Menyoal Penggalangan Dana Publik untuk Bencana
Bencana demi bencana yang melanda tanah air telah mendorong perlunya Indonesia memiliki Undang-undang penanggulangan bencana. Dan pada 26 April 2007 Pemerintah telah mengundangkan berlakunya Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sejak saat itu UU tersebut menjadi acuan dalam penanggulangan bencana.
Salah satu aspek penting dalam penanggulanan bencana adalah soal pendanaan. Namun sayangnya UU Penanggulangan Bencana belum mengatur secara detail soal aspek pendanaan, lebih khusus lagi penggalangan dana publik untuk bencana.
Dalam UU Penanggulangan bencana, soal pendanaan diatur dalam pasal 60 ayat (1), bahwa pendanaan penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah daerah. Kemudian masih dalam pasal yang sama ayat (2), Pemerintah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.
Namun demikian, UU Penanggulangan Bencana belum mengatur bagaimana bentuk dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam penggalangan dana publik untuk penanggulangan bencana. Baik partisipasi dalam kapasitas sebagai penyelenggara penggalangan dana publik, seperti syarat-syarat minimal apa yang harus dipenuhi sebuah lembaga sebelum melakukan aktivitas penggalangan dana publik. Maupun partisipasi masyarakat dalam kapasitas sebagai donatur, seperti apa saja hak-hak donatur yang harus diperhatikan lembaga yang menggalang dana publik.
Pasca bencana gempa bumi di Jawa Barat dan Sumatra Barat, marak aksi penggalangan dana publik untuk korban bencana. Aneka ragam bentuk dan pelakunya, dari sekumpulan orang dengan kotak kardus bekas berkeliling di perempatan jalan, media massa cetak dan elektronik (TV dan Radio), sampai lembaga yang dari awal didirikan difocuskan untuk menggalang dana publik untuk keperluan kepentingan sosial dan kemanusiaan.
Niat baik semua pihak mengetuk hati masyarakat untuk berbagai kesedihan dengan meyisihkan sebagian hartanya untuk korban bencana patut dihargai. Namun demikian, kegiatan mengumpulkan dana publik untuk korban bencana, tidak semata soal niat baik. Ada aspek lain yang perlu diperhatikan, seperti kapasitas lembaga dalam pengelolaan dana publik, akuntabilitas dan transparansi, pelaporan/ pertanggungjawaban kepada publik, sampai kemampuan memehuhi hak-hak donatur
Kasus penggalangan dana publik untuk bencana yang dilakukan berbagai media misalnya, pada umumnya masih menggunakan rekening atas nama PT (Perusahaan Terbatas). Dari aspek governance, ini bermasalah. Memang tidak dilarang, sebuah badan hukum komersial (PT) melakukan penggalangan dana publik untuk keperluan kegiatan sosial dan kemanuniaan.
Namun demikian, apabila sebuah badan hukum komersial, termasuk media, serius dan peduli pada persoalan sosial dan kemanusiaan, seyogyanya niatnya diwujudkan dalam bentuk membuat badan hukum non-komersial terpisah. Tidak mencampur-adukkan antara kegiatan komersial dengan kegiatan kemanusiaan dalam sebuah badan hukum komersial. Sekalipun ada pemisahan rekening, tetap tidak cukup karena masih dalam ruang lingkup badan hukum komersial.
Menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, badan hukum yang dapat menampung kegiatan sosial dan kemanusiaan adalah dalam bentuk yayasan. Sehingga ada pemisahan fungsi antara aktivitas komersial dan aktivitas sosial/ kemanusiaan, meskipun pengurusnya bisa orang yang sama. Tetapi dari aspek governance, jelas pertanggungjawabannya.
Di Amerika, misalnya, ada Donor Bill of Rights yang dirumuskan oleh National Society of Fund Raising Executives dimana secara tegas dirinci hak-hak donatur yang harus dihormati lembaga yang menggalang dana publik. Antara lain hak untuk mengetahui misi organisasi yang disumbang, tujuan, dan kemampuan organisasi dalam menggunakan sumbangan dan hak untuk mengetahui mereka yang duduk dalam dewan pengurus organisasi yang disumbang, serta meminta dewan pengawas untuk secara cermat menilai tanggung jawab dewan pengurus.
Hak ini sulit didapatkan donatur sepanjang aktivitas penggalangan dana publik dilakukan menyatu dalam sebuah badan hukum komersial. Untuk mengetahui nomor telp yang dapat dihubungi saja tidak mudah. Dan dari media yang melakukan penggalangan dana publik, tidak semua menginformasikan hotline telepon, berikut personil yang bertanggungjawab yang sewaktu-waktu dapat dimintai informasi menyangkut penyaluran dana yang telah disumbangkan.
Di Amerika masalah penggalangan dana publik, tidak semata soal niat baik, tetapi sudah menjadi persoalan hukum, dalam bentuk diseretnya sujumlah pengurus lembaga amal ke muka pengadilan, karena tuduhan menyalahgunakan dana yang dihimpun dari publik untuk keperluan segelintir pengurus lembaga amal tersebut. Dengan kata lain, dari sejumlah dana yang dihimpun dari publik, ternyata sebagian besar habis untuk biaya operasional lembaga dan biaya personil, bukan jatuh kepada pihak yang membutuhkan bantuan. Sejumlah negara mengatur biaya operasional dan personil lembaga amal tidak boleh lebih dari 30 persen dari total dana yang berhasil dihimpun dari publik.
Sudah waktunya penggalangan dana publik untuk keperluan bencana “ditertibkan”, khususnya yang dilakukan oleh badan hukum komersial. Agar pemanfaatan dana dari masyarakat lebih maksimal, perlu dibangun kesadaran kritis dikalangan donatur, bahwa sebagai donatur mereka mempunyai hak.
Ke depan perlu ada rating oleh pihak ketiga yang independen terhadap lembaga yang bergerak di bidang penggalangan dana publik. Dari rating tersebut, dapat menjadi referensi bagi donatur dalam menyalurkan dananya untuk keperluan sosial dan kemanusiaan. Adapun aspek dalam penentuan rating antara lain soal transparansi dan akuntabilitas, kredibilitas pengurus, efisiensi operasional lembaga sampai pelaporan/ pertanggungjawaban kepada publik. Sudaryatmo, Pengurus Harian YLKI Jakarta.
Sumber: Kelas Kyutri, Jumat, 22 Maret 2013.