Menanggapi RUU Kebudayaan
Oleh: Linda Hoemar Abidin, Mirwan Andan & Abduh Aziz
Sejak beberapa waktu lalu, telah beredar naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan. Niat pemerintah dan inisiatif DPR untuk membuat Undang-Undang Kebudayaan tentu layak ditanggapi, terutama karena belum adanya kebijakan kebudayaan (cultural policy) yang memadai sejak kemerdekaan.
Jikapun ada, maka kebijakan itu tak pernah menjadi kebijakan nasional, tetapi hanya menjadi kebijakan di tingkat departemen yang dijalankan secara terbatas dan tanpa visi yang jelas. Pecahan-pecahan kebijakan kebudayaan ini jejaknya bisa ditemui di tingkat kementerian maupun pemerintah pusat dan daerah.
Tulisan ini mencoba menanggapi niat pemerintah dan inisiatif DPR itu, sebagai bentuk partisipasi publik mendukung pemerintah. Harapannya adalah kekuatan besar kebudayaan dapat benar-benar berperan sebagaimana mestinya. Hasil kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan pada 2009 menunjukkan bahwa selama era reformasi, semua pemerintahan, kecuali era Gus Dur, selalu menempatkan kebudayaan hanya sebagai pelengkap untuk urusan pariwisata.
Paradoks di RUU Kebudayaan
Kebijakan dan UU Kebudayaan yang baik harus dilandasi dengan pengertian kebudayaan yang kuat. Mari kita lihat pengertian kebudayaan yang tercantum dalam naskah Draf RUU yang disusun oleh tim kerja PUU Deputi bidang perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR tahun 2011. Menurut naskah ini, kebudayaan adalah: ”Segenap perwujudan dan keseluruhan hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam rangka kepribadian manusia dengan segala hubungannya, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan YME, hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam”.
Definisi kebudayaan seperti ini adalah definisi yang normatif dan tidak sungguh-sungguh menangkap kenyataan kebudayaan yang berlangsung. Definisi ini melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang statis, dan sudah jadi, bukannya sesuatu yang dinamis dan terus berkembang.
Definisi kebudayaan yang terbatas ini membawa akibat pada pengertian penyelenggaraan kebudayaan yang juga terbatas. Di dalam naskah RUU Kebudayaan, Bab I Pasal I Ayat 2, tercantum kalimat, ”Penyelenggaraan Kebudayaan adalah pengelolaan dan pelestarian kebudayaan meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan yang dilakukan secara terpadu.” Dari kalimat penting ini terasa bahwa pengertian ”penyelenggaraan kebudayaan” menurut RUU itu tidak cukup lengkap, bahkan tidak memadai karena karakter terpenting dari kebudayaan, yakni perubahan dan penciptaan, luput ditangkap oleh para penyusun RUU ini. Pertanyaannya kemudian adalah di mana tempat bagi upaya dan ruang penciptaan baru dari kebudayaan?
Sebagai sebuah kebijakan, RUU Kebudayaan ini terkesan timpang karena hanya ingin merawat apa yang sudah ada. Pada kenyataannya, praktik kesenian dan kebudayaan di Indonesia tak lagi hanya berkisar pada persoalan pelestarian, revitalisasi, serta perlindungan karya seni dan budaya saja, tetapi berkembang menjadi ruang penciptaan, inventarisasi pengembangan dan distribusi pengetahuan, serta jejaring kerja antarbudaya yang saling mendukung.
Perubahan dan penciptaan adalah keniscayaan. Substansi kebudayaan pada akhirnya adalah upaya masyarakat dari generasi ke generasi berkarya merespons tantangan zaman. Masyarakat Indonesia yang plural kemudian menghasilkan bentuk respons yang beragam pula sehingga terwujudlah keanekaragaman seni budaya Nusantara yang selama ini dikagumi dunia.
Rekomendasi
Dinamika perkembangan kebudayaan Indonesia lebih membutuhkan sebuah kebijakan yang memfasilitasi lingkungan di mana anak bangsa bisa berkarya dan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebuah kebijakan yang: mendorong tersedianya dukungan dana dan mekanisme pengelolaannya yang transparan dan akuntabel; mewujudkan program-program edukasi publik serta distribusi pengetahuan dalam skala nasional dan internasional. Selayaknya, perumusan kebijakan kebudayaan melibatkan para pelaku dan pemangku kepentingan seni-budaya.
RUU Kebudayaan yang isinya sangat normatif dan jauh dari kebutuhan masyarakat menelantarkan cita-cita menempatkan sektor kebudayaan sebagai penggerak pembangunan. Penempatan sektor kebudayaan sebagai variabel dekoratif mencerminkan pemahaman yang sempit dan parsial. Padahal, contoh-contoh dari beberapa negara maju, termasuk Korea Selatan, telah berhasil mengembangkan kebijakan kebudayaan, bukan hanya sebagai identitas nasional belaka, melainkan sudah menjadi nilai tambah dalam strategi pengembangan ekonomi negara.
Keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki Indonesia juga belum dilihat oleh RUU Kebudayaan ini sebagai aset dan peluang untuk membuka dialog lebih intensif antarbudaya. Budaya lokal ataupun tradisi dalam RUU Kebudayaan ini masih dilihat sebagai pusaka tak bergerak dan karenanya dianggap cocok disimpan dan dilestarikan saja. Cara pandang semacam ini menutup peluang peningkatan potensi kerja sama lintas sektor dan lintas budaya.
Tod Jones, akademisi asal Curtin University, Australia, meneliti semua kebijakan kebudayaan di Nusantara dari era kolonialisme sampai era reformasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya di era Demokrasi Konstitusional dan Demokrasi Terpimpin saja ada sejenis kebijakan kebudayaan. Era tersebut memberi perhatian terhadap inisiatif-inisiatif non-pemerintah, baik perorangan maupun kelompok, dan terhadap pendidikan dengan didirikannya sekolah seni. Ujungnya bermuara pada penghormatan terhadap kebebasan artistik para pelaku kesenian dan kebudayaan (Jones, 2005).
RUU Kebudayaan yang sedang dirancang saat ini semestinya melakukan studi sejarah kebijakan kebudayaan yang pernah ada di Indonesia, yang bisa menjadi bahan perbandingan untuk membuat regulasi di era ini.
Penulis, mewakili Koalisi Seni Indonesia (www.koalisiseni.or.id), perhimpunan penggiat kesenian Indonesia untuk lingkungan kesenian yang kondusif dan berkesinambungan
Sumber: KOMPAS, Minggu, 26 Mei 2013.