Ada Apa dengan Hutan Kita?

Mar 26, 2014 No Comments by

Hampir di setiap negara, hutan selalu menjadi topik pembicaraan hangat. Kerusakan hutan juga selalu menjadi pembicaraan yang tidak pernah tuntas dibahas. Permasalahan kerusakan hutan kini sudah menjadi isu sangat ‘hot’ dan kritis. Tumbuhan, binatang, bahkan banyak manusia serta berbagai kebudayaan lokal yang begitu menggantungkan hidupnya dari hutan. Hutan adalah nafas hidup bumi. Hutan adalah paru-paru bumi. Bila hutan mati, maka bumi pasti mati, termasuk kita yang mendiami bumi.

Di Indonesia, kerusakan hutan sudah amat mengkhawatirkan. Menurut sumber independen, maka Indonesia setidaknya telah kehilangan, dan mengalami kerusakan kira-kira 3.5 juta hektar hutan di setiap tahunnya. Di antaranya disebabkan oleh karena penebangan yang tidak bertanggungjawab. Ini termasuk juga kegiatan mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan untuk kelapa sawit dan industri pulp serta kertas. Belum lagi yang disebabkan oleh pembalakan liar skala besar (diperkirakan telah merugikan Indonesia sekitar US$4 milyar setiap tahunnya, data Kementerian Lingkungan Hidup). Hal lain yang turut bertanggungjawab adalah kebakaran hutan, baik yang tidak disengaja maupun yang disengaja. Kasus terakhir adalah di Riau. Padahal seperti kita sudah yakini bersama, bahwa hutan purba dan hutan modern itu adalah rumah bagi masa depan jutaan binatang, serta jutaan ‘orang rimba’ yang untuk bertahan hidup masih sangat bergantung dari hutan, baik secara fisik maupun spiritual mereka.

Di Brazil umpamanya, sudah lebih dari 87 kebudayaan manusia telah perlahan namun pasti hilang dari peredaran. Kemudian, diperkirakan bahwa pada 10 hingga 20 tahun kedepan dunia nampaknya akan juga kehilangan ribuan spesies tanaman dan binatang. Nah, bila hal itu sampai terjadi, tidak akan ada lagi kesempatan terakhir untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan orang-orang serta spesies yang tergantung padanya. Kesempatan itu harus dilakukan sekarang, oleh kita semua. Kalau kesempatan menyelamatkan hutan tidak kita ambil dan lakukan saat ini, generasi-generasi sesudah kitalah yang akan merasakan akibatnya.

 

Keberadaan Hutan di Indonesia Masa Kini

Laju kerusakan hutan di Indonesia saat ini terbilang sangat tinggi dibanding negara-negara lain. Laju deforestasi hutan Indonesia sudah mencapai 610.375,92 Ha per tahun dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia (data WWF Indonesia). Dalam sebuah catatan memiriskan lainnya, maka Guinness Book of World Record bahkan pernah menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia, yaitu lima lapangan sepakbola per menit.

Kawasan hutan yang terdegradasi di Indonesia sendiri memang sudah mencapai jutaan hektar. Penyebabnya tentu banyak sekali. Di antara beberapa penyebab utama, maka kita dapat mencatat hal-hal berikut. Karena adanya penebangan secara illegal dan liar pun juga yang resmi dan terang-terangan, walau dengan alasan demi memenuhi semua kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan akan kayu, dan kebutuhan kelapa sawit. Adanya pembakaran hutan. Lantas juga dengan tidak adanya usaha serius (kurang serius) melakukan penanaman kembali hutan yang gundul atau yang habis ditebang.

Pada 1970-an ketika Dennis L. Meadows dan Donella H. Meadows mengeluarkan The Limits to Growth, mereka mengatakan bahwa pastinya ada limit di dalam growth. Pertumbuhan juga pasti harus ada batasnya. Itulah juga landasan lahirnya gerakan yang dikenal sebagai Degrowth. Gerakan ini tidak bermaksud untuk menghentikan pertumbuhan secara sporadis, bombastis, dan spektakuler. Tidak sama sekali. Tapi bagaimana membuat sebuah pertumbuhan yang lebih bersahabat. Pertumbuhan yang bersahabat dan bersahaja, environmental friendly tapi juga yang berkelanjutan (sustainable). Itu jugalah cikal bakal lahirnya ‘Green Economy’ di kemudian hari.

Menurut Presiden SBY, dalam sebuah seminar bertajuk Hutan  Indonesia: alternatif masa depan untuk memenuhi kebutuhan pangan, kayu, energi dan REDD+ yang diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) tahun 2011 yang lalu, bahwa secara global, deforestasi menyumbangkan sampai 20 persen dari emisi gas rumah kaca. Namun, di Indonesia, katanya proporsi tersebut justru sudah mencapai hampir 85 persen. Inilah juga salah satu penyebab Indonesia kembali mendapat ‘rapor merah’, yaitu sebagai salah satu penyumbang gas rumah kaca tertinggi di dunia.

Dan juga, kalau seandainya memang benar bahwa ada lebih dari 73% penebangan hutan di Indonesia adalah secara illegal, maka sudah tiba saatnya pemerintah mesti mengambil sikap dan langkah tegas. Jangan pernah berkompromi dengan kejahatan tersebut. Apalagi membuka diri untuk menerima hasil darinya (kejahatan kehutanan).

 

Apa yang Harus Dilakukan Presiden Indonesia Terpilih?

Tidak lama lagi, kita bangsa Indonesia akan mendapatkan seorang Presiden yang baru. Siapapun yang terpilih nantinya, sudah menjadi sebuah kemestian baginya untuk memperhatikan hutan-hutan kita. Harus ada upaya dan tindakan, serta kebijakan strategis dalam upaya menyelamatkan hutan Indonesia.

Misalnya saja dengan melakukan beberapa langkah berikut. Buatlah kebijakan-kebijakan yang ‘pro hutan’. Lagi-lagi mungkin kita bertanya seperti apa contohnya? Contoh sederhana adalah umpamanya membuat kebijakan tebang pohon tua. Artinya di hutan, hanya dizinkan untuk menebang pohon-pohon yang sudah benar-benar tua. Di samping itu tentu jarak penebanganpun harus jelas. Dalam arti, jangan menebang semua pohon di satu lokasi yang sama. Ini juga ada yang menyebutnya sebagai sistem tebang pilih. Nah, di hutanlah kita melakukan tindakan tebang pilih, bukan di KPK. Kalau di KPK semua koruptor harus ‘ditebang’. Selama ini sepertinya kita melakukan yang sebaliknya.

Kemudian, gerakan ‘penanaman kembali’ harus benar-benar dijalankan, tidak semata dan sebatas hadir dalam pidato penuh semangat penguasa negeri. Setiap kali menebang pohong yang tua, seharusnya kita diwajibkan menanam kembali pohon yang baru. Minimal setiap kita kehilangan satu pohon, kita akan ketambahan satu pohon baru juga. Meskipun tentu saja kita mesti menunggu beberapa tahun untuk pohon tersebut menjadi besar. Tapi kebijakan baik seperti ini harus terus digelindingkan dan dijalankan, niscaya dapat menipiskan deforestasi. Penghijauan hutan yang gundul (reboisasi) adalah suatu keniscayaan bila kita ingin menyelamatkan hutan kita.

Presiden harus juga memerintahkan kementerian kehutanan untuk segera menertibkan dan kalau perlu memenjarakan semua penebang liar. Perusahaan-perusahaan yang selalu bermain mata dengan pemerintah harus juga dilibas habis, jangan justru berkompromi dengan kejahatan mereka. Demikian juga dengan pelaku pembakaran hutan, mereka harus ditindak. Kalau hukum tidak ditegakkan, dan semua pelakunya bebas berkeliaran, saya yakin 1000 persen mereka akan terus melakukan hal yang sama, dan hutan kita akan semakin menderita.

Cara efektif lainnya untuk melindungi hutan adalah sosialisasi secara terus menerus tentang betapa pentingnya hutan itu bagi kehidupan kita dan anak cucu kita. Sosialiasi itu harus juga melibatkan masyarakat umum yang tinggal di sekitar hutan, dan mereka-mereka yang berproduksi dengan menggunakan hasil hutan.

Kalau di Indonesia, Presiden juga sepertinya harus mempekerjakan dan menambah polisi-polisi hutan. Ada banyak yang dapat dilakukan oleh polisi-polisi hutan ini. Misalnya mereka bertugas mengamankan hutan dari setiap tindakan pembalakan liar dan illegal. Mereka juga diberi tugas menanami hutan secara berkala, dengan komposisi sebisanya. Ini akan sangat membantu menjaga hutan-hutan yang kita miliki. Pembiayaan bisa diambil dari APBD masing-masing daerah di mana hutan tersebut berlokasi, atau bisa juga dari pusat.

Menutup tulisan ini, saya kembali mengajak kita memaknai apa yang pernah dikatakan oleh Presiden SBY pada konferensi yang ia hadiri di atas tadi: “Keberhasilan kita dalam mengelola hutan kita akan menentukan masa dapan dan kesempatan-kesempatan bagi anak-anak kita.” Juga bahwa, “Kita harus mengubah cara kita memperlakukan hutan, sehingga hutan terjaga, bahkan saat kita berusaha keras mempercepat pertumbuhan ekonomi kita,”

Presiden mengatakan, “Saya tidak ingin nantinya saya haru menjelaskan kepada cucu saya, Almira, bahwa generasi kita tidak mampu menjaga hutan dan masyarakat yang bergantung padanya. Saya tidak ingin menceritakan kepadanya kabar menyedihkan bahwa harimau, badak, dan orangutan punah seperti dinosaurus.” Karena itulah juga, maka ia berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca selama masa kepemimpinannya. Dan targetnya adalah penurunan sebesar 41% pada tahun 2020. Sebuah komitmen yang kelihatannya harus diteruskan dan dicapai oleh Presiden kita yang baru nanti.

Siapapun Presiden kita nantinya, yang pasti bukan saya, maka ia harus benar-benar berpikir serius tentang hutan kita. Sebagai bangsa yang sangat kaya dan memiliki hutan yang sangat beragam serta luas, akan menjadi sangat naif bila kita justru tidak sanggup menjaganya. Alangkah memalukan bila Presiden kita juga tidak mau tahu dan peduli.

Rainforest (hutan hujan) kita adalah yang terbesar ketiga di dunia. Hanya kalah dari hutan Amazon dan hutan di Congo Afrika. Yang menarik, hanya dengan luas besaran 1% dari jumlah total daratan yang ada di muka bumi ini, namun hutan hujan Indonesia mengandung sekitar 10% spesis tumbuhan yang sudah diketahui dunia, serta 12% binatang mamalia termasuk Orang Utan dan Harimau Sumatera yang sudah semakin kritis jumlahnya itu. Terdapat juga sekitar 17% dari semua jenis burung yang sudah diketahui dunia. Belum lagi spesis-spesis baru yang terus ditemukan di hutan Indonesia. Kita ini sebetulnya sangat kaya. Kekayaan inilah yang harus dijaga secara konsisten. Tidak hanya oleh Presiden, tapi oleh kita semua. —Michael Sendow

Sumber: Kompasiana, Jumat 28 Maret 2014.

Berita, Kabar

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Ada Apa dengan Hutan Kita?”

Leave a Reply