Akses Masyarakat ke Dana Sangat Terbatas
JAKARTA, KOMPAS – Akses masyarakat terhadap pendanaan untuk perubahan iklim dinilai sangat terbatas. Skema dan sistem yang tengah digodok tidak menjadikan masyarakat sebagai prioritas dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Menurut Manajer Advokasi dan Tata Ruang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Deddy Ratih, skema dan sistem dilakukan dengan pendekatan berbasis proyek. Pendekatan itu dipakai sejumlah kementerian dan lembaga, seperti dalam Strategi Nasional Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (Stranas REDD+).
Cara itu, menurut Deddy, hanya menguntungkan kementerian atau lembaga terkait dan pelaksana proyek.
”Masyarakat akan tetap menjadi penonton di tengah kerentanan mereka atas perubahan iklim,” kata Deddy, di sela Workshop Nasional ”Bagaimana Mekanisme Pendanaan Iklim di Indonesia Menjangkau Kebutuhan Masyarakat”, di Jakarta, Selasa (12/2).
Selain hibah khusus untuk REDD+, sumber pendanaan iklim berasal dari utang luar negeri berupa utang program sebesar 2,5 miliar dollar AS dan utang proyek 400 juta dollar AS. Dana ini berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Jepang, dan Perancis.
Deddy mengatakan, ada sinyalemen proyek berjalan sendiri tanpa memasukkan pertimbangan dampak perubahan iklim terhadap petani, seperti banjir dan kekeringan. ”Adaptasi pertanian tidak mendapat tempat dalam skema dan sistem pendanaan iklim. Kearifan lokal dan inisiatif masyarakat juga tidak tercakup,” ujar Deddy.
Bisa mengakses
Di sisi lain, Ketua Kelompok Kerja Pendanaan Satuan Tugas REDD+ Agus P Sari menyampaikan, akses masyarakat dalam pendanaan iklim tetap ada. Seturut Stranas REDD+, masyarakat akan mendapatkan hibah untuk pemberdayaan dan kegiatan komunitas.
Caranya, masyarakat membentuk wadah dan proposal kegiatan untuk diajukan kepada Financial Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (FREDDI). Dana juga bisa disalurkan melalui LSM yang bergerak dalam bidang REDD+ dan pemberdayaan masyarakat. FREDDI akan bergulir setelah Stranas REDD+ disahkan pertengahan tahun ini.
Menurut Agus, konteks konservasi hutan tidak hanya dimengerti sebatas karbon, tetapi juga menyangkut aspek sosial-budaya masyarakat. ”Perhatian terhadap masyarakat setempat dapat diwujudkan dalam bentuk pembangunan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” kata Agus.
Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pendanaan Internasional Kementerian Kehutanan Hadi Pasaribu menyatakan, pendanaan iklim sektor kehutanan dititikberatkan pada tiga hal, yaitu pengembangan institusi, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kapasitas.
”Akses masyarakatnya tetap ada. Sejak Maret 2012, sebesar 37 juga dollar AS dipakai untuk kegiatan-kegiatan komunitas, seperti pengembangan ekonomi,” kata Hadi. (K01)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 13 Februari 2013.