Ketimpangan Makin Lebar
Jakarta, Kompas – Setelah 15 tahun Reformasi, ketimpangan ekonomi semakin lebar. Distribusi kekayaan masih berada di tangan segelintir orang. Demokratisasi ekonomi dan desentralisasi yang seharusnya menjadi instrumen untuk pemerataan disalahgunakan penguasa.
Eksesnya, pengerukan sumber daya alam makin besar. Di sisi lain, reformasi telah mengorbankan sektor pertanian yang seharusnya menjadi pilar dalam pemerataan ekonomi.
Beberapa perbandingan indikator antara sebelum Reformasi (1997) dan saat Reformasi (2012) menunjukkan perkembangan. Produk domestik bruto naik dari Rp 627,70 triliun menjadi Rp 8.241,86 triliun, rata-rata inflasi turun dari 10,27 persen menjadi 5,68 persen, dan jumlah penduduk miskin turun 34,01 juta menjadi 28,59 juta.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika dan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin yang dimintai komentar, Senin (20/5), terkait dengan perubahan selama Reformasi, sepakat bahwa ketimpangan ekonomi sejak sebelum Reformasi hingga kini belum tertangani. Ketimpangan malah kian lebar.
Erani mengatakan, dua isu utama reformasi ekonomi adalah demokratisasi dan desentralisasi. Dua isu ini digulirkan karena penguasaan ekonomi oleh segelintir orang yang sangat masif. Pada waktu itu aset yang besarnya mencapai 75 persen APBN dikuasai sekitar 300 orang. Di sisi lain, ketimpangan ekonomi Jawa dan luar Jawa terus meletupkan persoalan politik dan ekonomi, dikelola lewat pendekatan patronase.
Orde Reformasi berupaya melakukan koreksi agar ada persaingan berusaha yang adil dan kegiatan ekonomi lebih menyebar. Konsentrasi ekonomi pada segelintir orang berusaha dihilangkan. Pemerintah memilih liberalisasi perdagangan, finansial, investasi, dan tenaga kerja. Kemudian pada level mikro pemerintah melakukan perubahan tata kelola proses pemberian kewenangan untuk pemerataan pembangunan melalui desentralisasi.
”Akan tetapi, kita melihat ada yang lebih buruk dibanding sebelum Reformasi. Penguasaan pelaku ekonomi tidak berkurang, tapi malah memburuk. Laporan mengenai orang kaya Indonesia menyebutkan, sebanyak 40 orang kaya Indonesia memiliki aset setara separuh APBN sehingga konsentrasi ekonomi masih di segelintir orang,” kata Erani.
Situasi tersebut terkonfirmasi dari koefisien gini, koefisien yang menjadi indikator ketimpangan ekonomi. Semakin besar koefisien itu (mendekati angka 1), ketimpangan makin besar. Koefisien gini tahun 1997 sebesar 0,35, sementara pada tahun 2012 sebesar 0,41.
”Pembangunan di era Reformasi yang cenderung meliberalisasi berbagai sektor yang dianggap akan membuat iklim usaha lebih sehat karena pelakunya tidak terkonsentrasi pada orang tertentu, ternyata untuk sektor pertanian liberalisasi merupakan musibah. Petani tidak mendapatkan insentif memadai. Akibatnya, produksi kita jatuh dan makin tergantung impor. Sektor pertanian mengenaskan,” kata Erani.
Korban otonomi
Desentralisasi yang seharusnya menjadi alat untuk pemerataan ekonomi disalahgunakan oleh penguasa daerah. Kue ekonomi tidak terbagi merata di daerah. Penguasa daerah mengeksploitasi sumber daya alam sehingga merugikan warga setempat.
Pengamat perminyakan dan pertambangan Kurtubi menambahkan, sistem pengelolaan pertambangan saat ini sangat buruk. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya penerimaan negara dari sektor pertambangan meski terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya pertambangan. Pemerintah juga dinilai lemah dalam mengendalikan produksi mineral dan batubara karena tidak bisa ikut mengontrol biaya produksi dan penjualan komoditas tambang tersebut.
Menurut Kurtubi, hal itu mengakibatkan kedaulatan negara atas sumber daya pertambangan menjadi hilang. Pemerintah juga kesulitan merenegosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan pertambangan pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan karena terikat kontrak.
Bustanul Arifin mengatakan, desentralisasi dan demokratisasi seharusnya menjadi tonggak awal reformasi, tetapi ada kesempatan yang tidak termanfaatkan sehingga reformasi berjalan tidak sesuai arah. Dalam konteks demokratisasi, ada kesempatan untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan dan kesamaan akses.
Ia menambahkan, apabila desentralisasi dilaksanakan dengan benar, sektor pertanian akan makin baik karena sektor pertanian menjadi salah satu pilar untuk pemerataan pembangunan di daerah. Pemburukan terjadi karena ketahanan pangan semakin turun, kepemilikan lahan petani semakin sempit.
”Semangat reformasi belum menjadi kebijakan operasional. Penyebabnya, entah salah kebijakan atau pengambil kebijakan tidak paham atau tak ada pemimpin? Semangat reformasi tak salah, tetapi pelaksanaannya yang tidak ada,” katanya.
Sektor industri yang menjadi andalan penyerapan angkatan kerja dan menekan angka pengangguran pun kini juga merosot. Pada era Orde Baru, industri bisa tumbuh melebihi 10 persen setiap tahun, bahkan di atas angka pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, menyusul terjadinya krisis moneter, pertumbuhan sektor industri pun menurun di bawah 10 persen, jauh di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional.
”Penurunan pertumbuhan industri tersebut juga akibat kendala terbatas dan buruknya infrastruktur. Suplai energi, baik listrik maupun gas, menjadi hambatan bagi industri, sesuatu yang belum terasa di masa Orde Baru,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi.
Otonomi daerah sebagai buah reformasi kerap pula menciptakan hambatan bagi tumbuhnya industri dan membebani perusahaan. Izin gangguan yang sebelumnya berlaku seumur hidup, misalnya, di beberapa daerah kemudian diatur harus diperpanjang untuk setiap rentang waktu tertentu.
”Bahkan ada pula pemerintah daerah yang mengatur izin gangguan di kawasan industri. Padahal, kawasan tersebut sudah diperuntukkan bagi kebutuhan industri sehingga izin semacam itu seharusnya tidak perlu lagi,” kata Dedi.
Baru di tahun 2012 sektor industri pengolahan nonminyak dan gas bumi tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Industri pengolahan nonmigas tumbuh 6,26 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang 6,23 persen.
Industri minyak dan gas bumi yang dua kali mencapai puncak produksi minyak nasional hingga 1,6 juta barrel per hari semasa Orde Baru kini sirna. Selain itu, banyak cadangan migas di Indonesia ditemukan, didukung kegiatan eksplorasi yang sangat gencar. Sementara itu, harga minyak mentah terus meningkat. Kini produksi minyak hanya 840.000 barrel per hari. Ketahanan energi Indonesia kritis akibat bergantung pada impor. (K07/ARN/EVY/CAS/BEN/MAR)
Sumber: KOMPAS, Selasa, 21 Mei 2013.