Kelahiran UU Ormas (Bagian 1/2)
Menelusuri kelahiran UU Ormas, bentuk “ormas” sendiri sesungguhnya tidak jelas posisinya di dalam kerangka hukum karena ia adalah sebuah bentuk yang dicari-cari untuk mengontrol dan merepresi kebebasan berorganisasi. Terkait Ormas sendiri, aroma politik yang kental mewarnai kelahiran UU Ormas. Keberadaannya memang didesain untuk menerapkan konsep “wadah tunggal”, yaitu konsep untuk menempatkan segala jenis organisasi dengan kepentingannya masing-masing (kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, atau agama) ke dalam satu jenis format organisasi yaitu Organisasi Kemasyarakatan sehingga lebih mudah untuk dikontrol.UU Ormas ini jelas merupakan UU yang salah kaprah dan salah arah.Untuk itu, memang UU ini seharusnya dicabut, bukan direvisi (seperti yang telah diusulkan oleh DPR melalui RUU Ormas).
Sedikit banyak UU Ormas ini mengalami permasalahan dalam implementasinya, mulai dari pengaturan soal asas tunggal, berbagai mekanisme kontrol, hingga kewenangan pembubaran.Dari penggambaran di atas dapat dilihat secara sekilas bahwa Ormas sejatinya memang lebih sebagai mahluk politik dibandingkan dengan mahluk hukum.Dari segi hukum, Ormas sendiri sebetulnya masuk ke dalam wilayah Perkumpulan.
a. Kerangka Hukum
Ormas adalah singkatan dari Organisasi Kemasyarakatan (bukan Organisasi Massa!) yang merupakan bentuk yang dilahirkan oleh UU No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Ormas bukanlah badan hukum, melainkan hanya status terdaftar berdasarkan Surat Keterangan Terdaftar yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kemendagri. Bentuk Ormas tidaklah dikenal dalam kerangka hukum yang benar, ia merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan mengontrol dinamika organisasi masyarakat di Indonesia.
Perlu dipahami bahwa kerangka hukum yang ada untuk organisasi kemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) jenis.Untuk organisasi tanpa anggota, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (selanjutnya disebut UU Yayasan). Sementara untuk organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan Stb. 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen) yang dikeluarkan pada 28 Maret 1870.
Perkumpulan tersebut bersifat non-profit.Itulah sebabnya istilah yang digunakan ialah verenegingyang merupakan lawan dari maatschapatau vennootschap.Di Indonesia, perkumpulan jenis ini kerap disebut dengan Perhimpunan, Ikatan, Persatuan, Perkumpulan, dll.
Kedudukan badan hukum dari Perkumpulan tersebut diperoleh sesudah ada pengakuan dari Menteri Kehakiman (konteks terkini Menteri Hukum dan HAM).Pengesahan dilakukan oleh Menteri dengan menyetujui anggaran dasar Perkumpulan yang memuat maksud tujuan, azas-azas, lapangan pekerjaan, dsb.Menteri dapat menolak jika ada alasan yang bertentangan dengan kepentingan umum dengan memuat segala alasan penolakan dalam keputusannya.
Stb 1870-64 ini sebenarnya mengenai Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum.Namun demikian Stb 1870-64 ini tetap mengenal dan mengakui Perkumpulan yang tidak berbadan hukum (Pasal 8). Contoh yang bisa kita ambil seperti forum Majelis Taklim, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, bahkan kemunculan fans club ̧ atau komunitas tertentu berdasarkan hobi, termasuk salah satu diantaranya. Rezim hukum terhadap perkumpulan inipun masih diberlakukan hingga kini, berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945.
b. Definisi yang absurb
RUU Ormas ini menggunakan definisi yang absurd.Di mana segala organisasi yang bersifat nirlaba masuk kategori Ormas.Dari organisasi berdasarkan minat olahraga, seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dll), hobi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan sebagainya (Pasal 7, ayat 2 RUU Ormas).Apa pun istilah lain bagi ormas itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan organisasi sosial, RUU Ormas memang serba mencakup.Padahal semua pemilihan istilah tersebut tentunya memiliki alasan dan sudut pandang tertentu.
Menjadi sebuah kompleksitas tersendiri jika kita mencoba mendefinisikan masing-masing istilah di atas tanpa tolak ukur yang jelas. Apa yang dimaksud dengan LSM? Apa bedanya dengan Ornop/NGO? Kenapa pula ada yang disebut dengan OMS? Kesimpangsiuran terjadi diakibatkan karena istilah-istilah tersebut (LSM, Ornop/NGO, dll) sesungguhnya adalah istilah-istilah yang berada pada wilayah praktis sehingga pemaknaan maupun perspektif terhadap masing-masing istilah sangat bergantung pandangan para pihak kepada organisasi yang bersangkutan.
c. Paradigma Patrimonialisme Birokratik
Fenomena anarkisme dalam masyarakat selama 10 tahun terakhir, sesungguhnya tidak berkolerasi dengan akal-akalan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang sebetulnya didasarkan pada asumsi birokratik patrimonial (Moh. Fajrul Falaakh, Kompas 7 Februari 2012). RUU Ormas mewajibkan semua ormas bukan berbadan hukum mendaftarkan diri ke pemerintah (Pasal 16). Akibatnya, kalau tak mendaftar, ormas tak memiliki izin kegiatan atau tidak dapat beroperasi. Seluruh organisasi ini nantinya akan dikontrol oleh Kementrian Dalam Negeri yang diusulkan sebagai institusi yang mengawasi keberadaan berbagai organisasi masyarakat ini.Ini adalah konstruksi yang melanggar prinsip kemerdekaan bangsa untuk berserikat, sebagaimana ditentukan pasal 28, 28C (2) dan 28E (3) UUD 1945, UU No 39/1999, ataupun International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi dengan UU No 12/2005).
Paradigma patrimonialisme birokratik kental terasa, di mana RUU Ormas mengatur relasi negara dan masyarakat. Seharusnya ormas tak wajib mendaftarkan diri kepada pemerintah. Ormas dapat secara sukarela mendaftarkan untuk berhubungan dengan instansi pemerintah berdasarkan kebutuhan dan sesuai jenis kegiatan ormas.Dengan demikian, tidak tepat Menteri Dalam Negeri memonopoli definisi “menteri” (Pasal 1 Angka 7).
d. Hegemoni Negara
RUU Ormas yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah saat ini masih mengandung muatan represi yang tidak jauh berbeda dengan Undang Undang No. 8 Tahun 1985. Undang Undang ini mengatur organisasi sampai dengan hal-hal yang bersifat internal. Misalnya: RUU ini mengatur hal-hal yang dimuat dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebuah organisasi, keuangan organisasi, pewajiban pendaftaran bagi seluruh organisasi (seluruh organisasi sesuai dengan pasal 7, ayat 2) pada Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Luar Negeri bagi yang masuk kategori organisasi asing. Dengan sistem birokrasi yang ada saat ini, akan ada banyak organisasi yang terganjal karena rumitnya persyaratan administratif. Ironisnya, jika RUU ini disahkan, setiap orang yang akan berkumpul dengan orang lain (minimal 2 atau 3 orang) harus mendaftarkan organisasinya terlebih dahulu pada Kementrian Kementrian Dalam Negeri.
Ada beberapa organisasi yang akan dilarang berdiri di Indonesia. Ukuran pelarangan ini masih sangat multitafsir, misalnya: larangan menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan (Pasal 50, ayat 2 RUU Ormas).
RUU ini juga memberikan sanksi pembekuan kepada organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, membahayakan keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia, melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 atau Peraturan Perundang-undangan. Kewenangan pembekuan (tanpa proses pengadilan) ada pada pemerintah dan pemerintah daerah.
Oleh: Agung Wijaya
Artikel ini merupakan bagian dari presentasi Diskusi RUU Ormas yang diselenggarakan tanggal 11 September 2012 di Bumiwiyata, Depok. Hasil kerjasama antara ICCO Kerk in Actie dan Yayasan Penabulu yang diikuti beberapa Yayasan Mitra ICCO Kerk in Actie dengan narasumber dari: Kontras, Koalisi Kebebasan Berserikat, INFID, dan YLBHI.