Ikhtiar Menjadi Hijau (Bagian 1/2)
Menjadi green company adalah sebuah keniscayaan yang mendesak demi usaha itu sendiri. Untuk mengapresiasi inisiatif dan implementasi program, digelar Indonesia Green Company Award. Ada sejumlah catatan kritis di dalamnya.
Anda para pebisnis, sesekali ambillah jeda sejenak untuk memikirkan apa yang terjadi pada lingkungan sekitar, baik sosial maupun, terutama alam. Atau, setidaknya coba googling tentang betapa dahsyatnya tren kerusakan alam, seiring dengan derap kehidupan ekonomi dan bisnis yang makin dinamis ini. Pemanasan global, menurunnya daya dukung bumi karena dikeruk habis-habisan, serta kerusakan alam menjadi monster paling mengerikan yang menyertai pesatnya dua mantra abad modern: pembangunan dan industrialisasi. Eksploitasi bumi melalui berbagai jenis kegiatan pengolahan lahan–termasuk pertambangan dan kehutanan-telah merusak ekosistem dengan dahsyat. Demikian juga berbagai bentuk modernisasi produksi dan praktik bisnis, tanpa disadari justru menghasilkan beragam polusi (air,udara, tanah), mengiringi hadirnya berbagai produk baru yang sampahnya tak bisa didaur ulang.
Bila praktik-praktik bisnis yang destruktif itu tak dicegah bisa dibayangkan, warisan bumi macam apa yang bakal diterima anak-cucu mendatang. Air bersih makin langka; udara panas, kotor dan pengap; tanah tak subur; mudah banjir; ancaman berbagai penyakit ganas; dan sederet kondisi mengerikan lainnya. Dilihat dari kepentingan pebisnis, saat ini bisa jadi mereka masih berjaya, tetapi bila usaha lingkungan tak jadi kehilangan sumber-sumber produksi untuk bisnis. Dan mereka, para pahlawan bisnis itu, yang karena kekayaannya mungkin masuk kelompok terkaya di dunia, justru akan dikenang sebagi kontributor kerusakan nomor wahid.
Mengejar omset dan melipatgandakan profit bisnis itu penting. Namun, menjaga keseimbangan pencarian laba dengan memperhatikan kelestarian alam serta sosial juga kelewat vital untuk diabaikan. Demi apa? Kebaikan dunia bisnis itu sendiri dan dunia pada umumnya. Karena itulah, gerakan atau dorongan untuk menstimulasi munculnya green company (kadang disebut juga green business) perlu terus digelorakan.
Apa itu sesungguhnya green company?
Pengertian green company secara definisi sangat beragam. Namun, “intinya adalah menjalankan organisasi atau memutarkan roda organisasi dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial,” ujar Darwina Sri Widjajanti, Direktur Eksekutif Yayasan Pembangunan Berkelanjutan. Jadi, green di sini bukan semata prolingkungan. Dan, banyak terjadi salah kaprah dalam pemahaman organisasi mengenai hal itu. Untuk menciptakan keberlanjutan usaha, organisasi harus didorong terus menjadi green company, yang tidak hanya memperhatikan single bottom line (profit), tetapi triple bottom line (profit, lingkungan, sosial). Upaya-upaya ke arah ini sudah semakin mendesak.
Dalam urusan ini sesungguhnya di Indonesia telah mulai berkembang ikhtiar mendorong serta mengapresiasi lembaga menjadi hijau, terutama dari sisi meminimalisasi dampak pada lingkungan hidup, serta usaha melestarikannya. Diantaranya: Program Proper oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Indonesia Green Region Award (IGRA), serta Sri Kehati Index oleh Yayasan Kehati bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia. Juga, semakin banyak usaha yang memiliki inisiatif hijau. Ada yang menciptakan produk hemat energi, mengurangi emisi, menerapkan green office, dan hanya mau menggunakan produk daur ulang. Sementara di level personal mulai muncul para green warrior yang sangat sensitif pada green issues. Mereka peduli emisi lingkungan, bahkan menghitung egological footprint (rekam jejak ekologis) dari setiap tindakannya. Tisu kertas pun tak akan digunakan karena itu berarti membabat pohon.
Inisiatif mereka tentunya harus didukung dan digelindingkan menjadi bola salju agar menularkan ke lebih banyak pihak. Dengan alasan serupa, tahun ini SWA menyelenggarakan Indonesia Green Company Award 2012 sebagai upaya mendorong dan mengapresiasi green initiatives kalangan usaha di Indonesia. Idealnya, sorotan dan penilaian diberikan kepada seluruh dimensi sosial dan lingkungan. Namun, kali ini bobot perhatian lebih besar kepada sisi lingkungan.
SWA mengundang dari 150 lembaga dan kemudian memilih 28 kandidat terbaik untuk masuk frase penjurian guna dipilih yang terbaik. SWA juga memilih juri-juri dengan kompetensi dan reputasi tinggi, diketuai Begawan Lingkungan yang diakui dunia, Prof. Dr. Emil Salim.
“Para peserta sangat antusias. Ini pertanda baik untuk lingkungan hidup,” demikian komentar Basuki Sambodo, salah seorang juri yang berasal dari kantor Kementerian Lingkungan Hidup RI. Keberanian mereka untuk datang dan mempresentasikan praktik pengelolaan lingkungan di organisasi mereka betapapun merupakan sebuah langkah konstruktif.
Salah satu prinsip penting dalam proses seleksi kali ini adalah Dewan Juri mencari organisasi yang bersungguh-sungguh mengimplementasikan green initiatives-nya. Prosesnya sangat selektif. “Kalau sekedar menyebutkan lingkungan itu penting, tetapi usaha itu sendiri babak belur dalam pengelolaan air dan tidak hemat energi, itu tidak bisa. Kami tak mau yang hanya lip service atau hanya untuk public relations. Harus fully committed dan melihat dalam perspektif jangka panjang, misalnya sampai 2045. Penjurian ini ketat, tidak gampang,” kata Emil.
Aspek public relations menjadi perhatian Guru Besar Universitas Indonesia dan mantan Menteri Lingkungan Hidup RI itu karena selama 34 tahun berurusan dengan lingkungan hidup, tampaknya dia sudah kenyang betul “dikerjai” lembaga yang memanfaatkan isu lingkungan untuk memoles dan menaikan citra di mata publik. Hak organisasi, memang. Namun, sering marketing effort-nya lebih heboh ketimbang ikhtiar penerapan green company. Paling mencolok: biaya promosi lebih gila-gilaan ketimbang aktivitas triple bottom line-nya. Pola paling kentara: menanam pohon, foto-foto, lalu iklan gede-gedean. Tidak mempertimbangkan bagaimana dampak pohon itu sendiri bagi lingkungan dan sosial, pemeliharaanya, dan keberlanjutannya. Menggelikan sekaligus menyebalkan.
Pola yang menyebalkan tersebut seperti terkonfirmasi dalam penjurian. Dari proses penjurian itu muncullah hal-hal critical. Di antaranya, masih sedikit organisasi yang benar-benar menerapkan konsep green secara penuh dalam proses bisnisnya. Eniya Listiani Dewi, salah satu juri yang juga Peneliti Senior & Direktur Program di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, menggambarkan sebagian besar peserta masih menafsirkan green company dengan konsep penghijauan dengan cara “telah menanam pohon”. Masih banyak organisasi hanya berfikir bahwa dengan gerakan menanam pohon, maka sudah green,” kata Eniya.
Pemahaman para peserta terhadap tiga pilar yang dikembangkan John Eklington – people, profit, planet – juga masih sangat minimal, apalagi mewujudkan keterikatan diantara tiga pilar itu. Jangankah pemahaman. Bahkan, ada yang tidak mengetahui. Hanya beberapa organisasi besar yang sudah mengetahui. Akan tetapi, implementasinya di lapangan pun masih sangat minim. “Pertanyaan mengenai (green) grand strategy tidak bisa dijawab oleh sebagian besar peserta. Roadmap tidak ada. Konsep green yang kami inginkan adalah dari segala sisi, bukan hanya menggali bisnis tetapi membiarkan tempat galiannya dan hanya berusaha menanam pohon di tempat lain,” papar Eniya, ahli rekayasa teknologi sel bahan bakar dan hidrogen, peraih Mizuno Award Koukenkai Award dan Habibie Award 2010.
Basuki sependapat dengan Eniya. Dia juga menyimpulkan sebagian besar peserta belum mengetahui konsep green dan sustainability. “Apalagi, soal grand strategy. Ada yang sudah punya konsep, namun masih sepotong-potong,” ujarnya. Hanya saja, dia dapat memakluminya karena isu green company memang masih relatif masih baru di Indonesia dan hal ini menunjukan masih banyak pekerjaan sosialisasi yang harus dilakukan, termasuk bagaimana pendekatan, langkah-langkah dan kriteria-kriteria menuju green company.
Lewat debat seru diantara para juri, keputusan bulat pun diambil. Dari 28 lembaga yang melakukan presentasi, semua juri sepakat bahwa baru ada empat usaha yang pada tahap ini layak diapresiasi sebagai green company sekalipun mereka juga belum bisa dikatakan sepenuhnya sebagi green company (ini catatan yang mesti benar-benar dikedepankan!). Mereka adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI), PT Bio Farma, PT Astra Internasional Tbk., and PT Medco Energi Tbk.
Disarikan dari Majalah SWA, Halaman: 32-33.