Keindahan Alam yang Mendunia
Matahari belum juga muncul. Gelapnya pagi masih pekat. Kami sudah bersiap di lapangan parkir Taman Nasional Danau Kelimutu sejak pukul 04.00. Tak lama, Kepala Resor TN Danau Kelimutu Mansur mendatangi kami.
”Mari mulai jalan sebelum matahari muncul,” ajaknya.
Semakin pagi kami memulai perjalanan, kami tak perlu berjalan terburu-buru. Diperlukan waktu 30-45 menit untuk berjalan kaki dari pelataran parkir ke tugu puncak yang menjadi tempat berkumpul menyaksikan Danau Kelimutu, berada di ketinggian sekitar 1.630 meter di atas permukaan laut.
Jalur menuju tiga danau yang berada di Gunung Kelimutu ini dibuat berundak, yang kiri kanannya dibatasi pegangan besi meskipun di beberapa tempat tak ada pembatasnya.
Bersamaan dengan merekahnya sinar matahari di pagi hari, kami menyaksikan keelokan tiga danau yang warna airnya berbeda-beda itu. Sensasi yang muncul dari kilauan air danau saat memantulkan sinar matahari pertama kali membuat kami terpikat.
Taman Nasional Danau Kelimutu berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Kawasan seluas 5.365 hektar itu terbagi menjadi empat zona, yakni zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona rehabilitasi.
Zona inti mencakup tiga Danau Kelimutu, sementara zona pemanfaatan meliputi jalur dari pos masuk TN sampai tugu puncak Gunung Kelimutu. Zona rimba mencakup arboretum dan zona rehabilitasi untuk kegiatan rehabilitasi tanaman.
Zona inti jelas tidak boleh diakses masyarakat dan wisatawan. Itu sebabnya, ketiga danau dikelilingi pagar besi.
Air di tiga danau—yang sebenarnya berupa kawah Gunung Kelimutu—itu berbeda warna, bahkan bisa berubah-ubah warnanya. Pada Agustus 2012, misalnya, air Tiwu Nua Muri Koo Fai berubah warna, dari hijau muda menjadi hijau muda keputih-putihan. Pada waktu yang sama, air Tiwu Ata Polo berwarna hijau toska, sedangkan air Tiwu Ata Mbupu berwarna hijau lumut kehitaman.
Berdasarkan data Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Balai Taman Nasional Kelimutu, dalam kurun waktu 1915-1968, 1980-1997, dan 1997-2006, warna air Danau Kelimutu berubah setidaknya 72 kali. Ketika diteliti BCChMM van Suchtelen tahun 1915, danau kawah Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau jamrud, Tiwu Ata Polo berwarna merah darah, dan Tiwu Ata Mbupu berwarna putih.
Pada Oktober 2009, warna ketiga danau nyaris sama, yakni hijau muda. Pada Desember 2011, Tiwu Nua Muri Koo Fai berubah warna lagi dari hijau toska menjadi hijau telur asin.
Pada 3 Juni 2013, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sempat meningkatkan status Gunung Kelimutu dari aktif normal menjadi waspada. Saat itu, warna air Tiwu Nua Muri Koo Fai berubah, dari hijau muda ke coklat seperti kopi susu.
Wisata
Nama Danau Kelimutu cukup termasyhur di kalangan wisatawan domestik dan asing. Menurut catatan Taman Nasional Danau Kelimutu, wisatawan yang berkunjung ke TN sekitar 9.000 orang pada tahun 2009-2010. Jumlahnya meningkat drastis menjadi sekitar 12.000-15.000 orang pada tahun 2011-2012.
Setiap orang yang masuk ke area TN Danau Kelimutu harus membayar retribusi, Rp 6.000 untuk mobil dan Rp 3.000 untuk sepeda motor. Untuk turis domestik wajib membayar retribusi Rp 2.500 per orang dan turis asing Rp 20.000 per orang.
Dari retribusi ini, TN Danau Kelimutu menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 800 juta kepada Kementerian Kehutanan, pada tahun 2012.
Mendunianya Danau Kelimutu sebagai obyek wisata memang membuat bangga. Namun, menurut Mansur, ada dampak ikutan dari meningkatnya jumlah wisatawan, yakni bertambahnya jumlah sampah. Pasalnya, tidak semua wisatawan sadar lingkungan, dengan membuang sampah di tempat sampah yang disediakan.
Perilaku wisatawan lain yang merusak adalah aksi mencoret-coret kawasan taman nasional. ”Oleh karena itu, kami tak bosan-bosannya mengingatkan wisatawan. Hal yang tak kalah penting adalah menjaga kata-kata dan perilaku di kawasan ini sebagai bentuk penghormatan atas adat istiadat,” kata Mansur.
Bagi Balai TN Danau Kelimutu, geliat wisata ini harus melibatkan masyarakat sekitar kawasan. Dengan demikian, sikap saling menjaga karena rasa memiliki akan tumbuh.
Saat ini, ada sekitar 30 warga masyarakat sekitar TN yang dilibatkan sebagai pemandu wisata lokal. Ada pula ojek wisata yang berjumlah 45 orang, yang melayani ojek dari Desa Moni, desa terdekat di kaki Gunung Kelimutu, dan 26 pedagang. Para pedagang ini bisa merangkap sebagai pemandu lokal, termasuk menyediakan teh hangat di tugu titik pandang.
Salah seorang wisatawan domestik yang kami jumpai di puncak Gunung Kelimutu adalah Jack Madewa (42). Warga Cilandak, Jakarta Selatan, itu mengaku telah beberapa kali mengunjungi Pulau Flores, termasuk Danau Kelimutu.
Menurut Jack, potensi Pulau Flores yang luar biasa belum ditunjang fasilitas yang memudahkan wisatawan domestik dan asing. Ia mengkritik ketiadaan akses transportasi umum dari Kota Ende ke Danau Kelimutu. Wisatawan harus menyewa mobil dengan tarif Rp 400.000-Rp 600.000.
Turis asal Jerman, Andreas (35), pagi itu terpesona dengan keindahan Danau Kelimutu, yang informasi awalnya ia tahu dari internet. ”Sangat unik. Apalagi warna air bisa berubah-ubah. Ini sungguh langka. Semoga suatu saat saya bisa kembali ke sini lagi,” harap Andreas.
Gairah Jasa
Semakin banyak jumlah kunjungan wisatawan ke Danau Kelimutu turut menggairahkan kehidupan desa-desa di dekat Gunung Kelimutu, seperti Desa Moni dan Desa Konara. Homestay atau penginapan bermunculan, beriringan dengan restoran kecil atau tempat makan.
Sylvestre Sukur (45), warga Desa Konara, turut menikmati ”kue” wisata itu dengan menyewakan dua kamar kepada wisatawan, tarifnya Rp 250.000-Rp 300.000 per malam. Sylvestre yang sehari-harinya bertani itu bahkan hafal puncak kunjungan wisatawan ke Danau Kelimutu, yakni sekitar Juli-Agustus dan menjelang pergantian tahun.
Sama halnya dengan Rustam Abubakar (41), warga Desa Moni, yang bisa sibuk hingga larut malam di penginapan dan kafe miliknya. Rustam bersama keluarganya menjalankan bisnis jasa, yang dimulai dari penginapan pada tahun 1990. Baru beberapa tahun terakhir mereka merambah bisnis kafe, seiring berkembangnya wisata TN Kelimutu beberapa tahun terakhir ini.
Untuk meningkatkan keahlian, para pelaku jasa di bidang pariwisata ini mengikuti pelatihan dan kursus, seperti bahasa asing, memasak, dan manajemen perhotelan.
Selain di Kecamatan Kelimutu, remah ”kue” wisata TN Kalimutu juga mampir di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, di sisi utara Kelimutu. Turis juga mampir ke Kampung Adat Jopo di Desa Jopo, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende.
Suvenir dan Kesenian
Tawa sekelompok wisatawan di teras bungalo, alunan alat musik tradisional dan tepuk tangan penontonnya, serta deru mesin kendaraan yang sesekali melintas membuat Desa Moni tetap hidup hingga larut malam. Penduduk lokal memburu ”kue” pariwisata dengan menjadi pemasar suvenir, penjaja makanan di lokasi wisata, dan pementas kesenian tradisional.
John Mbulu (35), warga Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, misalnya, menjajakan kopi di TN Kelimutu. ”Hasil tak menentu, tetapi rata-rata habis dua termos dari 20 sachet kopi sehari, bisa dapat Rp 100.000,” ujarnya.
Sementara Maria Dorce (42) menyelenggarakan pentas kesenian bersama 30 anggotanya di grup Anakalo. Kami sempat menyaksikan Anakalo menari Jara Mbao atau kuda lumping dan delapan tarian lain, termasuk tari perang Ayo Aye yang menggambarkan perjuangan warga merebut lagi tanah yang dirampas orang.
”Selalu, kalau ada tamu pasti kami tampil. Sehari bisa lima kali tampil. Tergantung permintaan pengunjung,” kata Maria yang sudah 20 tahun menyanyi dan menari tradisional. Mayoritas dari 30 anggotanya berusia remaja, sebagian besar sanak keluarga.
Seusai pentas, sebagian anggota grup dan warga menjajakan suvenir khas daratan Flores, yakni kain tenun yang mereka produksi sendiri. Ada beberapa remaja yang menawarkan gelang, gantungan kunci, dan kerajinan tangan berbahan kayu atau bambu dengan harga belasan ribu hingga puluhan ribu rupiah.
Danau Kelimutu telah memikat wisatawan dari berbagai negara. Geliatnya ikut dinikmati masyarakat yang tinggal di sekitar TN Kelimutu. Alangkah indahnya Flores, Indonesia.(APO/SEM/MKN/IDR/HAM/OTW/MUK)
Sumber: KOMPAS, Jumat, 11 Oktober 2013.