Arah Pengelolaan Kebudayaan Tak Jelas

Nov 15, 2013 No Comments by

Seniman Yogyakarta Pertanyakan Kongres Kebudayaan

Jakarta, Kompas — Pemerintah hingga kini belum memiliki kebijakan yang jelas soal arah pengelolaan kebudayaan. Dalam kondisi seperti ini, globalisasi yang berlangsung cepat dan menembus berbagai sektor kehidupan bisa menjadi ancaman.

Sosiolog Ignas Kleden mengatakan hal itu dalam sidang pleno Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2013, Rabu (9/10), di Yogyakarta. Sidang pleno hari kedua penyelenggaraan KKI 2013 juga menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Sultan Hamengku Buwono X, pengamat politik Yudi Latif, penulis Nirwan A Arsuka, dan pembicara lain.

Menurut Ignas, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan yang jelas dalam pengelolaan kebudayaan, langkah apa saja yang akan dilakukan. Misalnya, dalam bidang pendidikan, sekarang semua mengejar standar internasional. Padahal, pendidikan seharusnya memungkinkan orang untuk menyelesaikan masalah hidupnya dan bukan memenuhi standar hidup mana pun.

Sultan Hamengku Buwono X memaparkan proses pewarisan budaya kepada generasi muda yang bersinggungan dengan globalisasi budaya. Proses ini menghasilkan silang budaya dan glokalisasi budaya.

”Kekuatan glokalisasi atau melokalkan kebudayaan tidak sekadar menerjemahkan setiap hal yang masuk, tetapi menciptakan sendiri sesuai budaya setempat dan mampu memperkuat integrasi nasional,” kata Sultan.

Dua hal yang dapat dilakukan untuk melokalkan kebudayaan adalah pendekatan kultural terhadap kelompok-kelompok budaya agar saling mengenal dan pemulihan hak-hak masyarakat etnis lokal dalam mengakses sumber daya ekonomi lokal.

Yudi Latif mengatakan, demokrasi yang tidak menjunjung nilai-nilai keindonesiaan hanya akan menimbulkan demokrasi yang rapuh karena melahirkan individu-individu yang tidak punya sikap.

 

Kongres Dipertanyakan

Secara terpisah, seniman dan akademisi Yogyakarta memberikan catatan terhadap penyelenggaraan kongres kebudayaan yang diselenggarakan di Yogyakarta. Di samping ucapan terima kasih atas penyelenggaraan kongres, seniman Yogyakarta juga menilai perhelatan itu belum layak dianggap sebagai sebuah kongres kebudayaan.

Dalam pertemuan spontan di Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), Rabu, mereka merespons penyelenggaraan kongres sebagai kegiatan yang perlu dibenahi sehingga bisa menjadi inspirasi warga bangsa dalam mengatur kehidupannya. Ada sekitar 17 seniman yang hadir, di antaranya Ashadi Siregar, Emha Ainun Najib, Suminto A Sayuti, Tanto Mendut, Indra Tranggono, Iman Budi Santosa, Toto Raharjo, Manu, Noe Letto, dan Ons Untoro.

Ashadi Siregar yang juga pengajar emeritus di Universitas Gadjah Mada menyatakan, kongres ini harus menghasilkan nilai-nilai yang bisa membangun masyarakat berbudaya.

Menurut budayawan Emha Ainun Najib, pelibatan budayawan dan pelaku budaya sangat menentukan kelayakan sebuah kongres kebudayaan. ”Sebab, menurut pemahaman saya, kongres kebudayaan ini wajib dihadiri oleh mereka yang berkelas brahmana yang tidak lagi semata-mata memikirkan duniawi. Budaya itu sifatnya rohaniah yang melahirkan nilai-nilai,” ujarnya.

Sastrawan Indra Tranggono menyatakan, birokrasi telah meninggalkan masyarakatnya. Sementara Suminto A Sayuti, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan, kalangan akademisi di fakultas ilmu budaya pun banyak yang tidak tahu bahwa ada kongres kebudayaan. (DOE/TOP)

Sumber: KOMPAS, Kamis, 10 Oktober 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Arah Pengelolaan Kebudayaan Tak Jelas”

Leave a Reply