Coaching: Jantung dari Leadership
Pemimpin seperti apa yang Anda kagumi? Kita banyak mengagumi pemimpin karena otaknya yang brilian, ahli berstrategi, pengambil keputusan yang tepat, berani mengambil resiko atau mampu membawa organisasi tumbuh besar. Kita bisa melihat bahwa terkadang kesuksesan tidak berkorelasi dengan sikap pimpinan terhadap bawahannya. Steve Jobs, misalnya, melegenda lebih karena kekuatan inovasi, bukan kekuatan hubungannya dengan manusia. Ada bawahan yang bisa betah bertahun-tahun dalam organisasi yang dipimpin atasan yang tidak simpatik atau bahkan jelas-jelas suka mengadu domba.
Keberhasilan mencetak laba dan melipatgandakan aset organisasi memang masih menjadi indikator utama kehebatan seorang pimpinan, bahkan dijadikan “ model” manajemen yang dianggap ideal. Sekarang, mari kita bayangkan bila di bawah para pemimpin keren ini ternyata tidak tumbuh calon pemimpin masa depan untuk menggantikannya. Tidakkah kita dengan mudah melihat organisasi segera akan mengalami krisis dan sulit mempertahankan pertumbuhan usahanya? Dalam situasi ini, masihkah kita menilai para pemimpin ini sebagai pemimpin yang efektif?
Dari tahun ke tahun, banyak survei dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apa karakteristik terpenting seorang leader?” Kita bisa melihat bahwa kriteria leader yang efektif tampaknya memang “bergerak” sesuai tuntutan zaman. Hasil survey media sosial terkemuka, Linkedln, mendapatkan hasil bahwa peringkat tertinggi karakteristik terpenting leader adalah visi yang ber-impact. Peringkat selanjutnya adalah kekuatan memotivasi dan inspiring, kemampuan mendengar, mengenal anak buah secara individual, dan kekuatan membela timnya. Kompetensi ini lalu disusul dengan kekuatan membela timnya. Kompetensi ini lalu disusul dengan kekuatan pengetahuan teknis dan kemampuan menjaga keseimbangan “life skills”. Bila persentase tindakan yang mengacu pada perhatian pada tim dan anak buah atau coaching dijumlah, aspek-aspek tersebut bernilai sekitar 60 persen dari kekuatan leadership. Ini berarti coaching adalah jantungnya leadership. Dengan perkataan lain, visi yang bagus, jelas, dan mengacu pada masa depan hanya bisa dicapai melalui coaching intensif.
Pengembangan manusia, penguatan budaya, reputasi dan image organisasi memang hal yang intangible. Sampai hari ini pun mengukur laba jauh lebih mudah daripada mengukur suasana kerja yang menyenangkan. Banyak orang masih senang memperdebatkan mengenai “Apa hubungannya suasana menyenangkan dengan laba organisasi?”, “Benarkah sikap kerja produktif betul-betuk bisa melipatgandakan produktivitas?” Di sisi lain, kita bisa melihat ada calon karyawan mengundurkan diri dengan alasan, “Organisasi itu suasananya tidak menyenangkan, atasannya sangat cuek.” Meski susah diukur, kita tahu memang hal-hal intangible ini adalah aset yang nyata-nyata ada. Itu sebabnya pemimpin ataupun organisasi yang berani memutuskan budget signifikan untuk menumbuhkan kepemimpinan, memperkuat leadership, maupun menyuburkan budaya positif di organisasinya, bisa kita sebut punya visi masa depan yang jelas dan kuat.
Kebutuhan kita semakin jelas. Kita butuh membangun tempat kerja yang “hidup”, di mana pikiran, talenta, dan hati bersinergi satu sama lain. Kita butuh menyusun barisan yang bisa berespons terhadap perubahan yang tak terduga dan berkecepatan seperti kilat ini. Kita tidak lagi bisa mengontrol kekuatan pengambilan keputusan dari “kursi” kita sendiri. Kalau bisa, seluruh karyawan dipersiapkan untuk berjaga-jaga dengan membentuk pemahaman, pengembangan dan kemampuan belajar yang tinggi sehingga apa pun perubahannya, organisasi bisa dengan fleksibel menanggulanginya. Jadi, peran leader sebagai coach memang bukan lagi bersifat pilihan, tetapi sudah bergeser menjadi keharusan. To be an effective leader, you must be an effective coach.
Menggeser Fokus
Kita bisa melihat guru yang baik menjadi kepala sekolah, salesman top menjadi manajer, programmer komputer yang piawai kemudian menjadi team leader. Padahal, tidak ada jaminan bahwa para profesional ini bisa mengakselerasi kinerja. Mereka bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi bisakah menggerakkan orang lain dan timnya? Kompetensi teknis memang senantiasa menjadi jalan bagi individu untuk menapaki karier ke posisi leader. Namun, saat kita di posisi yang menuntut pengelolaan anak buah, kita perlu segera mengembangkan kemampuan interpersonal kita, seperti berkomunikasi, memberi masukan, mengajak, bersabar, mendengar, berkonfrontasi, dan menanggulangi konflik. Kita juga belajar menyeimbangkan kekuatan kita dengan faktor-faktor eksternal, seperti values, sasaran, dan self awareness. Pada saat inilah seseorang perlu melangkah lebih jauh dan mulai mempersiapkan kompetensi coaching-nya.
Pemimpin perlu sadar bahwa ia tak lagi bisa hanya ribet dengan sasaran, image, dan obsesi pribadinya, melainkan harus mulai membagi fokus pada hal-hal yang jauh di luar dirinya, termasuk kondisi anak buahnya, karena inilah yang pada akhirnya merupakan kekuatan organisasi. Tentu bukan hal yang salah berfokus pada laba organisasi dan harga saham, tetapi pemimpin perlu sadar bahwa peran untuk memonitor progres, perbaikan, dan prestasi setiap individu di bawah pimpinannya adalah peran sentral dalam kepemimpinannya. Bila seorang pemimpin sudah melepaskan ke-aku-annya, barulah ia siap untuk meng-engage pikiran dan hati anak buah. Pada saat itulah dia perlu mempraktikkan kemampuan komunikasi tingkat tinggi, jago mendengar, bersabar, menunggu, dan merancang tugas-tugas progresif timnya, agar biasa menjadi pemenang.
Memimpin Pemimpin
Seorang pemimpin yang kuat melakukan coaching menyadari bahwa ia bukan melakukan hal itu sekadar hobi atau passion-nya. Kesadaran bahwa ia sedang mempersiapkan bawahannya menjadi pemimpinlah yang bisa memperkuat power-nya untuk melakukan coaching. Ia harus sadar bahwa individu yang tengah ia bimbing adalah pemain-pemain tangguh yang dieprsiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi, penuh turbulensi, chaos, bukan sekadar perubahan normal. Respons-respons yang dilatih bukan sekadar melihat ke belakang, mengencangkan ikat pinggang saja, tetapi justru kekuatan menghadapi hal-hal eksternal, seperti perubahan peraturan, kekuatan pelanggan dan perkembangan teknologi. Latihan ketahanan, keberanian untuk menghadapi yang tidak terduga, keberanian untuk “tampil”perlu dibuatkan lahan latihan. Seorang coach adalah “culture creator”, bukan “answer prrovider”. Hanya dengan adanya manusia berkualitas, organisasi bisa mempunyai nilai sustainability tinggi. Selain itu, membangun manusia hanya bisa dilakukan melalui coaching yang intensif.
Sumber: KOMPAS, Sabtu 20 Oktober 2012, Halaman: 33.