Ikhtiar dan Tantangan LSM
Persoalan transparansi dan akuntabilitas LSM ini mengemuka dalam lima tahun terakhir. Tumbangnya Orde Baru dan dipulihkannya kebebasan berkumpul dan bersuara di era Reformasi membawa “berkah” bagi kebangkitan masyarakat sipil di Indonesia. Sejak tahun 1998, LSM tumbuh bak jamur di musim hujan. Karena belum ada aturan yang jelas, orang dengan mudah mendirikan LSM. Sepanjang dua-tiga orang yang seide bersepakat membentuk dan menjalankan sebuah LSM, maka berdirilah LSM. Karena itu, tak heran jika pertumbuhan LSM di masa ini mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Sayangnya, pesatnya pertumbuhan dan kegiatan LSM tersebut tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan akuntabilitas terhadap konstituennya, yang pada akhirnya membuat citra LSM semakin terpuruk. Hasil observasi tim peneliti LP3ES di delapan provinsi beberapa waktu lalu menunjukkan berbagai penyimpangan yang dilakukan LSM. Tim LP3ES mengidentifikasi sekurangnya empat bentuk aktivisme LSM “menyimpang” ini.
Pertama, LSM-LSM yang terkait dengan permainan kekuasaan, yakni dalam bentuk dukung-mendukung calon pejabat tertentu di berbagai tingkatan.
Kedua, LSM yang memperebutkan proyek pemerintah (daerah). Pendirian LSM ini umumnya dilatarbelakangi oleh kebijakan baru dari negara-negara donor yang mensyaratkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan proyek-proyek (pembangunan). LSM semacam ini didirikan, atau melibatkan para pegawai Pemda setempat beserta para kroninya.
Ketiga, LSM yang bermain money politics atau premanisme, dengan modus investigasi, mengkritik melalui pendekatan watch dog, tetapi ujung-ujungnya melakukan deal-deal di balik layar.
Keempat, ada juga fenomena kelompok yang mengidentikkan dirinya sebagai LSM, namun justru melakukan hal-hal yang antidemokrasi, seperti tindak kekerasan dan anarkhi.
Fenomena-fenomena itulah yang mendorong beberapa LSM berikhtiar meningkatkan akuntabilitas dan transparansi lembaganya dan LSM secara umum. Mereka memandang, hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum cukup mengatur dan mengatasi persoalan tersebut. Karena itu, LSM perlu mengatur dirinya sendiri lewat mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism.
Ada dua bentuk self-regulation mechanism: pertama, upaya yang dilakukan oleh masing-masing LSM untuk mengatur organisasinya atau individu-individu yang menjadi anggotanya. Pengaturan semacam ini dilakukan lewat AD/ART lembaga, SOP, dll. Kedua, upaya sekelompok LSM yang tergabung dalam jaringan, asosiasi, koalisi atau perhimpunan LSM untuk menyusun dan menyepakati aturan main bersama yang dipraktikkan dalam interaksi intern komunitas maupun dengan pihak luar. Aturan main itu, antara lain dapat berisikan dasar-dasar filosofi dan prinsip-prinsip yang dianut untuk melaksanakan kegiatan, dalam berhubungan dengan pihak luar seperti pemerintah dan para donor dan kelompok sasarannya, serta prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Inisiatif semacam ini sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1990-an. Saat itu, Sekretariat Bina Desa bersama 12 LSM merancang “Pedoman Perilaku (Kode Etik LSM) Kemitraan Lembaga Swadaya Masyarakat”. Kode etik yang ditandatangani tanggal 28 Juli 1994 di Caringin Bogor ini, mengatur tentang hubungan insan LSM dengan rakyat, hubungan antarsesama LSM, dan hubungan LSM dengan mitra internasional. Selain itu, kode etik tersebut dimaksudkan untuk menghindari pengaturan internal LSM oleh pihak luar, khususnya pemerintah. Sayangnya, konsep kode etik yang sudah berhasil disusun tersebut sulit untuk diimplementasikan. Selain karena masih banyaknya pro kontra seputar kode etik, jaringan yang digunakan sebagai wadah untuk mengimplementasikan kode etik tersebut dinilai tidak karena terlalu longgar dan tidak ada ikatan serupa. LP3ES mencoba meneruskan dan meyempumakan ikhtiar ini dengan menyusun kode etik sekaligus membentuk asosiasi LSM yang menjadi wadah bagi orang-orang yang sepakat dengan kode etik tersebut. Dengan wadah asosiasi yang lebih tegas dan formal, enforcement bagi pelaksanaan kode etik itu diharapkan lebih kuat dan lebih mengikat.
Kelompok LSM lainnya, antara lain, Sawarung (Sarasehan Warga Bandung), KPMM (Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani) Padang, JARI Indonesia dan INFID, juga mencoba merumuskan self-regulation bagi LSM-LSM atau organisasi lain yang menjadi anggotanya lewat statuta atau aturan main yang disusun dan disepakati bersama. Upaya ini diharapkan bisa memperkuat dan mengontrol internal governance yang dijalankan oleh masing-masing LSM. Dengan berjaringan, upaya peningkatan kapasitas yang berkaitan dengan good governance juga bisa lebih mudah dan lebih sistematis dilakukan. Selain itu, ke-lompok-kelompok LSM tersebut juga mulai melibatkan konstituen dalam pelaksanaan ketatalaksanaan lembaganya. Sawarung misalnya, melibatkan kelompok masyarakat yang lain dalam mengontrol dan menilai internal gouernance yang dilakukan oleh anggotanya. Mereka menyediakan ruang dan sarana bagi masyarakat untuk berdialog dengan LSM guna mempertanyakan kinerja, program dan keuangan lembaga.
Upaya lain yang tengah dijajagi untuk diaplikasikan di Indonesia adalah pengembangan sistem akreditasi dan sertifikasi. Sistem ini dipandang lebih netral dan independen. Lewat sistem ini, LSM dinilai oleh pihak ketiga, dengan kriteria tertentu, mulai dari akuntabilitas keuangan, keterbukaan dan transparansi pengambilan keputusan, model dan tata pengelolaan internalnya, dan sebagainya. Sistem semacam ini sudah dipraktikkan di berbagai negara seperti di Filipina, India, Amerika, dan negara-negara lainnya. Upaya semacam inilah yang saat ini tengah dilakukan oleh IMZ (Institut Manajemen Zakat) Jakarta, dengan menerapkannya dalam bentuk rating lembaga-lembaga pengelola zakat, dengan mengukur seberapa jauh nilai-nilai good governance itu ditegakkan. USC Satunama di Yogya bersama beberapa jaringan LSM saat ini juga tengah mengkaji penerapan sistem ini di Indonesia.
Sistem akreditasi adalah penilaian oleh pihak ketiga yang sangat lazim dilakukan baik oleh kalangan profesi maupun dunia usaha. Sistem akreditasi merupakan sistem penilaian yang tidak mengandalkan peraturan negara tetapi berdasarkan aturan main yang disepakati pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah, kalaupun terlibat, hanya sebatas sebagai fasilitator dalam hal dan yang terpenting penjaminan, bahwa sistem yang dibentuk merupakan kesepakatan semua pihak. Di Indonesia, sistem semacam ini sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa sektor di luar LSM. Dalam hal standardisasi kualitas produk misalnya, tiap-tiap departemen teknis membentuk Komite Akreditasi Instansi Teknis (KAIT) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) pada tingkat nasional hingga menempatkan pemerintah sebagai regulator semata, sedangkan pemainnya sepenuhnya adalah swasta.
Berbagai ikhtiar yang tengah dilakukan oleh LSM maupun beberapa komunitas LSM itu, bukannya tanpa kendala dan tantangan. Banyak pihak yang memandang upaya semacam itu justru mengarahkan LSM menjadi lembaga konsultan. Sebagian lainnya mempertanyakan, apakah LSM yang merupakan wadah aktivisme dan idealisme memerlukan profesionalisasi semacam itu? Mereka khawatir jangan-jangan upaya tersebut justru membuat LSM menjadi terkotak-kotak. Belum lagi masalah penentuan lembaga yang dianggap layak untuk melakukan akreditasi dan sertifikasi, yang akan memicu kontroversi dan perdebatan sengit di kalangan LSM sendiri, seperti sudah sering terjadi. Kekhawatiran lainnya, upaya ini justru membuat LSM disibukkan oleh urusan internalnya untuk menjadi lembaga profesional dan melupakan tugas utamanya membela kepentingan rakyat. Persoalan yang terakhir memang menjadi perdebatan yang menarik dalam beberapa forum yang membahas persoalan akuntabilitas dan transparansi LSM.
Beberapa kalangan juga menyayangkan, mengapa berbagai upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi di kalangan LSM ini hanya dibahas dan dibicarakan di kalangan intern LSM sendiri. Masyarakat luas yang selama ini menjadi binaan dan garapan LSM, belum banyak dilibatkan dalam merumuskan konsep dan mekanisme akuntabilitas dan transparansi LSM. Dalam perumusan konsep dan mekanisme transparansi, misalnya, LSM lebih banyak menggali masukan dari kalangan mereka sendiri, tanpa banyak melibatkan unsur-unsur masyarakat. Minimnya keterlibatan masyarakat ini menimbulkan kekhawatiran bahwa peningkatan program itu hanya berdampak bagi LSM dan tak banyak berpengaruh terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat. LSM asyik merumuskan aturan main untuk dirinya sendiri, sementara masyarakat harus terus berjuang mengatasi persoalannya yang semakin hari semakin besar.
Karena itulah, wacana dan kajian seputar akuntabilitas dan transparansi LSM ini perlu diperluas dengan melibatkan berbagai pihak. Dengan melibatkan berbagai macam unsur yang ada di masyarakat, program akuntabilitas dan transparansi akan lebih membumi dan berdampak tidak hanya bagi perbaikan kinerja LSM, tapi juga bagi masyarakat yang dibinanya. Konsep transparansi yang selama ini diadopsi dari luar negeri bisa lebih dikritisi dan mendapatkan respon dari masyarakat luas sehingga pengaplikasiannya bisa dilakukan sesuai dengan konteks lokal. Perluasan wacana ini juga akan mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam mengontrol dan mengawasi LSM. Dengan demikian, LSM yang selama ini gencar mengawasi eksekutif dan legislatif, juga bisa terkontrol dan terawasi kinerjanya oleh masyarakat yang menjadi binaannya.H
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 66-70.