Pemerintah Harus Libatkan CSR Perusahaan Bangun Hunian
Selain merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, hunian memiliki fungsi yang sangat strategis dalam perannya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi yang akan datang, serta merupakan pengejawantahan jati diri.
Terwujudnya kesejahteraan rakyat dapat ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan papannya. Dengan demikian upaya menempatkan bidang perumahan sebagai salah satu sektor prioritas dalam pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya adalah sangat strategis.
Walaupun hunian merupakan suatu kebutuhan Primer, dalam kenyataan kehidupan di masyarakat hanya 20% saja yang sudah berhasil memenuhi kebutuhan Papan ini. Semua itu bukanlah hal yang aneh karena kebutuhan akan hunian saat ini merupakan suatu hal yang dilematis.
Buktinya, dinamika pemenuhan akan kebutuhan hunian di Indonesia tidak kunjung tuntas. Bahkan, kekurangan jumlah pasokan hunian untuk rakyat miskin terus merangkak naik. Pasalnya, di tengah upaya beli yang juga kian menurun, tingkat jual harga rumah makin tidak terjangkau masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.
Di sisi lain, cicianl kredit hunian yang diupayakan pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui skema subsidi pun pada dasarnya, masih belum mencerminkan tingkat harga jual yang dapat dijangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Lantas, dapatkah kebutuhan akan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa terpenuhi?
Kepada Neraca, Program Manager Jembatantiga.com (Penabulu Alliance), Herman Simanjuntak menuturkan, harga tanah atau hunian sangat tinggi dikarenakan lokasinya yang sangat strategis, khususnya di Jakarta. Sedangkan di beberapa daerah harga hunian atau tanah masih bisa terjangkau oleh masyarakat.
Maka dari itu, sambung Herman, sebaiknya pemerintah bisa melakukan pembebasan tanah dilahan-lahan APL (Areal Penggunaan Lainnya) untuk membangun perumahan rakyat dengan subsidi dengan mekanisme yang jelas dan peruntukkannya bagi mereka yang belum mampu.
“Seperti yang dilakukan oleh Jokowi saat ini, terkait alokasi perumahan bagi masyarakat yang kurang mampu di marunda. Bukan diberikan kepada investor-investor dengan luasan yang besar. Atau dengan kata lain ada peruntukan untuk perumahan dan ada untuk peruntukan bagi investor. Bagaimanapun juga, entah mahal atau tidaknya harga hunian jika kita sudah berkeluarga, wajib untuk membelinya,” ujar dia.
Terkait dengan hal tersebut, belum lama ini anggota Komisi IV DPR mendorong perusahaan-perusahaan besar di Indonesia untuk mewajibkan para buruhnya memiliki Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berasal dari dana CSR perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Ayu Koes Indriyah. Dirinya berharap pemerintah dapat melibatkan pemberi kerja atau instansi perusahaan terkait dengan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mewajibkan pekerjannya memiliki Tapera.
“Saya berpikir pemberi kerja atau perusahaan besar yang memiliki CSR diwajibkan mengadakan Tapera untuk buruh-buruhnya. Selain itu, perusahaan seharusnya juga bisa menggunakan dana CSR untuk pembebasan lahan dengan tujuan memberi hunian yang layak bagi karyawannya, ” kata Ayu dalam rilisnya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal tersebut, Herman menyebutkan bahwa ini merupakan peran yang baik bagi perusahaan untuk dapat melakukan tanggung jawab sosial yang real bagi masyarakat tanpa meninggalkan peran dari pemerintah tentunya guna penentuan siapa saja yang benar-benar harus mendapat bantuan.
“Karena selama ini beberapa perusahaan yang sudah melakukan CSR selalu mengikuti trend belum menemukan inovasi-inovasi baru,” imbuh dia.
Menurut Herman, memberikan subsidi bagi karyawan yang sudah memiliki TAPERA dengan mekanisme yang baik tentunya dengan kata lain tidak menguntungkan satu pihak untuk memiliki hunian. Maka dari itu, keterlibatan pemerintah sangat diperlukan dalam penentuan lokasi pembebasan lahan tersebut agar tidak adanya tumpah tindih kepemilikan lahan tersebut.
“Saran saya adalah pemerintah wajib memberikan lahan untuk pembangunan rumah dan baiknya adalah rumah susun 4 tingkat dengan 40 Bilik misalnya ukuran satu rumah 4 x 8 Meter dilengkapi satu WC tentunya agar alokasi lahan tidak terlalu banyak. Selain itu mengalokasikan dana untuk pemberian subsidi bagi masyarakat yang belum mampu dengan tepat sasaran,” ungkap dia.
Selanjutnya, jelas Herman, pihak perusahaan berkolaborasi dalam pembangunan rumah susun misalnya dalam pemenuhan bahan material dilakukan oleh perusahaan semen, penyediaan bahan kontruksinya oleh perusahaan Baja dan penyediaan kredit lunaknya oleh perusahaan perbankan. Barang-barang yang diberikan dalam membangun perumahan tersebut bisa dikalkulasikan untuk laporan Annual Report Perusahaan khususnya pelaksanaan CSR perusahaan.
“Media dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) sebagai monitoring kegiatan ini agar ada pemantau jika kegiatan-kegiatan ini terselewengkan atau diselewengkan. Penerapannya mungkin diskala kecamatan dahulu agar mudah mengawasi dan melaksanakannya,” ujar dia.
Sumber: NERACA, Sabtu, 15 Juni 2013.