Peringkat Naik, Kualitas Stagnan
Laporan Pembangunan Manusia 2011 memperlihatkan, kinerja Indonesia di bidang pembangunan manusia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Akan tetapi, kemajuannya masih di bawah rata-rata regional Asia-Pasifik. Kualitasnya juga stagnan.
Tren Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dalam Human Development Report 2011, Sustainability and Equity: A Better Future for All tampak mendekati tren dunia, tetapi di bawah rata-rata IPM Asia-Pasifik.
IPM Indonesia 0,617, naik satu peringkat dan berada di peringkat ke-124 dari 187 negara. Peringkat Indonesia dalam IPM 2010 jika didasarkan pada data dan metode yang digunakan tahun 2011 adalah ke-125 dari 187 negara (tahun 2010 hanya 169 negara).
Dengan perhitungan yang sama, IPM Indonesia tahun tahun 1980-2011 naik dari 0,423 menjadi 0,617, meningkat 45,9 persen atau rata-rata 1,2 persen per tahun. ”Indonesia adalah satu dari 10 negara dengan IPM yang bergerak naik dalam 30 tahun terakhir,” ujar Country Director Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Beate Trankmann dalam peluncuran HDR 2011 di Jakarta, Selasa (15/11).
Sementara IPM regional Asia-Pasifik naik dari 0,428 pada tahun 1980 menjadi 0,671 tahun 2011, meningkat 52,94 persen atau rata-rata 1,7 persen per tahun. Itu berarti kemajuan yang dicapai Indonesia masih berada di bawah kemajuan rata-rata regional.
”IPM menunjukkan kita berada di mana di antara negara-negara lain dalam laporan itu. Pembangunan manusia merefleksikan pembangunan ekonomi,” ujar Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappneas) Nina Sardjunani dalam perbincangan dengan Kompas, Rabu (9/11) petang.
Tidak merata
Meski naik peringkat, kalau diperhitungkan dengan kesenjangan, IPM Indonesia merosot ke 0,504, hilang 18,3 persen dan bergeser delapan peringkat.
”Banyak tantangan untuk mengurangi kesenjangan akses pada pelayanan kesehatan dan pendidikan, juga kesenjangan pendapatan,” ujar Trankman.
Kesenjangan selalu terkait dengan masalah diskriminasi dan stigma. Menurut Kepala Perwakilan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) di Jakarta Jose Feraris, jumlah penduduk berusia 10-24 tahun di Indonesia mencapai 64 juta orang atau 27 persen dari populasi, tetapi kecil aksesnya pada informasi, pendidikan, serta layanan kesehatan reproduksi dan seksual.
Kondisinya semakin serius karena, ”Tiga kali sensus penduduk mengindikasikan kemunduran. Usia perkawinan pertama perempuan semakin muda. Sekitar separuh menikah pada usia 15 tahun, menurut Sensus Penduduk 2010. Implikasinya serius karena rentan kekerasan dan infeksi seksual menular, termasuk HIV,” ungkap Dr Sri Kusyuniati.
Kepala Perwakilan Rutgers WPF di Indonesia, lembaga internasional untuk isu kesehatan serta hak-hak reproduksi dan seksual (SRHR), itu juga mengingatkan perbedaan besar antara data makro dan kondisi riil. ”Kalau data fasilitas kesehatan bagus, harus dilihat bagaimana akses warga miskin,” ujar Kusyuniati.
Selain itu, disparitas sangat tinggi. ”Jumlah penduduk miskin di Jakarta, misalnya, 3,48 persen, di Papua 36,80 persen,” ujar Soepriyatno, Wakil Ketua Komisi IX DPR.
Kalau masalah kemiskinan dihubungkan dengan kondisi kesehatan dan gizi masyarakat, kenaikan peringkat IPM itu tidak ”bunyi”. ”Misalnya, di dua desa di Kabupaten Ponorogo, banyak orang terbelakang mental karena sejak kecil kekurangan garam beryodium,” ungkap Soepriyatno.
Basis data Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas 2010 memperlihatkan, Jawa Timur adalah satu dari lima provinsi dengan konsumsi garam beryodium per rumah tangga paling rendah.
Data juga memperlihatkan, hampir 50 persen provinsi dengan prevalensi tinggi badan kurang (stunting) di bawah rata-rata nasional. Tiga di antaranya adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Barat dengan prevalensi stunting pada anak balita tertinggi. Kurang tinggi badan memperlihatkan status gizi waktu kecil dalam jangka panjang.
Tak hanyak data
Selain itu, data resmi sering tak sinkron dengan hitungan lapangan. ”Data 2010 menyebut, jumlah orang miskin 31,02 juta orang, tetapi penerima program beras untuk rakyat miskin sekitar 76,4 juta. Data penerima bantuan tunai langsung lain lagi,” kata Soepriyatno.
Di Jawa Timur, jumlah warga miskin yang dilayani jaminan kesehatan daerah 2010 adalah 1,2 juta orang. ”Ternyata hitungan lapangan menunjukkan 1,6 juta orang. Sekarang sudah lebih dari 1,8 juta orang,” ujarnya.
Soepriyatno tak membayangkan jika Undang-Undang Badan Pelaksana Jaminan Sosial diberlakukan pada Januari 2014. ”Jumlah tempat tidur kelas tiga di 1.678 rumah sakit nasional, 870 di antaranya RS swasta, hanya 46.000,” katanya.
”Tahun 2012 ada 40 puskesmas jadi proyek panduan rumah sakit kesehatan masyarakat yang menyediakan hanya kelas tiga. Anggarannya sekitar Rp 15 miliar per puskesmas.”
Sebenarnya tak hanya data yang bermasalah. Menurut analisis Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute Wijayanto, rata-rata hanya 12 persen dana APBN ditambah APBD dipakai untuk program-program pembangunan. Sekitar 61 persen untuk belanja pegawai, sisanya untuk subsidi, pembayaran cicilan utang, dan lain-lain.
Koordinasi
Persoalan lain terkait pelayanan kesehatan dasar adalah lebih dari 2.250 puskesmas dari 9.005 unit tak ada dokter. Rendahnya minat dokter bertugas di daerah dan ketakpedulian pemerintah mengancam hak warga atas pelayanan kesehatan (Kompas, 12/11).
Kurangnya perhatian pemerintah daerah pada masalah kesehatan juga dikeluhkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Bidan Indonesia Dr Harni Koesno, MKM. ”Bidan seharusnya menjadi ujung tombak di poliklinik desa. Tetapi, saat ini hanya ada sekitar 43.000 bidan di sekitar 73.000 desa,” katanya.
Fasilitas air bersih dan sanitasi buruk menjadi kendala bagi bidan untuk bekerja di desa. ”Kementerian Kesehatan harus memberi bantuan pada polindes. Harus ada koordinasi lintas sektor untuk pemberdayaan perempuan dan keluarga. Tetapi, program tak bisa diterapkan seragam karena kondisi kultur, sosial, dan ekonomi berbeda-beda,” Harni menambahkan.
Soal koordinasi menjadi catatan Kusyuniati. Menurut dia, koordinasi antarlembaga, bahkan di satu kementerian pun, tidak baik. ”Padahal, untuk menurunkan angka kematian ibu, misalnya, dibutuhkan program yang terkoordinasi baik antara layanan kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi dan perempuan, pendidikan gizi dan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, infrastruktur, dan lain-lain,” ujarnya.
Tingkat kematian ibu melahirkan di Indonesia 228 per 100.000 kelahiran hidup, dua kali lebih tinggi daripada Filipina dan lima kali lebih tinggi daripada Vietnam.
(MARIA HARTININGSIH/NINUK MARDIANA PAMBUDY).
Sumber: KOMPAS, Jumat, 18 November 2011, Halaman: 45.