Heart of Borneo: Biodiversitas yang Kini Kritis dan Mengkhawatirkan
Setiap kali mendengar kata “Borneo” atau “Heart of Borneo”, maka pikiran kita akan langsung tertuju pada pulau Kalimantan, dan hutan yang ada disana. Borneo adalah nama lain dari pulau Kalimantan, sedangkan Heart of Borneo adalah jantungnya Kalimantan yang merupakan hutan yang terbentang luas. Hutan Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia karena luasan hutannya yang luas, yaitu sekitar 40,8 juta hektare. Sayangnya, luasan hutan yang besar juga harus diikuti oleh laju deforestasi hutan yang besar pula. Menurut data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan, angka deforestasi di Kalimantan pada tahun 2000 sampai dengan 2005 mencapai sekitar 1,23 juta hektare. Artinya sekitar 673 hektare hutan di Kalimantan mengalami deforestasi setiap harinya pada periode tersebut. Luas hutan di seluruh provinsi yang ada di Kalimantan mencapai sekitar 40,8 juta hektare. Sementara itu menurut Greenpeace, hutan di Kalimantan hanya tersisa 25,5 juta di tahun 2010.
Deforestasi di Indonesia, terutama yang terjadi di Kalimantan banyak disebabkan oleh banyaknya aktivitas para perusahaan yang memanfaatkan hutan secara berlebihan serta tidak mempertimbangkan keberlanjutan hutan dimasa yang akan datang sehingga menyebabkan kerusakan hutan semakin tinggi, dan membuat areal hutan yang virgin semakin sempit. Pengalihan fungsi (konversi) hutan untuk perkebunan kelapa sawit juga memberikan kontribusi besar terhadap semakin derasnya laju deforestasi. Konversi hutan menjadi area perkebunan sawit inilah yang telah memberikan andil terhadap laju kerusakan hutan yang terjadi lebih dari 7 juta hektar hutan sejak tahun 1997.
Heart of Borneo merupakan salah satu harta karun alam terkaya di dunia dimana Heart of Borneo ini adalah rumah bagi 6% keanekaragaman hayati dunia yang menakjubkan mulai dari Orangutan, Macan Dahan, Bekantan, berbagai jenis Owa dan burung Enggang hingga 15.000 jenis tanaman berbunga. Berkurangnya luasan dan kualitas hutan di Kalimantan menjadi ancaman serius bagi berbagai jenis satwa langka di Kalimantan. Satwa langka tersebut berada dalam kondisi yang memprihatinkan, terjepit diantara menyempitnya hutan yang menjadi habitat mereka, perusakan habitat mereka, dan semakin maraknya perburuan liar yang terjadi.
Kekayaan dari Heart of Borneo tidak hanya sebatas pada keanekaragaman flora maupun faunanya saja, tetapi Kekayaan alam HoB juga memiliki nilai sosial dan ekonomi yang sangat besar, baik di tingkat lokal, nasional, dan global. Ini termasuk nilai-nilai sosial yang terkait dengan pengetahuan tradisional dan tempat-tempat sakral, nilai keanekaragaman hayati dan ekosistem dalam menciptakan ketahanan terhadap perubahan iklim yang terjadi, dan nilai produk dan jasa ekosistem yang digunakan sebagai masukan-masukan dalam berbagai sektor ekonomi Borneo.
Dalam nilai-nilai sosial, HoB dikenal memiliki masyarakat adat yang sangat ramah yang tinggal didalam maupun sekitar hutan yang hidup damai dan sejahtera berdampingan dengan alam. Masyarakat adat tersebut adalah suku Dayak yang merupakan penghuni dari Heart of Borneo. Adanya masyarakat adat yang tinggal disekitar HoB ini juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dengan tetap survive nya keberadaan hutan di Kalimantan dan laju kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan berbeda dengan laju kerusakan hutan yang terjadi dipulau lainnya di Indonesia. Kenapa bisa ??? Simpel saja, karena masyarakat adat yang hidup dan tinggal disana masih berpegang teguh untuk menjaga hutannya. Selain itu, adanya hubungan timbal balik yang dilakukan antara masyarakat dengan alam benar-benar mereka pegang kukuh, mereka menghargai dan menjaga hubungan tersebut secara turun menurun sejak nenek moyang mereka tinggal di sana. Mereka (red: masyarakat adat) menyadari bahwa alam telah menyediakan berbagai macam kebutuhan hidup bagi mereka, maka sepatutnya mereka juga membalas kebaikan yang telah alam berikan dengan cara selalu menjaga dan melindungi hutan yang ada.
Masyarakat adat yang hidup disana dengan segala adat istiadat yang ada, selalu menjunjung tinggi pentingnya keberadaan hutan untuk keberlangsungan kehidupan. Memang benar jikalau ada pepatah pernah menyatakan bahwa “sebaik-baik orang yang mengelola hutan adalah masyarakat yang hidup disana beserta peraturan/adat yang telah dibuat olehnya”, dan juga ada pepatah menyatakan, “Jantung Borneo tidak akan pernah ada jika tak ada mereka (masyarakat adat) yang menjaga kelestarian alam Borneo”. Dua pepatah ini sudah cukup menggambarkan bahwa keberadaan masyarakat adat di sekitar HoB benar-benar sangat penting, setidaknya untuk dua hal yaitu untuk tetap menjaga kelestarian hutan, dan keanekaragaman baik flora, fauna maupun adat istiadat yang ada, selain itu juga ikut menjaga kekayaan bangsa Indonesia dengan keberanekaragaman suku yang ada di Heart of Borneo dan segala kearifan lokal yang dimilikinya .
Pernyataan dari Anye Apui, Kepala Adat Hulu Bahau, Malinau, Kalimantan Timur juga seolah mengingkatkan kita tentang adanya ikatan yang sangat kuat antara identitas suku Dayak dan hutan. Beliau menyatakan, “Kayu memang menguntungkan secara ekonomi, tapi tidak bagi kami. Bagi kami yang terpenting adalah menjaga hutan ini, karena hutan adalah sumber kehidupan bagi orang Dayak,” (dikutip dari The Human Heart of Borneo yang diterbitkan oleh WWF HoB Globe Initiative).
Perlu kita ketahui, bahwa wilayah hutan HoB mencakup bagian hulu dan tengah sungai dari 29 daerah aliran sungai, termasuk 14 sumber dari 20 sungai besar di pulau tersebut. Tenaga hidro, perikanan air tawar, retensi sedimen, air minum, pengendalian hama dan polusi adalah beberapa jasa ekosistem berharga yang disediakan oleh bentang alam HoB. Jasa ekosistem inilah yang berkontribusi pada banyak sektor perekonomian di area lebih dari 70% Borneo, yang memberikan manfaat bagi lebih dari sebelas juta orang.
Akan tetapi, banyak nilai-nilai kekayaan alam HoB yang masih kurang diakui, meskipun masih sangat penting. Kekayaan alam HoB telah berkurang drastis dalam beberapa tahun terakhir. Bersamaan dengan hilangnya kekayaan alam, produk dan jasa ekosistem pun menurun. Perubahan iklim, ditambah dengan memburuknya ekosistem dan keanekaragaman hayati akibat perubahan pemanfaatan lahan telah memberikan dampak yang lebih parah, termasuk kenaikan permukaan air laut, resiko banjir dan kebakaran, serta perubahan durasi dan intensitas musim hujan dan kemarau yang semakin tidak menentu (dikutip dari Laporan Sintetis “Heart of Borneo, Berinvestasi di Alam untuk Ekonomi Hijau” yang diterbitkan oleh WWF HoB Globe Initiative).
Dengan segala keadaan yang telah terjadi ini, maka kita harus segera intropeksi diri atas segala kondisi tersebut dan segera mencari solusinya baik itu dengan dukungan moral maupun materiil maupun dengan melakukan gebrakan yang nyata dengan langsung terjun dilapangan agar keberadaan Heart of Borneo ini bisa diketahui dengan pasti oleh anak cucu kita kelak, dan bukan hanya sekedar tinggal cerita saja.
Sumber: Kompasiana, Selasa, 26 November 2013.