Bisnis Vs Lingkungan
Tidak terbantahkan, tarik-menarik kepentingan pengembangan bisnis dan pelestarian lingkungan dalam penataan Kota Jakarta telah berlangsung lama. Selalu ada upaya menggeser fungsi taman-taman besar di tengah kota dari zona hijau menjadi areal komersial.
Hingga Senin (24/3), kondisi Taman Ria, Senayan, Jakarta Pusat, masih terlihat tidak terawat. Kompleks di dekat gedung MPR/DPR itu ditumbuhi semak belukar setinggi 1 meter, selain juga banyak sampah. Trotoar pun rusak.
Petugas keamanan PT Ariobimo Laguna Perkasa (ALP) Hendry, mengatakan, Taman Ria sempat disegel Dinas Penertiban dan Pengawasan Bangunan (P2B) Pemprov DKI Jakarta. Namun, sejak dua bulan lalu segel telah dicabut.
”Sepertinya taman ini mau dibangun. Tetapi, saya belum tahu mau dibangun apa,” katanya.
Mengacu pada ketentuan dalam rancangan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta 2010-2030, Taman Ria ditetapkan sebagai kawasan perdagangan dan jasa dengan koefisien dasar bangunan (KDB) rendah. KDB rendah adalah proporsi lahan terbangun lebih kecil ketimbang lahan non-terbangun.
Hal ini bertentangan dengan RDTR 2005 yang menitikberatkan Taman Ria sebagai karya taman dengan fasilitasnya. Karya taman berarti tempat bekerja dengan fasilitas taman.
Meri, Penanggung Jawab Lapangan PT ALP, mengatakan, selama ini tidak ada kegiatan komersial di wilayah itu. PT ALP merupakan pengelola kawasan Taman Ria Senayan.
Sampai 40 persen
Taman Mini Indonesia Indah di Cipayung, Jakarta Timur, kini 40 persen dari total luas 135 hektar lahannya sudah digunakan untuk bangunan. Padahal, berdasarkan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kecamatan tahun 2005, lahan TMII sebagai karya umum taman hanya boleh digunakan paling banyak 20 persen untuk bangunan, sedangkan sisanya harus ruang hijau.
Dari luas lahan TMII yang dipakai untuk bangunan, tempat-tempat makan memperoleh porsi sekitar 10 persen dan wahana permainan menempati sekitar 20 persen lahan. Selebihnya untuk anjungan rumah khas daerah, museum, dan tempat ibadah.
Manajer Informasi TMII Suryandoro, Senin, mengatakan, porsi 40 persen itu tidak seluruhnya untuk bangunan. Misalnya, untuk anjungan rumah khas daerah, bangunan rumah menempati sekitar 50 persen lahan, sedangkan 50 persen lain untuk taman berisi tanaman. Jalan-jalan dan lahan parkir, lanjut Suryandoro, juga dilengkapi jalur atau ruang hijau.
Selain itu, menurut Suryandoro, TMII juga berkomitmen terhadap pelestarian alam melalui pengembangan konservasi flora dan fauna sejak 2009. Tempat konservasi dengan konsep taman terbuka termasuk ke dalam bangunan yang menempati 40 persen lahan TMII.
Wakil Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI) Bidang Pengembangan Kawasan dan Kota Baru Mandiri Hari Ganie mengatakan selalu ada kemungkinan RDTR menyimpang dari RTRW. ”Bisa jadi waktu penyusunan RDTR, ada sisipan yang merupakan pesanan dari orang lain, termasuk pengembang. Untuk itu, setiap ada perubahan peruntukan wajib dipaparkan secara transparan,” ujarnya. (NELI TRIANA/A03/A07/A14)
Sumber: KOMPAS, Rabu 26 Maret 2014.