir di Jakarta sebagai sumber air baku. Namun, saat ini, mutu sungai tersebut belum memenuhi syarat karena tingginya tingkat pencemaran. ”Karena itu, inovasi teknologi perlu untuk atasi masalah ini,” kata Wibisono.
Kepala Badan Regulator Air Minum DKI Jakarta Kris Tetuko mengingatkan, pasokan air baku ke Jakarta juga fluktuatif, yaitu berlebihan pada saat musim hujan dan sebaliknya sangat kekurangan pada musim kemarau.
Tingginya debit air dari hulu bahkan memicu banjir, seperti terjadi di Kali Cikeas dan Cileungsi yang mengalir Kali Bekasi Januari-Februari 2013. Kali Bekasi bertemu dengan saluran Tarum Barat di Kota Bekasi.
Penyelesaian sifon yang memisahkan kedua saluran diharapkan mengatasi hambatan pasokan dan mengurangi pencemaran.
Keterbatasan pasokan air baku ke masyarakat juga masih jadi persoalan besar. Layanan melalui pemipaan di DKI Jakarta diperkirakan baru mencakup 44 persen dari total 12,5 juta jiwa populasi.
Mereka yang tersambung pipa pun masih banyak yang tidak menerima pasokan air. Akibatnya, sebagian penduduk masih harus mengandalkan sumber air tanah dangkal dan dalam.
Tata kelola
Krisis air di Jakarta juga disebabkan oleh buruknya tata kelola air bersih. Alih-alih memperbaiki tata kelola air, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI justru menambah rumitnya persoalan ini dengan melakukan privatisasi air.
Pada 6 Juni 1997, pemerintah menyambut kehadiran dua perusahaan swasta asal Inggris dan Perancis untuk mengelola air. Pengelolaan air di Jakarta dibagi dalam dua area besar dengan batas Kali Ciliwung di sisi barat dan timur.
Persoalannya, perjanjian kerja sama dengan dua operator ini dinilai tidak seimbang. Selain minim partisipasi publik, saat dibuatnya keputusan, perjanjian ini juga ternyata memperberat beban warga. PD PAM Jaya, kini, terlilit beban utang miliran rupiah.
Di sisi lain, tingginya tingkat pencemaran air baku meningkatkan biaya pengolahan air, sementara upaya menjaga kualitas air baku masih terkendala oleh beragam kepentingan. Di tengah kegaduhan saling melempar tanggung jawab, warga terkena dampaknya.
”Tata kelola ini memang harus diperbaiki. Salah satunya adalah negosiasi ulang dengan operator. Ini menyangkut tarif dan pengelolaan yang lebih adil,” kata Wakil Ketua DPRD DKI Sayogo Hendrosubroto.
Gubernur DKI Joko Widodo berjanji menambah pasokan air baku dari Tarum Barat, membatasi penyedotan air tanah dalam, dan meningkatkan kualitas kerja pengelola air bersih. Semoga ini memberi harapan. (RAY/FRO/MKN/PIN/ILO/NDY)
Sumber: KOMPAS, Senin, 18 Maret 2013.