Analisis Situasional
Sudah sejak lama pengentasan kemiskinan menjadi isu, agenda, dan prioritas utama dalam pembangunan nasional. Berbagai kebijakan, strategi, program, proyek, dan kegiatan pengentasan kemiskinan, baik yang bersifat langsung (Bantuan Langsung Tunai/BLT dan Beras Miskin/Raskin) maupun yang bersifat tidak langsung (Kredit Program dan Pemberdayaan Masyarakat), telah diimplementasikan dalam skala nasional dan lokal. Secara statistik, hasil yang dicapai dari berbagai upaya pemerintah tersebut cukup menggembirakan, yang terbukti dari berkurangnya jumlah penduduk miskin secara signifikan sampai dengan tahun 1996.
Adanya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, yang kemudian berkembang menjadi ekonomi, politik, dan multidimensi, pada gilirannya telah mencederai prestasi pembangunan dan perekonomian Indonesia. Dampak krisis ekonomi secara empiris dan faktual, telah membawa konsekuensi pada kembali meningkatnya jumlah penduduk miskin sekaligus jumlah pengangguran yang sangat besar.
Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab konstitusional untuk memecahkan masalah kemiskinan secara efektif dan berkesinambungan. Namun pada kenyataannya. pemerintah mempunyai keterbatasan kemampuan, baik secara teknis, finansial, maupun manajerial. Oleh karenanya, upaya pengentasan kemiskinan perlu melibatkan seluruh unsur bangsa, termasuk kalangan usahawan, perbankan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai representasi para pihak lainnya.
Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, maka peranan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) menjadi strategis dalam mempercepat upaya pengentasan kemiskinan di tingkat lokal. Oleh karena itu, pemerintah daerah sudah sepatutnya memberikan dorongan sejauh mungkin agar upaya pengentasan kemiskinan dapat diselesaikan secara mandiri oleh para pihak di tingkat lokal, khususnya di daerah tertinggal.
Seiring dengan meningkatnya tuntutan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), maka upaya pengentasan kemiskinan harus didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Secara substansial, upaya pengentasan kemiskinan perlu diwujudkan melalui strategi dasar pemberdayaan masyarakat, yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan peran aktif masyarakat dalam berusaha dan meningkatkan pendapatan. Sehingga pada akhirnya, masyarakat dapat mencapai kesejahteraannya secara mandiri dan berkelanjutan.
Terjadinya krisis multidimensi pada pertengahan tahun 1997, mengakibatkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa, atau mencapai 24,2 persen dari total penduduk. Demografi persebarannya di wilayah perkotaan mencapai 17,6 juta jiwa (21,9 persen), sedangkan di wilayah pedesaan mencapai 31,9 juta jiwa (25,7 persen).
Berkat adanya gerakan reformasi kebijakan yang berpengaruh pada perekonomian, Indonesia telah berhasil kembali menjadi salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah. Keadaan itulah yang membuat jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia, pada September 2011, menurun menjadi 29,89 juta orang (12,36 persen). Pada Gambar 1.1 kita dapat melihat adanya kecenderungan penurunan angka kemiskinan, namun tidak terlalu tajam. Akan tetapi menurut pendapat kami, hasilnya masih jauh dari harapan rakyat banyak. Apalagi dengan masalah kesenjangan pendapatan yang makin meruncing di daerah-daerah urban dan pedesaan.
Disarikan dari buku: Solusi Bisnis untuk Kemiskinan, Penulis: Prof. Dr. Eriyatno & Moh. Nadjikh, Hal: 10-13.