Kita tak Ingin Negara Gagal
Jakarta, Kompas – Semua elemen bangsa tidak menginginkan negara Indonesia dinilai atau menjadi negara yang gagal. Karena itu, semua elemen bangsa harus bersama-sama berupaya untuk memperbaiki hal-hal yang dinilai masih kurang.
Hal tersebut ditegaskan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto dalam perjalanan dari Makassar ke Jakarta, Rabu (20/6). Djoko dimintai tanggapan terkait publikasi Indeks Negara Gagal (Failed States Index) 2012 di Washington DC, Amerika Serikat, Senin. Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 178 negara. Indonesia masuk kategori negara dalam bahaya (in danger).
Dalam indeks tersebut, semakin tinggi peringkatnya, semakin buruk kondisi sebuah negara sehingga mendekati status negara gagal. Tahun lalu Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 177 negara. ”Semua elemen bangsa tidak mau negara ini gagal. Kalau ada yang masih kurang, mari kita perbaiki bersama,” katanya.
Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat juga memandang positif hasil survei yang dikeluarkan organisasi internasional The Fund for Peace itu. Hasil survei tersebut dinilai berguna untuk memacu kinerja aparat dan pejabat pemerintahan.
”Kita hidup di era terbuka sehingga kita harus terus melihat ke tetangga kita. Kalau mereka lebih baik, kita tentu saja harus lebih baik lagi. Kami melihatnya sebagai upaya untuk memacu kinerja kita. Saya setuju, kita harus lebih baik. Kita merasa sudah maksimal, ya, tetap saja harus dipacu lebih keras lagi,” tutur Yopie, di Kantor Wapres.
Namun, Djoko mempertanyakan apa yang dimaksud dengan ”gagal”. ”Kalau gagal, kita tidak bisa apa-apa. Apakah negara Indonesia gagal membangun, tidak demokratis, tidak aman, atau tidak memiliki cadangan devisa yang cukup,” kata Djoko.
Kalau soal kemiskinan, Djoko mengakui, pasti ada orang miskin. ”Di Amerika Serikat pun ada orang miskin,” tuturnya.
Djoko mencontohkan kehidupan demokrasi. Keterbukaan dan kebebasan pers di Indonesia sangat maju. ”Jadi, saya tidak mau membantah. Lihat saja itu semua,” katanya. Karena itu, Djoko berpendapat Indonesia bukan negara gagal. ”Negara kita sedang membangun,” katanya.
Terkait aksi-aksi kekerasan, menurut Djoko, hal itu tidak terjadi di seluruh Indonesia. ”Hampir di semua negara juga ada kekerasan,” katanya. Kekerasan di suatu daerah jangan digeneralisasi seakan-akan kekerasan terjadi di seluruh Indonesia.
Tidak tiba-tiba
Menurut Daron Acemoglu, profesor ekonomi Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan James Robinson, profesor politik dan ekonomi Universitas Harvard, dalam sebuah artikel di laman majalah Foreign Policy, Senin (18/6), kegagalan suatu negara tidak terjadi tiba-tiba dalam waktu semalam. Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan.
Penulis buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty itu membahas mengapa ada beberapa negara di dunia yang sangat sukses secara ekonomi, tetapi ada juga yang tetap miskin dan terpuruk.
Ada beberapa negara yang mengalami kegagalan tiba-tiba dan spektakuler, seperti Afganistan setelah pasukan Uni Soviet mundur akhir 1980-an. Namun, sebagian besar negara gagal tidak secara mendadak. Negara-negara itu tidak gagal karena perang, tetapi lebih karena gagal memberdayakan potensi pertumbuhan rakyatnya yang besar.
Menurut Acemoglu dan Robinson, yang paling tragis dari kegagalan di sebagian negara tersebut adalah karena disengaja. Negara-negara tersebut runtuh setelah dikuasai institusi-institusi ekonomi ”ekstraktif”, yang merusak daya dorong ekonomi, melemahkan setiap usaha inovasi, melemahkan bakat dan potensi warga negaranya dengan menciptakan medan permainan yang tidak adil, dan menghilangkan kesempatan warga untuk maju.
Dalam indeks negara gagal itu, situasi Indonesia dinilai memburuk, terutama di tiga indikator dari total 12 indikator yang digunakan dalam penyusunan indeks tersebut. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes kelompok minoritas, dan hak asasi manusia. Bagaimanapun, Indonesia diakui berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukan reformasi politik beberapa tahun terakhir.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hariyadi B Sukamdani mengatakan, kalangan pengusaha merasakan bagaimana kualitas penegakan hukum dan jaminan keamanan menurun beberapa tahun terakhir. Kondisi itu cukup mengkhawatirkan. Hariyadi mencontohkan, cetak biru pembangunan nasional cukup jelas dalam Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, tetapi menghadapi masalah koordinasi.
”Kalau negara itu rapi, jumlah sengketa pasti turun. Masalah serius lain adalah manajemen pemerintahan berkait koordinasi dan kebijakan pemerintah daerah yang tumpang tindih dengan pusat sehingga merugikan investor,” ujar Hariyadi.
Namun, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan, kalau disebut sebagai negara gagal, sesungguhnya masih terlalu jauh. ”Kita masih ada yang bisa diharapkan asalkan ada kemauan dari semua pihak, terutama pemerintah, dalam menyusun kebijakan.”
Franky menilai, kebijakan yang tidak konsisten lambat laun bakal menggiring Indonesia sebagai negara gagal. Masalah infrastruktur dan penegakan hukum memang membutuhkan proses yang cukup lama.
Infrastruktur di Indonesia juga mendapat perhatian. Menurut Yopie, untuk memastikan proyek-proyek infrastruktur berjalan mulus, Wapres Boediono memutuskan untuk memantau hingga ke pelaksanaan proyek. ”Orang menilai, kok, sampai segitunya. Wapres seharusnya tidak perlu mengawasi detail teknis. Namun, itu dilakukan untuk memastikan fungsi-fungsi itu berjalan baik,” tuturnya.
Selain infrastruktur, menurut Yopie, Wapres memberikan perhatian serius pada pelaksanaan reformasi birokrasi. Alasannya, birokrasi adalah eksekutor kebijakan sehingga birokrasi yang baik akan membuat kinerja pemerintah ikut jadi lebih baik.
Bagaimanapun peringkat Indonesia dalam kategori bahaya itu merupakan kritik serius terhadap kinerja pemerintah. Menurut Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M Ridha Saleh, pemerintah jangan terus berkelit, melainkan harus bekerja lebih keras lagi untuk menjauhkan negara ini dari keterpurukan.
”Dalam banyak kasus kekerasan terhadap minoritas, pemerintah cenderung membiarkan, tidak tegas menindak, apalagi memproses hukum para pelakunya,” kata Hendardi.
Ridha menilai, pemerintah belakangan ini memang lemah dalam melindungi hak-hak sipil politik warga negara Indonesia dari kekerasan, konflik sosial, dan gangguan keamanan. ”Pemerintah hendaknya memperbaiki regulasi, sistem, dan kepemimpinan untuk melindungi HAM,” katanya.
Bagi pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra, pemerintah harus membuktikan mampu melaksanakan fungsi pemerintahan secara baik. ”Semua kelemahan hanya mungkin diatasi dengan keberanian dan langkah besar,” katanya.
(FER/ATO/IAM/HAM/DHF/WHY/OSA)
Sumber: KOMPAS, Kamis, 21 Juni 2012, Halaman: 1.