Rio+20: Deklarasi Riau untuk Rio
Persis seminggu sesudah KTT Rio+20 berakhir, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia memprakarsai penyelenggaraan Seminar Nasional ”Dari Rio untuk Riau: Pengembangan Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Ekonomi Hijau, Sosial, dan Budaya”.
Seminar yang diselenggarakan di Pekanbaru bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Riau itu menghasilkan ”Deklarasi Riau” berupa komitmen dan rencana aksi yang lebih kontekstual. Soalnya, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menengarai bahwa yang dihasilkan Rio+20 kurang menyentuh kepentingan negara miskin dan negara berkembang seperti Indonesia.
Kendati konferensi-Mega Rio+20 yang melibatkan lebih kurang 45.000 orang dan tokoh puncak dari 190 negara dinilai sukses oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon, banyak kalangan yang menganggapnya gagal. Terutama yang menganggap gagal adalah kalangan pemerhati lingkungan.
Kumi Naidoo selaku Direktur Eksekutif Greenpeace International menyebut dokumen 53 halaman berjudul ”The Future We Want” yang dirumuskan sebagai the longest suicide note in history. Richard Dennis dari Australia Institute bahkan menyebutkannya dengan istilah summit cemetery dalam Asia Weekly terbitan 29 Juni-5 July 2012.
Ada indikasi kuat bahwa negara-negara maju lebih mendominasi konferensi dan tanpa malu-malu mengedepankan kepentingan profit organisasi besar ketimbang kepentingan people dari negara miskin dan nasib planet Bumi yang hanya satu ini. Mereka cenderung memprivatisasi kekayaan alam sekaligus menyebarkan kemiskinan penduduk negara berkembang.
Dikisahkan bahwa tatkala negara-negara berkembang mengusulkan supaya disediakan sejumlah dana mendukung kegiatan-kegiatan prolingkungan demi keberlanjutan pembangunan, negara-negara maju seolah-olah tidak mendengarnya. Rupa-rupanya mereka tidak mau terikat dengan komitmen, terutama yang menyangkut pendanaan.
Memang mesti diakui bahwa sesudah KTT Bumi pertama yang juga diprakarsai oleh PBB pada 1992, kepedulian terhadap masalah lingkungan dan kemiskinan kian meningkat serta ada hasil-hasil yang nyata. Brasil, misalnya, berhasil mempertahankan 78 persen dari hutan tropisnya. Angka kemiskinan di dunia menurun dari semula 46 persen (1992) menjadi 27 persen tahun ini. Angka harapan hidup manusia bertambah rata-rata 3,5 tahun (Ronald Banlay, 2012).
Akan tetapi, tidak dapat dinafikan kenyataan bahwa keanekaragaman hayati di dunia menurun 12 persen. Sekitar 85 persen cadangan ikan di laut dieksploitasi secara berlebihan dan 740 juta hektar hutan habis dibabat.
Dalam ”Deklarasi Riau” disebutkan secara spesifik pentingnya hukum adat, keberadaan tanah ulayat, ketentuan mengenai rimba larangan, dan berbagai kearifan lokal dijadikan landasan utama dalam pembangunan.
Saya teringat dalam suatu desertasi doktor ilmu hukum di bawah bimbingan Satjipto Rahardjo (almarhum) disajikan temuan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah terabaikannya hukum adat di sejumlah daerah. Dikerdilkan oleh hukum yang beraras nasional.
Liputan tentang kisah penduduk asli Papua di harian Kompas, 1 Juli, dengan judul ”Bumi adalah Ibu” merupakan salah satu contoh. Saya juga ingat pernah menulis artikel tentang keseimbangan ekologis, mengacu pada peribahasa Papua ”hutan adalah mama”. Berarti yang merusak hutan di Papua jelas bukan orang Papua.
Di Riau pun kejadiannya serupa. Seorang budayawan Riau menyajikan pantun-pantun yang esensinya adalah menjaga dan melestarikan hutan, larangan menebang pohon, serta kewajiban menanam aneka tumbuh- tumbuhan.
Peran ilmuwan
Dalam makalahnya, Ashaludin Jalil selaku Rektor Universitas Riau menulis, ”Suasana harmoni kehidupan masyarakat tradisional dan alam yang penuh damai mulai terusik dan tercabik ketika para pemilik kapital berdatangan. Mereka mengeksploitasi alam tanpa basa-basi, tidak permisi, bahkan tidak peduli dengan masyarakat adat pemilik tradisi pelestari sumber daya alam negeri, tanah pertiwi.”
Dalam butir-butir ”Deklarasi Riau” tersurat dan tersirat peran strategis para ilmuwan serta peneliti dalam pembangunan Provinsi Riau. Tak sekadar menyangkut masalah hutan, juga misalnya yang berkaitan dengan lahan gambut yang tersedia begitu luas. Manakala dalam Rio+20 hanya disinggung sedikit upaya incorporate science into policy, ”Deklarasi Riau” jelas menyebutkan komitmen dan rencana tindakan dengan peran serta aktif para ilmu- wan, peneliti, masyarakat adat, pengusaha, dan segenap pemangku kepentingan.
Kiranya perlu diingatkan agar para ilmuwan dan peneliti di kampus PTN ataupun PTS tidak boleh terseret arus, terpukau semata-mata pada ambisi untuk bisa masuk dalam kategori universitas kelas dunia. Ambisi itu tak salah, tetapi pada hemat saya, yang tak kalah penting: bagaimana kampus berjaya menghasilkan lulusan yang mampu mengelola sumber daya alam di republik ini dengan jauh lebih baik.
Banyak penelitian yang mesti digarap, tetapi tak boleh berhenti sekadar sebagai penelitian saja. Kata gagahnya research for research’s sake. Setiap hasil penelitian seyogianya diikuti dengan pengembangan dan pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Para ilmuwan kampus wajib menangkal tudingan bahwa litbang di Indonesia bukannya berarti research & development, melainkan rust & dust. Bahkan, ada orang yang tega mengartikannya dengan real dumb.
AIPI merekomendasikan dilakukannya penelitian yang kontekstual di sejumlah daerah untuk memperoleh temuan, teori, dan ilmu baru yang bersumber dari bumi kita sendiri. Gagasan segar yang bermunculan dalam ilmu lingkungan, seperti eco- socialism atau commonism sepatutnya dijadikan bahan diskusi dan kajian untuk masukan bagi para penentu kebijakan di pusat maupun di daerah untuk dicoba diterapkan.
Semoga gebrakan yang berawal dari Riau ini akan bergaung dan berkembang dalam skala nasional ataupun global, menyempurnakan hasil dari Rio+20 yang dokumennya terkadang dipelesetkan menjadi the future we don’t want.
Eko Budihardjo Anggota AIPI dan Salah Satu Penyusun ”Deklarasi Riau”
Sumber: KOMPAS, Rabu, 4 Juli 2012, Halaman: 7.