Kembalikan Kemilaunya Ratu dari Timur
Pada abad ke-16, Oud Batavia (Batavia Lama atau Kota Tua saat ini) merupakan salah satu pusat perdagangan utama di Asia. Keindahan dan kemegahan kota yang selesai dibangun Gubernur Jenderal Verenigde Oostindische Compagnie Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) tahun 1960 itu tersohor hingga ke Eropa. Para pelayar dari Eropa menjuluki kota itu sebagai ”Ratu dari Timur”.
Namun, pada awal abad ke-18, ada wabah penyakit tropis, seperti malaria, kolera, disentri, dan tifus, di Batavia Lama. Oleh karena itu, pusat pemerintahan Hindia Belanda dipindahkan dari Batavia Lama ke kawasan Weltevreden (Lapangan Banteng). Itulah awal dari tertidurnya Ratu dari Timur, yang berada di daerah Jakarta Barat dan Utara tersebut.
Itu terlihat dari tidak terawatnya beberapa situs bangunan kuno di sana hingga kini. Bahkan, kini, beberapa bangunan kuno itu tak ada atapnya karena telah roboh, dindingnya mengelupas dan berkerak.
Padahal, bila dimaksimalkan, Ratu dari Timur bisa menjadi aset wisata andalan bagi DKI Jakarta. Terbukti, hampir setiap hari, kawasan Kota Tua selalu ramai dikunjungi wisatawan, lokal dan asing. Para pengunjung itu, umumnya, penasaran untuk menikmati suasana masa kolonial saat di Kota Tua.
Media belajar
Berdasarkan pantauan Kompas, sebagian besar wisatawan Kota Tua merupakan anak- anak muda, pelajar, dan mahasiswa, serta sebagian lainnya adalah keluarga. Umumnya, para wisatawan itu mengaku datang ke Kota Tua untuk rekreasi dan belajar mengenai sejarah masa lalu.
Menurut salah seorang wisatawan asal Jakarta, Yuni (35), Kota Tua merupakan suatu media belajar yang nyata. ”Generasi saat ini bisa mengambil pengalaman tentang kejayaan dan kegagalan masa lalu dari keberadaan Kota Tua. Nantinya, pengalaman itu bisa digunakan sebagai bekal untuk menata masa depan yang lebih baik,” ujar Yuni yang berprofesi guru taman kanak-kanak.
Sementara itu, dari data kunjungan ke Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) di Kota Tua pun menunjukkan animo masyarakat untuk rekreasi sejarah sangat besar.
Staf Tata Usaha Museum Sejarah Jakarta Supriadi mengatakan, pada hari kerja, rata-rata jumlah kunjungan museum sekitar 1.000 orang per hari. Pada akhir pekan atau hari libur, jumlah pengunjung museum 2.000-3.000 orang per hari.
Upaya revitalisasi
Namun, sayangnya, animo masyarakat yang tinggi untuk mengunjungi Kota Tua tidak diikuti dengan sarana dan prasarana yang memadai di sana. Hal itu tampak dari minimnya keberadaan toilet umum yang layak, wadah sampah di tiap sudut wilayah, tempat duduk yang nyaman, dan pusat informasi wisata (tourism information center), serta jaringan internet.
Pemerhati Kota Tua, Hendra (38), mengatakan perlu keseriusan dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, untuk merawat kawasan Kota Tua.
”Pemerintah harus benar-benar memperhatikan beberapa hal, yaitu kebersihan dan keamanan lingkungan, serta ketertiban bagi para pedagang kaki lima ataupun kendaraan bermotor. Adapun masyarakat harus turut sadar dan berperan aktif menjaga kawasan Kota Tua.”
Perilaku menjaga
Sementara itu, Menurut Gathut Dwi Hastoro, Kepala Unit Pengelola Kawasan Kota Tua, permasalahan yang selama ini dihadapi pihaknya adalah kendala budaya dan sikap. ”Kesadaran semua pihak untuk merenovasi, memperbaiki, merawat, dan menjaga kawasan Kota Tua masih sangat kurang,” ujarnya.
Untuk itu, Gathut mengatakan, pihaknya selalu berupaya mendorong semua pemangku kepentingan (stakeholder), seperti pemerintah dan pemilik bangunan, untuk merenovasi dan memperbaiki bangunan-bangunan cagar budaya itu.
Adapun kepada semua penikmat Kota Tua, seperti pengunjung dan pedagang, diharpakan turut menjaga dan memelihara semua bangunan cagar budaya tersebut.
”Kalau situs bangunan kuno di Kota Tua tidak terawat, pastinya kurang menarik untuk dilihat. Apabila dibiarkan, maka bukan tidak mungkin bangunan-bangunan itu akan hancur. Oleh karena itu, marilah kita semua bersatu untuk melestarikan semua situs bangunan kuno itu,” pesannya.
Melihat situasi itu, tegakah kita membiarkan Ratu dari Timur terus tidur lelap, bahkan lenyap? Jangan sampai Ratu dari Timur menghilang, dan generasi masa depan tak bisa lagi melihat sejarahnya. (K04)
Sumber: KOMPAS, Senin, 20 Mei 2013.