Wajah Transformasi Kalimantan
Oleh: Gianie
Menyusuri kota-kota pelabuhan di Kalimantan seperti membaca secara terang jejak peradaban pulau terbesar di Indonesia. Kemajuan di tanah Borneo itu tidak terlepas dari peran sungai dan laut sebagai urat nadi kegiatan serta pelabuhan yang menghidupinya. Kekayaan alam berlimpah berbalut budaya sungai ini memberi janji kemakmuran. Namun sayang, infrastruktur menjadi pekerjaan rumah yang berat.
Sungai, laut, dan pelabuhannya begitu setia mendampingi perubahan wajah Kalimantan selama berabad- abad, sejak zaman prakolonial hingga masa kini.
Tanah Borneo tak luput dari sentuhan peradaban Eropa. Pada tahun 1606, Kalimantan menerima kedatangan bangsa asing ketika Gillis Michielszoon, berkebangsaan Belanda, tiba di muara Sungai Barito. Setelah itu, di banyak bagian sungai lainnya, seperti di Sungai Mahakam, Kapuas, dan Martapura, pendatang-pendatang asing silih berganti dan menjalankan misi perdagangannya.
Sejarawan Belanda, Thomas Lindblad, yang meneliti tentang sejarah perdagangan Eropa dalam bukunya, Between Dayak and Dutch (1988), menyebut, perdagangan membawa pencerahan dan pencerahan membawa peradaban. Dan, di Kalimantan perdagangan itu dimulai dari tepi sungai.
Wilayah pesisir di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menjadi wilayah yang perkembangannya lebih cepat. Populasi di kota-kota seperti Balikpapan, Samarinda, dan Tarakan di pantai timur berkembang pesat. Begitu pula dengan kota di bagian selatan seperti Banjarmasin. Sungai Barito dan Mahakam memiliki peranan penting menghubungkan wilayah-wilayah pesisir dengan wilayah pedalaman yang dihuni oleh suku-suku asli seperti Dayak atau Banjar.
Perbedaan wilayah antara pesisir dan pedalaman ini memunculkan pola perdagangan yang berbeda. Masyarakat pedalaman dengan kemampuan jelajahnya yang tak begitu jauh terkonsentrasi pada kegiatan agraris dan memperdagangkan hasil pertanian kepada pendatang-pendatang Melayu atau China.
Lindblad mengatakan, tidak mudah melakukan hubungan dagang dengan orang di pedalaman, terutama bagi bangsa Eropa. Wilayah pedalaman menjadi kekuasaan para pendatang Melayu. Namun, pedagang China dikatakan belakangan cukup berhasil menjalin perdagangan dengan masyarakat pedalaman.
Alhasil, pendatang-pendatang non-Melayu mendominasi perdagangan di pesisir. Pendatang-pendatang asing tersebut membawa perdagangan Kalimantan terintegrasi dengan pasar dunia melalui ekspor terutama sejak kedatangan Belanda. Orang-orang Eropa, China, juga Bugis menguasai hasil-hasil bumi Kalimantan dengan memasarkannya ke luar negeri dan jarang muncul di pasar kecil di sepanjang sungai.
Produk yang diperdagangkan dari wilayah Kalimantan awalnya sarang burung dan kulit reptil, kemudian hasil hutan lainnya seperti getah perca (gutta percha) dan rotan. Juga lateks hutan berwarna merah muda yang digumpalkan dan dicampur dengan resin. Di pasar dunia, pada tahun 1840-an lateks ini dipakai untuk karet cambuk atau sayap helikopter dan untuk bahan isolasi kabel telegraf bawah laut.
Rotan dan batang pohon palem digunakan untuk membuat mebel yang saat itu populer di Eropa. Kedua produk ini diperdagangkan di sepanjang pantai. Banjarmasin menjadi pasar sentral yang berperan penting dalam perdagangan dengan Singapura.
Pedagang-pedagang asing ini tidak saja memasarkan produk-produk Kalimantan ke luar negeri, tetapi juga menjual barang ke masyarakat lokal yang dibawa dari Eropa dan Singapura. Barang-barang impor tersebut antara lain tekstil, beras, tepung, dan tembakau. Banjarmasin menjadi pusat perdagangan bahan-bahan pokok.
Posisi Banjarmasin lebih strategis karena letaknya di bagian selatan, dekat dengan jalur pelayaran internasional yang melalui Laut Jawa. Rute pelayaran yang melibatkan Kalimantan masa itu adalah pantai barat, selatan, dan timur Kalimantan ke Makassar (Sulawesi), Surabaya (Jawa), Singapura, dan Johor.
Periodisasi Komoditas
Perdagangan internasional dari Kalimantan bisa dibagi beberapa periodisasi. Sebelum abad ke-19, periode perdagangan dicirikan dengan komoditas yang berbasis pertanian. Hasil pertanian, perkebunan, dan hutan menjadi motor penggerak ekonomi pada periodisasi masa prakolonial dan kolonial awal. Kutai menawarkan karet dan rotan dari hulu Mahakam, sedangkan Banjarmasin memasarkan lada yang banyak tumbuh di Martapura dan sekitarnya.
Perkebunan baru dimulai tahun 1887 dengan tanaman tembakau, kopi, kelapa (kopra), dan karet sebagai komoditas utama. Terdapat hampir 100 perkebunan orang Eropa yang terdaftar antara tahun 1890 hingga tahun 1914. Pada tahun 1904, jenis baru dari karet hutan, yakni getah jelutung, mulai terkenal. Jenis ini menjadi bahan pembuat piring dan ubin.
Eksplorasi batubara di kedua pinggiran Sungai Mahakam antara Samarinda dan Tenggarong, serta penemuan sejumlah ladang minyak di Kutai dan Teluk Balikpapan menandai periodisasi pertambangan di Kalimantan yang bertujuan ekspor sejak akhir abad ke-19.
Pertambangan batubara pribumi sebenarnya telah dimulai pada pertengahan abad ke-19, seperti terdapat di Martapura, sepanjang Sungai Barito, Hulu Mahakam, dan Berau. Namun, produksinya di bawah bayang-bayang penambangan oleh pendatang dari Eropa. Skala usahanya kecil dan menggunakan perlengkapan kerja yang sederhana. Batubara yang didapat berwarna coklat dengan kualitas lebih rendah. Tambang pribumi ini diproduksi khususnya untuk kebutuhan pasar lokal.
Pada tahun 1891-1896, otoritas Kolonial menerima 35 permintaan konsesi pertambangan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, tidak termasuk konsesi-konsesi yang diberikan oleh kesultanan. Pulau Laut di Tanah Bumbu (Kalsel) tercatat dalam sejarah sebagai tambang batubara terbesar di koloni Kalimantan. Posisinya nomor dua di bawah tambang Ombilin (Sumatera Barat) pada tahun 1910. Namun, menjadi yang pertama pada 1912. Sejak saat itu, Kalimantan terkenal sebagai penghasil sekaligus pengekspor batubara.
Hingga kini, Kalimantan bersama Sumatera menjadi penghasil dan penyimpan cadangan terbesar batubara dengan kontribusi masing-masing terhadap nasional sebesar 49,6 persen dan 50 persen.
Selain itu, minyak mentah hitam berhasil dikeluarkan dari perut bumi Kalimantan pada tahun 1901, tepatnya dari Sanga-Sanga. Perusahaan tambang asing pertama yang berbendera Belanda (Shell) mulai beroperasi di Kalimantan. Menyusul kemudian perusahaan asing lainnya, seperti Royal Dutch. Daerah-daerah di Kalimantan Timur, seperti Kutai, Tarakan, Bulungan, Pasir, dan Balikpapan terkenal sebagai penyuplai minyak terbesar sejak zaman kolonial. Ekspor minyak mentah melebihi 100.000 ton terjadi tahun 1904. Berkat kemajuan teknologi, pada tahun 1912 ekspor minyak mentah digantikan oleh minyak yang sudah disuling atau disaring.
Beberapa instalasi ditambahkan untuk melengkapi kilang minyak di Balikpapan, termasuk lahan untuk pengolahan produk turunan seperti parafin, minyak pelumas, sulfur dioksida, asam sulfur, dan lilin. Pada tahun 1914, kerosin, bensin, dan residu dihasilkan secara signifikan untuk keperluan ekspor.
Kini, banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Kalimantan Timur di bidang penambangan batubara dan eksplorasi minyak bumi dan gas. Meskipun batubara dan minyak bumi booming di Kalimantan, hasil hutan masih menjadi primadona. Ditambah pula dengan perluasan kebun kelapa sawit sejak beberapa dekade terakhir.
Terlambat Dibangun
Meskipun Belanda memelopori eksploitasi minyak dan batubara serta perdagangan luar negeri dari kekayaan alam Kalimantan, otoritas Belanda hampir tidak benar-benar berkuasa di Kalimantan seperti halnya di wilayah Jawa atau Sumatera. Selain kurangnya kepentingan modal, perlawanan dari masyarakat setempat dan kondisi alam Kalimantan yang berhutan lebat menyulitkan Belanda.
Otoritas Belanda hanya ada di beberapa daerah pantai atau daerah yang memiliki pelabuhan yang masuk dalam jalur pelayaran internasional. Kurang kuatnya kepentingan Kolonial atau Eropa di Kalimantan ini terlihat dari tidak adanya pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, atau jalur kereta api.
Perjalanan ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan dilakukan lewat sungai atau laut. Kesempatan untuk berkeliling melalui jalan darat sangat terbatas. Konstruksi jalan darat baru dimulai pada dekade-dekade berikutnya.
Alhasil, meski Kalimantan diberkahi dengan kekayaan alam yang luar biasa, kemajuan dan hasil pembangunannya belum menggambarkan kesejahteraan. Dilihat dari kegiatan ekonominya, keseluruhan produk domestik regional bruto provinsi di Kalimantan hanya menyumbang sekitar 9-10 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia.
Untuk meningkatkan kemajuan dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, mau tidak mau pembangunan infrastruktur harus menjadi prioritas. Kota-kota pelabuhan, seperti Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, dan Balikpapan, yang berperan penting sejak masa Kolonial tetap menjadi barometer bagi kemajuan Kalimantan ke depan. Kota-kota ini menjadi konsentrasi bisnis dan hunian kaum pendatang.
Di kota-kota pesisir pantai itu, melalui program Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah kini memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Sejumlah proyek, seperti pembangunan jembatan, jalan tol, jalan layang, perluasan bandara, dan jalur kereta api, tengah dikerjakan.
Kota-kota pun mempercantik diri. Di Kota Balikpapan, misalnya, reklamasi pantai kini gencar dilakukan untuk sejumlah kepentingan, seperti pembangunan pusat perbelanjaan, apartemen, ataupun hotel.(GIANIE/LITBANG KOMPAS)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 9 Oktober 2013.