Indeks Negara Gagal: Membandingkan dengan Tetangga
Delapan kali The Fund for Peace meluncurkan Indeks Negara Gagal sejak tahun 2005, Indonesia selalu berada dalam posisi ”warning”. Dalam gradasi warna yang bergerak dari merah marun untuk negara paling gagal (”very high alert”) ke hijau tua untuk negara paling stabil (”sustainable”), Indonesia berada di area warna oranye. Ini artinya, posisi Indonesia lebih mengarah ke wilayah yang harus diwaspadai.
Dari perolehan angka dan posisi di antara negara-negara lain, ada perbaikan yang telah dicapai Indonesia. Namun, secara keseluruhan perbaikan tidak sangat signifikan. Dari rentang angka 1-120—dengan angka 120 sebagai negara paling gagal—posisi Indonesia bergerak pada angka sekitar 80. Pada indeks pertama tahun 2005, Indonesia mencatat angka 87,0 dan memburuk menjadi 89,2 pada tahun berikutnya. Posisi Indonesia pun menjadi naik ke arah gagal, dari yang semula urutan ke-47 menjadi ke-32.
Namun, sesudah itu perolehan angka membaik menjadi 84,4 pada 2007 sehingga membuat posisi Indonesia turun ke arah negara stabil pada urutan ke-55. Sejak itu, angka cenderung membaik setiap tahun hingga tahun 2012 menjadi 80,6. Sayangnya, tren membaik itu tetap pada kisaran angka 80-an. Bandingkan dengan Thailand dan Vietnam yang berada di angka 70-an serta Malaysia yang umumnya berada pada kisaran angka 60-an.
Akibatnya, pada pengelompokan kategori posisi negara yang dibuat The Fund for Peace, Indonesia berjarak cukup jauh dari Malaysia. Meski sama-sama masih berada di area warna oranye, pada indeks 2012 ini Malaysia masuk kategori ”warning” bersama dengan Brunei, sedangkan Indonesia berada di kategori ”very high warning” berbareng dengan Kamboja, Laos, dan Filipina. Di antara kedua kategori itu ada ”high warning” yang, antara lain, diisi negara ASEAN, Thailand dan Vietnam.
Ada 12 indikator yang diukur dalam indeks ini, yaitu tekanan demografi, pengungsian, ketegangan antarkelompok, migrasi keluar negeri, ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan kemerosotan ekonomi, legitimasi negara, pelayanan publik, HAM dan penegakan hukum, kewibawaan aparat keamanan, pertarungan elite, serta intervensi eksternal.
Malaysia, misalnya, mendapatkan angka yang cukup bagus—antara 4,4 dan 4,8—untuk indikator pengungsian, migrasi ke luar negeri, kemiskinan dan kemerosotan ekonomi, pelayanan publik, serta intervensi eksternal. Dalam ukuran kualitatif lebih-kurang terjemahannya adalah tak banyak pengungsi dan kamp pengungsian di negeri itu. Tak banyak profesional, politisi, dan kelompok berpendidikan yang memilih pindah ke luar negeri untuk menghindari represi. Makro ekonomi cukup baik yang ditunjukkan dengan angka utang, produk domestik bruto, tingkat pengangguran, suku bunga, inflasi, kepercayaan konsumen, dan lain-lain.
Bahkan, kalau kita lirik angka Brunei, angka yang terendah adalah 2,9 untuk layanan publik. Artinya, di negeri itu, ketersediaan jalan raya, rel kereta api, rumah sakit, bandara, bahan bakar, akses perumahan, dan sejenisnya memadai. Angka yang cukup baik adalah pada indikator ekonomi (3,1) dan pengungsian (3,6).
Dalam kasus Indonesia, angka yang bisa dipetik berkisar antara 6,0 dan 7,4. Dengan kata lain, yang terbaik adalah wajah makro ekonominya dan yang terburuk adalah tekanan demografinya.
Tampaknya masih banyak pekerjaan rumah kita dalam soal pertambahan, jumlah, dan kepadatan penduduk. Begitu juga dengan masalah kelaparan, pengendalian penyakit, malnutrisi, kekeringan, suplai pangan dan air, kematian bayi, dan lain-lain. Agaknya Indeks Pembangunan Manusia pun telah mengonfirmasikannya. (fit/mh)
Sumber: KOMPAS, Jumat, 3 Agustus 2012, Halaman: 33.