Institusionalisasi CSR itu Sulit Dijalankan
Dalam lima tahun ke belakang, muncul semacam kecenderungan atau trend tentang institusionalisasi, apakah kemudian berupa standarisasi dan/atau regulasi mengenai Corporate Social Responsibility (CSR). Seiring perkembangannya, CSR dimaknai secara beragam. Namun demikian, manurut mainstream pemahaman dari CSR itu sendiri yaitu merupakan komitmen dan tindakan organisasi dalam mengantisipasi atau menanggulangi dampak lingkungan alam dan sosial yang ditimbulkan dari operasionalisasi mereka. Sehingga sifatnya merupakan sukarela berdasarkan komitmen masing-masing organisasi. Dalam dunia organisasi sendiri, mutu atau kualitas sebuah lembaga atas produk yang dihasilkan seringkali dikompetisikan untuk menguji keunggulan satu di antara yang lain. Pada prosesnya dibutuhkan standarisasi baik berupa ISO 9000 dll. Perkembangan terus berlanjut hingga RUU tentang CSR itu sendiri. Sejauh mana institusionalisasi (baik oleh lembaga maupun pemerintah) ini mempengaruhi perkembangan diskursus dan praktek CSR di tanah air? Kemungkinan yang terjadi dan tantangan-tantangan CSR di Indonesia di masa datang seperti apa? Bagaimana sepatutnya CSR dipahami? Dan perkembangan sekaligus perbandingan CSR di negara-negara lain, berikut wawancara Galang dengan Noke Kiroyan, Managing Partner pada sebuah lembaga yang bergerak di bidang solusi bisnis dan komunikasi strategis di Jakarta. Beliau juga adalah seorang yang concern sekaligus pelaku dalam membidangi CSR.
Kami melihat beberapa tahun terakhir ada kecenderungan atau trend institusionalisasi terhadap konsep dan praktik CSR. Hal itu terlihat pada upaya untuk melakukan standarisasi, regulasi yang diiringi dengan pemberian insentif dalam bentuk pengurangan pajak dan punishment. Bagaimana Bapak melihat kecenderungan tersebut?
Pada dasarnya semua yang diinstitusionalisasikan akan lebih berbobot dari pada yang berada di tataran yang tidak institusional. Konsep CSR sendiri saat ini sudah relatif dikenal dan diimplementasikan dengan baik. Jadi, upaya untuk melakukan institusionalisasi CSR pada dasarnya upaya yang bagus. Saya kira upaya ini juga baik untuk pemahaman CSR secara bersama. Karena, sampai sekarang belum ada yang namanya pemahaman baku, walaupun ada yang namanya mainstream atau pemahaman yang paling banyak dianut. Dalam pemahaman dan praktiknya, CSR diperlakukan berbeda-beda di masing-masing negara. Misalnya, CSR di China berbeda maksudnya dengan pemahaman CSR kebanyakan, di mana ia dimaksudkan mendukung program partai komunis. Pemahaman CSR secara mainstream terutama dikaitkan dengan sustainable development. Salah satu pemahaman atau definisi yang mainstream, sebagai contoh yang sering saya kemukakan adalah, definisi dari World Bank. CSR dimaknai sebagai komitmen dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan yaitu bekerja sama dengan para pemangku kepentingannya.
Hanya saja di pihak lain, CSR merupakan pemahaman atau suatu pengertian yang masih mengalami evolusi dan belum diketahui sejauh mana ia akan berkembang. Dengan arus pemahaman yang berkembang seperti sekarang ini nampaknya sudah mengarah kepada yang mainstream. Namun, jangan dilupakan juga bahwa kalau kita ingin menginstitusionalisasikan ini, terutama karena belum adanya standarisasi, kepentingan negara berkembang dengan negara industri yang sudah lebih maju perekonomiannya akan berbeda. Ini akan sangat nyata kalau kita bertemu dalam forum-forum internasional mengenai CSR. Di antara negara-negara berkembang akan berbicara banyak mengenai bagaimana kita berkontribusi mengurangi kesenjangan sosial. Karena itu, program-program community development akan mendapat porsi yang jauh lebih besar bahkan sangat besar. Namun, isu tersebut sama sekali tidak relevan untuk negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris, yang akan lebih banyak menitikberatkan pada isu hak asasi manusia, hak buruh, dan urusan lingkungan.
Sementara itu, kita sendiri tidak banyak memasukkan pemahaman lingkungan di dalam CSR, sehingga isu lingkungan dianggap isu tersendiri. Ini penangkapan saya dari beberapa forum diskusi. Lingkungan kadang-kadang menjadi isu tersendiri sehingga ada suatu gagasan tentang CSR lingkungan. Ini gagasan yang menurut saya sebenarnya tidak masuk akal. Pada hari bumi beberapa bulan lalu, saya diminta bicara sebagai ketua konsorsium CSR. Saya katakan, kalau kita bicara CSR, maka kita juga harus memasukkan aspek lingkungan. Jadi kalau kita masih bicara atau ingin membentuk lembaga CSR lingkungan, akan sangat tidak produktif dan akan membiaskan pemahaman tentang CSR itu sendiri karena tidak ada yang namanya CSR lingkungan. Kalau kita bicara tentang sustainable developemnt itu otomatis mencakup pemahaman tentang lingkungan dan kepedulian terhadap lingkungan dan upaya kita menjaga kelestariannya. Di mana social development mencakup persoalan economic, social, dan environmental.
Kira-kira kekhasan apa yang menjadikan CSR tidak bisa dicampuradukkan dengan social responsibility lainnya di instansi atau institusi lainnya?
Kalau kita bicara corporate social responsibility itu subjek dan fokusnya jelas. Subjeknya adalah lembaga dan fokusnya adalah menuntut adanya perilaku tanggung jawab dari dunia usaha. Sedangkan jika kita bicara social responsibility dalam kaitannya ISO 26000 sangat tidak jelas. Karena ia mencakup semua organisasi termasuk pemerintah, LSM dan lembaga. Jadi, bagi saya, fokus merupakan faktor yang penting. Saya kira akan lebih mudah dibangun pemahaman bersamanya. Tuntutannya juga datang dari sesama lembaga. Jadi ada semacam peer pressure dari pihak lembaga itu sendiri. Tapi kalau pemahamannya social responsibility dalam CSR dikaburkan oleh ISO 26000, maka akan lebih jauh dari pencapaian dari tujuan CSR. Karena, CSR saja sampai saat ini belum dipahami secara seragam.
Perbedaan antara sustainable report misalnya, dengan mekanisme yang sudah ada dengan ISO 26000, dan apa yang sekarang sebenarnya sudah dianggap bagus?
Kalau ISO 26000 lebih banyak pada membuat standar-standar, kalau sustainable reporting lebih pada hal-hal yang mungkin dapat diukur karena acuannya yang jelas seperti accounting. Jadi ada tahapan atau guide-line mengenai upaya-upaya yang perlu dilakukan. Ini juga masih dilakukan dalam tataran sukarela dengan berupaya melakukan standar-standar yang ketat yang mendukung sustainability seperti keuangan, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jadi, mereka yang melakukan itu akan membuat beberapa parameter apa yang dilakukan dari tahun ke tahun untuk memperbaiki kehidupan sosial atau juga lingkungan fisik sekitarnya. Dalam lingkungan sosial, di dalamnya juga tercakup. Misalnya, dari lembaga melaporkan setiap tahun terjadi peningkatan jumlah karyawan wanita. Meskipun demikian, memang tidak ada standard bahwa jumlah pekerja wanita harus fifty-fifty. Karena, pada kondisi tertentu di daerah tertentu susah mencapai angka tersebut.
Beberapa lembaga mengkhawatirkan pengaturan CSR ini akan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk mengambil dana-dana CSR dari lembaga yang beroperasi di daerahnya.
Kata-kata “dana CSR” ini sebenarnya mengerikan. Karena memang tidak ada yang namanya dana CSR. Ini adalah suatu kekhawatiran bahwa akan ada suatu penghimpunan dana, yang tadinya ada pada tingkat pusat. Kerena ada juga ucapan atau pengakuan akan ada penghimpunan dana CSR oleh pemerintah. Padahal kalau dikumpulkan oleh pemerintah sama saja dengan pajak? Dan kenyataannya di daerah, dengan adanya UU No. 40 ini, telah mewajibkan CSR bagi organisasi di daerahnya bahkan sudah ada beberapa daerah yang mengeluarkan perda. Hal ini terjadi karena tidak ada acuannya, dan akan membuat situasi akan berantakan. Di samping tiap daerah memiliki pemahaman yang berbeda. Oleh pemerintah daerah Jakarta sekalipun, pernah ada ucapan bahwa kita akan minta dana CSR dari lembaga untuk turut menanggulangi banjir. Padahal yang ada adalah Corporate Social Responsibility, dan bukan dana Corporate Social Responsibility.
Aspek-aspek lain yang menjadi tantangan dalam pemahaman CSR?
Pertama-tama tentu kesadaran. Banyak lembaga yang mengatakan sudah melakukan kewajibannya sehingga enggan melaksanakan CSR. Misalnya, dengan membayar pajak mereka beranggapan berarti bebas perkara. Itu sama saja dengan pendapat Milton Friedman, dan itu tidak kontekstual dengan Indonesia. Sedangkan untuk negara seperti Indonesia, dunia usaha justru mempunyai tanggung jawab lebih. CSR juga dikontekstualkan dengan persoalan-persoalan riil yang dihadapi Indonesia. Misalnya, persoalan korupsi dan penyuapan. Menurut hemat saya, menghindari atau melawan korupsi merupakan tanggung jawab sosial lembaga juga. Lembaga harus tuntut serta dalam memberantas praktek-praktek korupsi, meskipun banyak orang tidak mengaitkan anti korupsi sebagai bagian dari CSR. Karena itu, IBL sebagai salah satu lembaga yang mempromosikan CSR di Indonesia juga berupaya untuk mengaitkan aspek CSR dengan persoalan korupsi. Kita bekerja sama dengan KPK sudah sejak 4 tahun lalu dalam menyelenggarakan sosialisasi mengenai anti korupsi di berbagai daerah melalui kegiatan lokakarya dan lain-lain.
Bagaimana dampak regulasi dan standarisasi terhadap perkembangan CSR di Indonesia? Bagaimana pula kaitan CSR dengan bidang-bidang lain, misalnya PR (Public Relation)
Diskusi seputar CSR ini mendapat perhatian yang serius dalam setahun terakhir, khususnya karena UU No. 40 tentang Perseroan Terbatas yang di dalamnya juga menyinggung tentang CSR. Istilah dan konsep CSR menjadi makin populer karena undang-undang tersebut. Saya kira kita lihat sisi positifnya dari keberadaan UU PT itu. Karena banyak orang bicara CSR, maka yang lain akan mencari informasi mengenai CSR.
Saya lihat juga ada upaya untuk mengaitkan konsep dan implementasi CSR, misalnya, dengan publik relation. Orang mulai mencoba mengaitkan CSR kemudian PR. Bisakah CSR itu digunakan sebagai sarana untuk mengangkat imej lembaga. Saya kira itu sah-sah saja. Namun, yang perlu diingat, dalam melakukan PR kita tidak bisa mengkomunikasikan hal yang keliru. Jadi, kita harus melakukan CSR yang benar dulu sebelum mengkomunikasikannya kepada stakeholder kita. Kalau kita tidak melakukan itu, maka sebagai organisasi kita tidak melakukan apa yang dinamakan risk-management. CSR itu sebenarnya ada kaitannya dengan kepentingan organisasi dan juga merupakan bagian dari risk-management. Kita mengurangi kemungkinan diserang, dan itu akan berpengaruh pada reputasi lembaga. Kalau kita melakukan CSR yang baik, maka niscaya reputasi kita akan menjadi baik pula. Hanya saja, kalau lembaganya sudah bermasalah, misalnya menggelapkan dana BLBI, apapun yang akan dilakukan tidak akan berdampak. Jadi, yang perlu diutamakan adalah menyelesaikan persoalannya dengan memprioritaskan pembayaran dana yang menjadi tanggungan.
Saya kira itu pemahaman PR yang keliru. PR itu hanya bisa mengkomunikasikan hal-hal yang baik. Jadi kita harus memiliki kinerja yang baik terlebih dulu, baru kita bisa “PR-kan”, karena jika dalamnya busuk begitu juga yang akan tercium ke luar. Begitu halnya dengan CSR, jika hanya mencoba untuk mengemasnya dalam bentuk PR maka tidak akan sustainable (tidak akan langgeng). Karena lambat laun akan terlihat diskrepansi antara kenyataan dengan apa yang dikatakan. Tidak adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan akan membuat reputasi rusak, sehingga tujuan PR tidak dapat tercapai juga. Karena PR ingin mencapai reputasi yang baik.
Kalau prinsip-prinsip CSR yang sustainable itu seperti apa? Kadang-kadang ukuran keberhasilan dan keberlanjutannya dikaitkan dengan adanya divisi khusus CSR, adanya dana tetap, adanya kebijakan, dll.
Kembali kepada komitmen. Kalau kita mempunyai komitmen, tentu hal itu akan dapat disesuaikan dengan pertumbuhan organisasi. Organisasi saya ini kecil, cuma 14 orang, dan jelas mempunyai keterbatasan. Tapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan CSR, contohnya dalam bidang lingkungan, dalam bidang anti korupsi, dan juga kita bisa melakukan voluntarism misalnya. Program kemudian kegiatan-kegiatan di mana kita berasal dari pihak organisasi membebaskan karyawan untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Itu kan juga suatu sumbangan, walaupun in-kind. Tapi kalau banyak yang melakukan itu, tentunya ada manfaatnya bagi masyatakat.
Jadi, bagaimana jalan yang terbaik untuk tetap mengembangkan CSR tanpa merubah naturenya?
Saya kira kita perlu mengembangkan komitmen ini, khususnya di kalangan organisasi. Oleh karena itu saya tidak membicarakan tentang SSR tapi mengenai CSR. Jadi CSR subjeknya jelas yaitu organisasi, sedangkan fokus di dunia usaha yaitu harus melakukan kegiatannya dengan memenuhi norma-norma tertentu dan bertanggungjawab secara sosial. Jadi menurut saya institusionalisasi itu agak sulit untuk dijakankan, itu kesimpulannya. Selama masih ada asumsi tentang adanya dana CSR, maka kekhawatiran bahwa persoalan ini sebagai proyek tertentu akan semakin meningkat. Selain itu, jika ada lembaga khusus yang akan melakukan sertifikasinya, ini akan menambah panjang persoalan karena hal itu bisa menjadi lahan bisnis lagi, dan kembali hanya menjadi membuat daftar tertentu apakah akan dipenuhi atau tidak. Kita bisa belajar pada kasus Enron di Amerika. Lembaga itu punya good governance yang luar biasa. Itu karena dia mempunyai peraturan yang sangat ketat. Tapi, kalau kita kembali kepada kebenaran formal dari segi hukum, good government organisasi ini memenuhi standar, tapi tidak secara material. Jadi nampak bahwa lebih mementingkan bungkus dari pada inti. Dan inilah artinya standarisasi.
Saya melihat kecenderungan untuk melakukan standarisasi lewat ISO 26000 ini terus bergulir. Saya mengharapkan bisa sampai mencapai sesuatu, meskipun sampai sekarang tingkat skeptisisme saya terus terang masih sangat tinggi. Saya tahu, badan standarisasi juga ikut terlibat. Coba bayangkan, badan standarisasi nasional mau mencoba menstandarisasi CSR di Indonesia.
Dikutip dari: Majalah GALANG Vol.3, No.3, Desember 2008, Opini, halaman 99-108.