Coaching: Skema Ketok Tular
Siapa yang tidak ingin bekerja di lingkungan dengan suasana coaching yang bermotivasi? Bayangkan betapa menyenangkannya bekerja bila atasan senantiasa menunjukkan kepedulian untuk menyampaikan kiat-kiat agar individu menghasilkan output terbaik dan senantiasa memberi pengarahan akan kekeliruan yang perlu dihindari anak buah. Tentu hal yang positif dan menguntungkan bila di lingkungan kerja atasan memberi kepercayaan pada bawahan untuk melayani pelanggan, namun selalu siap mem-back up bila dalam proses pelayanan terjadi kemacetan. Bila dalam organisasi, kegiatan ‘coaching’ dan “mentoring” seolah sudah menyatu dengan kegiatan bisnis, bayangkan betapa mudahnya pengembangan sumberdaya manusia di organisasi itu berjalan. Pertanyaannya, mengapa sulit sekali mencapai kondisi ideal begini? Mengapa, secara persentase, kecil sekali jumlah organisasi yang punya semangat dan bisa memetik hasil pengembangan sumberdaya manusianya, secara produktif?
Kita tentu bisa dengan mudah mendeteksi sendiri sejauh mana efektivitas coaching berjalan di tempat kerja kita. Pada organisasi yang coachingnya mandek, keluhan yang muncul adalah seputar tidak adanya suksesi, kekurangan manager, hubungan kerja yang terasa berjarak, rasa saling tidak percaya antara atasan-bawahan, atau lebih parah lagi, banyak tenaga yang potensial keluar dari organisasi karena merasa tidak berkembang. Sementara, pada organisasi di mana coaching sudah menjadi ‘makanan sehari hari’, mereka akan mengatakan “coaching” itu gampang: “They good you care, They bad you care, They fall you’re there”. Bila coaching sudah mendarah daging, para manager bahkan bisa merasa tidak melakukan “apa-apa” dan tidak merasa mengeluarkan effort lebih untuk coaching. Kegiatan “coaching’ yang sukses justru terlihat sebagai kegiatan yang tidak berbentuk dan tidak berstruktur. Pada kegiatan ‘coaching’ yang sudah terasa ‘atmosfir’-nya, kita akan menyaksikan bahwa individu merasa aman mengambil risiko, berdebat dan berkonflik secara ‘gentleman’ dan “fair”, biasa menantang dan ditantang, namun sekaligus suportif satu sama lain dan dapat berfungsi sebagai badan yang ‘bersatu’ dan kreatif.
Sebetulnya kita tidak perlu khawatir akan kehilangan ide dan kreativitas untuk menghidupkan budaya coaching. Bila kita meng-‘google’ kata ‘coaching’, kita bisa menemukan tidak kurang dari 40 juta kata di dalam khasanah servernya. Di sebuah organisasi, di setiap dinding di atas kursi si manager, ditulis sebuah slogan yang nadanya kurang lebih ajakan “coach me”. Tidak sedikit pula organisasi di mana sudah ada sistem yang menunjuk siapa coach siapa coachee, siapa mentor dan siapa mentee. Banyak organisasi sudah mempersiapkan sistem, seperti KPI, scorecard sebagai “lahan” menggerakkan coaching. Mulai dari pemikiran, sampai strategi sudah dipahami, diyakini dan dibuat. Agar upaya kita betul-betul bisa membuahkan hasil, kita memang perlu paham letak kesalahan, baik itu dalam “paradigm”, belief maupun kebiasaan-kebiasaan yang bisa mengakibatkan upaya coaching kita seolah jalan di tempat.
Ketuk tular informal yang canggih
Organisasi yang ingin menerapkan coaching sebagai kegiatan ‘ketuktular’ yang membudaya, pasti mempunyai sistem yang sudah dilandasi pemahaman yang betul tentang “the science of performance” dan menterjemahkannya secara komprehensif dan konsisten pada setiap karyawan. Sistem ‘talent manajemen’ perlu jelas, dan dimengerti setiap karyawan. Pangkat dan jabatan perlu diterjemahkan sebagai “set of competencies’ dan tanggung jawab, bukan sebagai sumber ‘power’ dan fasilitas kantor. Setiap orang mempunyai ‘papan karir” dibenaknya, yakin tentang jalur karirnya dan bawahannya. Setiap atasan tahu, bahwa kalau ia tidak menyiapkan suksesi, ia sendiri pun tidak bisa ‘bergerak’ kemana-mana. Seorang salesman tahu, bila kemampuan ‘sales management’ nya tidak kunjung meningkat, ia masih bisa mendapat kesempatan menjadi kepala toko, di kota kecil. Ia pun tahu, persyaratan kompetensi kepala toko, sehingga ia tahu kepada siapa ia perlu ‘berguru’. Seorang yang berambisi menjadi direktur, perlu mencari jalan agar bisa mendapat ‘assignment’ yang menuntut ia membuktikan kompetensi-kompetensi seorang direktur. Demikian pula seorang engineer lapangan sangat yakin bahwa ia harus mengambil beberapa kompetensi yang bersifat ‘softskill” bila ia mau naik ke jenjang kepemimpinan yang lebih tinggi.
Atasan sebagai People’s Person
Masih banyak anggapan bahwa ‘coaching’ adalah sesi khusus, berhadap-hadapan, dengan dialog yang khusus. Tidak sedikit orang menganggap coaching itu semata saat menetapkan target di awal tahun, kemudian menyampaikan evaluasi kinerja di tengah dan akhir tahun. Kita sering terkecoh dan menyangka bahwa suasana pembelajaran harus dibuat sangat berstruktur dan kemudian berusaha untuk menciptakan suasana ini, dimulai dengan proses komunikasi atasan bawahannya. Inilah kesalahannya. Kita butuh paradigm shift dari anggapan lama itu, menjadi keyakinan bahwa coaching itu ada pada setiap ‘encounter’ komunikasi atasan bawahan.
Meskipun telah teruji bahwa coaching akan berhasil bila coach mampu mengajak coachee untuk melakukan refleksi ke dalam dirinya sendiri, namun coaching pun tidak selamanya “asking rather than telling”.Sesekali kita memang perlu menginstruksi secara ‘straightforward’ juga. Sekali waktu perlu menyesuaikan pendekatan coaching dengan karakteristik bawahan kita. Kita pun perlu menyesuaikan dengan gaya kepemimpinan kita yang khas, tidak dibuat-buat, sehingga komunikasi dengan atmosfir coaching tidak terasa melelahkan. Itu sebabnya akan banyak manfaatnya bila pemimpin banyak mengamati, buka mata dan menambah wawasan dari berbagai disiplin ilmu, baik itu psikologi, filsafat, bisnis, dan olahraga.. Yang jelas, saat coaching berjalan, suasana akan terasa sangat informal, penuh respek, “developing”, memanfaatkan EQ secara optimal, tulus, tidak ada basa basi. Saat ini terjadi, barulah kombinasi pendekatan Developing, Engaging, Balancing dan Relating mudah dijalankan. Di sini kita akan merasa kepemimpinan terasa mudah, karena manusia akan ter’develop’ secara otomatis.
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 10 November 2012, Halaman: 33.