Hitam-Putuh Sang Fotografer

Des 13, 2014 No Comments by

Oscar Motuloh mencerminkan sikap yang serba kokoh, meski terkesan kuno. Di zaman digital yang serba instan, Oscar setia mengolah kamera dengan negatif film. Dia suka kontras hitam-putih, di tengah arus teknologi yang memungkinkan miliaran warna hadir dalam foto.

Mengawali karier sebagai jurnalis, Oscar jatuh cinta dan belajar fotograf secara otodidak. Karyanya halus sekaligus tajam. Di sana ada sepi, murung, gelap, juga perayaan nilai kemanusiaan. Lorong di paris, menara masjid yang menyembul di tengah genangan lumpur Lapindo, juga akar pohon kelapa yang tercerabut diempas tsunami Aceh. Semua tampil puitis.

Lelaki setengah abad ini langganan menjadi juri lomba foto, juga berpameran di dalam dan luar negeri. Pada 2011, misalnya, karyanya dipamerkan di tropenmuseum, amsterdam, bertajuk “Soul Scape Road”, yang berisi trilogi esai foto “Art of Dying”, “Nyanyian Peripheral”, dan “Suara dari Angkor”.

Oscar menyediakan oasis bagi para fotografer, di gedung kuno Galeri Foto Jurnalistik antara (GFJa), pasar Baru, Jakarta. Serial workshop teknis, berbagi pengalaman antar fotografer, juga diskusi sosial-politik intensif digelar. Bagi Oscar, fotografer harus mampu menyerap pergulatan politik bangsa dan menampilkannya dalam karya foto.

Di GFJa, ada pendidikan fotograf dasar selama tiga bulan. Oscar mewajibkan semua lulusannya berpameran. Berani unjuk karya. Cara ini manjur menyemaikan bibit fotografer. GFJa menawarkan rabuk bagi kreativitas mereka. Oscar menyemangati para fotografer muda saban kali mereka berpameran. Menjelang tengah malam, saat lampu seremoni pembukaan pameran padam, barisan Mat Kodak di GFJa pun bersuka. Bersama, mereka khusyuk melantunkan In My Life, balada abadi dari The Beatles. There are places I`ll remember, all my life, though some have changed….

 

Surat Untuk Pemuda Indonesia

Menjadi Indonesia

Ketika umur menyentuh garis gocap, saya coba menengok ke belakang, mengingat-ingat kilasan perjalanan kehidupan yang sekonyong-konyong telah mengantar usia saya pada gerbang yang disebut kurun tengah baya.

Masa kecil?

Tampaknya di-skip saja karena kurang cocok dengan thema surat ini, apalagi periode bocah alias anak bawang adalah eranya “kolonialisme positif” dari nyokap-bokap (ortu-orangtua) saya dan barangkali juga sebagian dari kita. Jadi saya menikmatinya dengan hati yang riang. Apalagi saat saya diberi kado ultah berupa serial komik lengkap, sepuluh jilid, Wiro Anak Rimba buah karya Kwik Ing Hoo yang telah berpulang pada tahun ini.

Saya langsung ke 35-an tahun silam deh, saat usia masih seumur jagung. Ortu saya menyebutnya teenager. Dulu saya cuek saja ketika para tante dan paman mengatakan bahwa usia belasan macam saya, adalah masa meraba-raba pijakan, semacam gejala mencari identitas diri. Jadi saya maklum saja kalau dalam kurun ini, mereka mencap nyentrik dan mbalelo. Kebetulan sahabat-sahabat kental saya, teman sekelas jaman SMP, kelakuannya juga rada mirip-mirip. Sebelas-duabelas kata anak gaul sekarang.

Keluarga sahabat-sahabat saya tersebut, kebetulan datang dari macam-macam profesi, juga etnik dan agama. Bokap mereka ada yang tentara, pengusaha dan ambtenaar seperti bokap saya. Ada etnik Ambon, Bugis, Batak, dan Jawa. Putus pendek, kami saling mengenal dengan akrab antarkeluarga. Pada hari besar macam Idul Fitri dan Natal adalah hari istimewa yang sangat dinanti. Kami saling berkunjung dengan hati tulus. Suasana dan atmosfir silaturahmi benar-benar hadir dan sangat menenteramkan hati. Saya yakin dari sana tampaknya lahir rasa saling menghormati yang datang dengan tulus dari sanubari terdalam. Tidak ada semangat kebencian yang berkumandang dengan bebas merdeka macam sekarang ini.

Pokoknya kebhinekaan Indonesia sangat terasa pada waktu itu. Istilah minoritas bisa dikatakan tak ada dalam kosa kata keluarga saya, begitu juga saya yakin di antara keluarga sahabat-sahabat saya tadi. Refeksi dari keyakinan yang dianut masing-masing keluarga sahabat-sahabat saya tercermin dari karakter mereka dalam pergaulan sehari-hari yang ceria tak hanya di wajah, tapi ini yang penting, berpendar di hati.

Namun karena menyangkut simbol identitas masa remaja, kami tetap punya perhitungan sendiri kepada ortu kita, khususnya bokap. Apalagi jaman itu konon lagi eranya eksistensialisme. Jadi kami berlima harus mencanangkan keberadaan kami. Di pengujung SMP nanti, kami bersepakat menggelar semacam revolusi-revolusian di dalam keluarga kita masing-masing. Kami akan memberontak, misalnya dengan cara menentang apapun titah bokap-bokap kita di segala penjuru. Kalau dia perintah B, kita mesti berani bilang C. Pokoknya kita harus memperlihatkan pembangkangan supaya mereka sadar bahwa kita bukan anak bawang lagi.

Meskipun awalnya agak sulit, tapi lambat laun, kami mulai menemukan cara untuk melakukan perlawanan itu dengan cara kita masing-masing. Sampai suatu ketika, saat masuk SMA yang kebetulan sama, kami menemukan bokap-bokap kita yang sudah berubah total. Di kemudian hari barulah kami paham bahwa mereka tentu pernah mengalami masa remaja yang penuh gejolak sok-sokan seperti kami, meskipun dalam kemasan jaman yang berbeda. Ternyata sikap otoriter ortu kami pada periode krusial itu, sesungguhnya dilandasi cinta mereka untuk melindungi kami dengan cara mereka. Yah begitulah sederhananya, istilah kerennya barangkali adalah generation gap.

Setelah era perang-dingin itu, pikiran kami terbuka lebar. Kami semakin menghargai ortu kami. Kami makin saling mencintai, saling menghargai perbedaan dan semakin bertoleransi pada kondisi keberadaan kami. Tiba-tiba kita merasakan betapa nyokap-bokap kini, seperti kakak tertua yang bijaksana. Bedanya dengan kakak sungguhan, yang ini sering ngasih uang jajan meskipun tidak setiap hari. Sejak itu, bagaimanapun kondisi ekonomi keluarga, kami memahaminya dengan bahagia dan merasakannya sebagai beban kami semua. Tidak lagi cuek alias EGP. Saya akhirnya mulai mengerti bahwa revolusi-revolusian memang diperlukan sebagai katarsis perbedaan.

Saya mulai bergaul dengan bacaan karena bokap adalah kuman buku dan partner diskusi yang seru serta mencerahkan. Dari dia saya mengerti landasan filosof dunia melihat secara tidak langsung. Orto juga rajin mengajak nonton bioskop bersama, menstimulan untuk mengembangkan imajinasi persis seperti saat Simba kecil dan ayahnya, Mufasa di Lion King. Menatap langit dan membahas hikayat bintang-bintang sambil terlentang di padang sabana yang luas. Di meja makan, khayalan saya tiba-tiba bisa mendarat di masa pasca revolusi Prancis, saat pertikaian dalam persahabatan berlangsung antara Georges Danton dan Maxime Robespierre yang bolak-balik memekikkan bahwa manusia dilahirkan sederajat, tapi tiap hari ada kepala yang menggelinding dari gilotin di alun-alun kota Paris.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan imajinasi bagi saya selalu menyenangkan. Bukankah ide selalu berawal dari sana. Betapa raga tanpa jiwa adalah suatu kreativitas tanpa imajinasi. Kelak saya merasakan bahwa pengalaman melihat di masa remaja itulah yang hakikinya menjadi pijakan filosofis optis saya kelak, meskipun secara tempo, saya sangat terlambat mempelajari fotograf secara praktis. Saat saya memulai karier sebagai wartawan pemula, saya selalu menyertakan imajinasi-imajinasi itu di sekitar otak kecil saya. Dan membiarkan dia mau terjaga di sepanjang hidup saya.

Ketika saya dimutasi menjadi pewarta foto sekaligus ditugaskan untuk mengembangkan Divisi Pemberitaan Foto Berita Antara, saya berkesempatan mempelajari fotograf secara manual, padahal usia saya tak lagi muda. Menginjak 32 tahun ketika itu. Karena determinasi yang rasanya meluap, saya berkonsentrasi siang-malam mengejar ketertinggalan itu secara otodidak dalam belantara kepustakaan fotograf yang begitu gulita karena belum ada mr Google ketika itu. Sayangnya mesin waktu hanyalah fiksi. Tak sejentikpun manusia yang mampu melawan takdir. Apalagi menariknya mundur seperti kisah-kisah fiksi ilmiahnya Djokolelono ataupun Isaac Isamov. Meskipun dalam usia setua sekarang, dan rasanya belum mencapai apa-apa. Saya harus merasa bahagia dengan ikhlas sembari mengenang semua keterlambatan itu sebagai romantika kehidupan yang mungkin tetap ada hikmahnya untuk orang lain.

Untunglah masih begitu banyak pemuda potensial seperti Anda-anda sekalian yang mewakili gejolak jamannya. Yang mampu bersekutu dengan waktu, sehingga Sang Kala selalu memihak generasi muda, seperti yang disitir Bung Karno, dan juga dipekikkan secara nada satu nomor Rolling Stones. Karenanya, demi meneroboskan kembali kirana dan panji kebhinekaan kita di antara aneka kegelapan paham kebencian yang dibiarkan tumbuh subur di pekarangan rumah kita yang seolah ditinggalkan oleh negara. Maka Republik Indonesia yang dilahirkan dengan merdeka dalam kemajemukan, harus terus tegar berdiri membela semua golongan tanpa terkecuali sampai dunia menutup mata.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Oscar Motuloh, Hal: 224-227.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Hitam-Putuh Sang Fotografer”

Leave a Reply