Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Seluruh upaya adaptasi perubahan iklim merupakan upaya pengurangan risiko bencana. Demikian juga sebaliknya, upaya PRB merupakan bagian dari upaya perlawanan terhadap dampak perubahan iklim. Pada tataran operasional – keduanya menyatu padu dalam satu tujuan yaitu ketahanan sebagai wujud dari perlindungan dan keselamatan untuk kehidupan bermartabat.
Integrasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Adaptasi Perubahan Iklim (API) merupakan upaya menyatukan keduanya sebagai satu kesatuan yang utuh. Disadari, dalam kontek praktik, upaya API – PRB tidak dapat dipisahkan. Perbedaan muncul lebih dikarenakan isu atau disiplin keilmuan yang membidangi keduanya. Selanjutnya menurunkan perbedaan-perbedaan dalam pendekatan untuk melihat pokok persoalan yang ada. Pada tujuan akhir, keduanya kembali menjadi satu kesatuan yang utuh; menempatkan perlindungan dan keselamatan sebagai sasaran akhir. PRB maupun API menempatkan manusia mampu mengurangi risiko yang diakibatkan oleh ancaman bencana maupun dampak buruk perubahan iklim.
Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya mengurangi kerentanan atas bahaya sekaligus meningkatkan kapasitas pada seluruh komponen dari aset penghidupan (sunstainable livelihood/penthagon asset); human, social, physic, nature and finance. Dari sisi kapasitas, pada tiga komponen utama; preparedness (kesiapsiagaan), partisipasi (participatory) maupun kebijakan (policy), termasuk kelembagaan yang lebih tangguh dalam menghadapi ancaman bencana yang meningkat akibat perubahan iklim. Sementara dalam kontek adaptasi perubahan iklim, PRB merupakan strategi atau pendekatan dalam adaptasi.
Keduanya memilki hubungan signifikan. Hal yang penting untuk dilakukan adalah saling menguatkan pendekatan-pendekatan yang telah berkembang. Salah satunya adalah kajian kerentanan terhadap dampak perubahan iklim yang menggunakan prediksi ke depan (30 – 60 ke depan) sebagai basis analisis tingkat kerentanan sebuah komunitas atau kawasan. Penggunaan data-data iklim dalam rentang waktu panjang secara konstan (20 – 30 tahun ke belakang sampai saat ini) untuk menarik prediksi iklim ke depan merupakan hal penting untuk dipertimbangkan dalam kajian risiko bencana. Sehingga hasil kajian berupa tingkat risiko bencana dapat menggambarkan hasil jangka panjang.
Kami hanya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada. Banjir semakin tinggi, kami harus meninggikan rumah kami. Biar banjir tidak masuk ke dalam rumah. Tapi, saya bingung kalau banjirnya semakin tinggi.
Muhammad Ali – Warga Demak
Di wilayah yang rutin didatangi banjir atau rob, model bangunan rumah umumnya telah menyesuaikan dengan ancaman banjir; Model rumah panggung, lantai yang lebih tinggi atau bangunan dua lantai. Tersedia juga tempat aman dari air banjir untuk menyimpan berbagai barang berharga. Lebih dari itu, warga juga telah menyiapkan peralatan mobilisasi atau penyelamatan diri seperti perahu, perahu karet, ban dalam mobil, kompan atau pelampung. Demikian juga pada jenis mata pencaharian. Masyarakat umumnya memiliki lebih dari satu jenis mata pencaharian yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan.
Apa yang dilakukan komunitas pada kawasan banjir merupakan bentuk penyesuaian diri dengan lingkungan. Penyesuaian tersebut akan bertahan dan berkembang mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi sampai pada batas kemampuan komunitas itu sendiri untuk bertahan hidup.
Pemanasan global yang mempengaruhi pola iklim secara global menjadi landasan berpikir kritis. Berbagai upaya penyesuaian yang telah ada, apakah mampu bertahan mengahadapi kemungkinan perubahan yang lebih ekstrem. Luasan dan tinggi banjir meningkat, arus air lebih tinggi atau waktu banjir menjadi lebih lama. Seberapa besar kesiapan atau penyesuaian diri yang telah ada mampu mengahadapi ancaman banjir yang semakin meningkat? Bagaimana dengan wilayah yang sebelumnya tidak mengalami banjir saat menjadi wilayah baru yang ikut tergenang?
Banjir baru satu dari sekian ancaman bencana yang berkorelasi erat dengan perubahan iklim. Angin ribut/topan, longsor, kekeringan, kebakaran dan wabah merupakan bentuk lain yang berpotensi bencana. Menjadi lebih komplek ketika berbagai ancaman bencana tersebut dihubungkan dengan ancaman sekunder dari banjir; krisis air bersih, ketersediaan pangan, sebaran wabah sampai tindak kriminal akibat berhentinya sektor pendukung perekonomian warga.
Pengurangan risiko bencana tidak bisa lepas dari perubahan iklim. Dari beberapa kasus kejadian bencana, dampak perubahan iklim secara langsung mempengaruhi tingkat risiko bencana. Peningkatan risiko terjadi karena dampak perubahan iklim memicu peningkatan bahaya, meningkatkan kerentanan serta menurunkan kapasitas.
Dari sisi kuantitas, bencana yang di picu oleh faktor hidrometeorologi menempati jumlah terbanyak. Demikian juga dari sisi kerugian. Dari ata BNPB, 95 % dari kejadian bencana di Indonesia berhubungan erat dengan iklim. Sedangkan sisanya merupakan bencana geologis dan akibat manusia. Banjir menempati posisi tertinggi kejadian di Indonesia sebesar 34%. Kejadian lain dengan jumlah tinggi adalah kebakaran, kebakaran hutan dan lahan (17%), tanah longsor (13%), puting beliung (13%), dan wabah (12%)[1][1].
Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, dampak perubahan iklim semakin berat karena kemampuan adaptasi belum sepenuhnya disiapkan dengan baik. Pada hal yang paling mendasar, seperti data dan informasi saja, masih belum mampu terdistribusikan ke masyarakat. Sementara, berbagai upaya antisipasi penanggulnagan bencana; baik tindakan preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan masih belum menjadi prioritas utama. Paling tidak, kita dapat melihatnya dari ketersediaan anggaran negara, baik di nasional maupun daerah masih jauh di bawah terget ideal yang didorong oleh PBB, sebesar 30 % total dana APBN/APBD.
Tulisan ini disusun sebagai media memperkaya wacana mengenai integrasi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Harapanya, Materi-materi dalam briefing paper ini dapat dikembangkan dan menjadi media diskusi bagi para praktisi, akademisi maupun sektor swasta sebagai bentuk partisipasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.
Sumber: Kelas Kyutri, Jumat, 16 November 2012.