Fundraising is not Begging!
Fundraising bukanlah mengemis, fundraising adalah kejelian dalam melihat kebutuhan dan memfasilitasinya. Memberi tidak melulu sebuah keinginan namun terkadang memberi adalah sebuah kebutuhan. Ketika manusia sudah memiliki segalanya, ada kebutuhan lain dalam dirinya yang salah satunya adalah memberi, hingga dia bisa merasa lebih bermanfaat dan berharga bagi orang lain.
Fundrasing lahir dari ketidakadilan, fundraising lahir dari kemiskinan. Fundraising lahir untuk melawan ketidakadilan, fundraising lahir untuk mengurangi kemiskinan. Setidaknya itulah yang saya pelajari dari mentor fundraising saya, Jhon Silva.
Di Indonesia, upaya fundraising masih dianggap meminta sumbangan, masih dianggap mengemis, sehingga sedikit sekali orang-orang yang ingin terjun di bidang ini. Bahkan para pegiat LSM yang notabene seharusnya mengandalkan pendanaan dari penggalangan dana publik masih banyak yang masih malu-malu untuk melakukannya. Saat ini kebanyakan teman-teman LSM masih menggantungkan pendanaan dari donor dan grantmaker asing yang pasti memiliki kepentingan sendiri. Sehingga dana yang diturunkan akan sarat dengan berbagai persyaratan agar tujuan dari si pemberi dana dapat terealisasi. Pada akhirnya independensi dari organisasi pun banyak dipertanyakan.
Tidak semua LSM menggantungkan sumber dananya dari pendanaan grantmaker luar negeri. Beberapa LSM menggalang dana dari publik secara mandiri sehingga mereka lebih bebas untuk menentukan secara strategis arah dari organisasinya.
Bukan hal mudah memang. Memulai sesuatu yang baru dengan paradigma negatif akan membuatnya menjadi lebih sulit. Sehingga dibutuhkan pemahaman yang lebih baik terlebih dahulu mengenai fundraising ini sebelum memulainya dan menentukan strategi apa dan metode teknis bagaimana penggalangan dana ini akan dimulai.
Bagi teman-teman LSM yang belum pernah memulai Public Fundraising, disarankan untuk berkonsultasi dengan yang sudah berpengalaman atau yang sudah lebih dahulu memulai. Atau bisa juga merekrut orang yang sudah berpengalaman di bidang marketing atau sales pada organisasi. Kenapa? Karena pada dasarnya, secara teknis fundraising tidak jauh berbeda dengan marketing atau sales. Bahkan ada salah satu LSM besar yang malah menyerahkan pengelolaan fundraisingnya pada marketing agency yang murni dikelola pihak swasta.
Ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk menggalang dana, namun pada kesempatan ini saya ingin menyoroti metode penggalangan dana yang dilakukan oleh Greenpeace, mengingat metode ini cukup baru dan berhasil di Indonesia. Terutama Greenpeace saat ini saja, mereka sudah bisa mengeruk income antara 1 – 1,2 milyar setiap bulannya dari masyarakat Indonesia, tak heran mereka mempunyai keleluasaan dalam melakukan aksinya tanpa harus merasa didikte oleh pemberi dana karena memang dana mereka hanya didapat dari masyarakat melalui public fundraising.
Apa yang dilakukan Greenpeace sebenarnya bukanlah hal yang sulit, apalagi jika sebuah organisasi mempunyai orang yang telah berpengalaman di dunia marketing atau sales di dalamnya, apa yang dilakukan Greenpeace bisa dikatakan merupakan implementasi sales management di dunia komersial yang diaplikasikan di dunia sosial.
Di Greenpeace, pucuk pimpinan tertinggi divisi fundraising di satu negara di pegang oleh seorang Manager Fundraising yang membawahi dua divisi yaitu divisi direct dialogue dan divisi supporter care. Direct dialogue bertindak seperti divisi sales pada sector komersial dan supporter care bertanggung jawab seperti customer service pada organisasi. Di divisi direct dialogue dibuat hirarki managemen berdasarkan teritori, Direct Dialogue Coordinator (DDCo) membawahi dua coordinator area yaitu West Coordinator serta East Coordinator.
Coordinator ini membawahi beberapa city cordinator berdasarkan kota di teritori tersebut. City Coordinator di satu kota memimpin 3 sampai 6 team, tergantung dari besar atau kecilnya kota tersebut. Setiap satu team terdiri dari 5 orang anggota yang dikoordinasikan oleh seorang team leader yang bertanggung jawab kepada City Coordinator. Anggota team ini disebut sebagai Direct Dialogue Campaigner (DDC) yang berfungsi seperti sales pada sebuah organisasi.
Jika dijabarkan lebih spesifik lagi, ada 3 fungsi utama DDC: memberikan informasi tentang organisasi, mencari dukungan, kemudian mengubah dukungan tersebut menjadi sebuah dukungan nyata yang berupa dukungan finansial.
Greenpeace juga menggalang dana dari perorangan dengan jumlah sumbangan di atas rata-rata. Kategori ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu yaitu middle donor dan major donor, yang untuk target penyumbang ini akan di-handle langsung oleh manager fundraising. Pada segmen ini cukup sensitif, karena berhubungan erat dengan nilai dasar dari organisasi yaitu independensi, sehingga setiap penyumbang yang berminat menyumbangkan dananya harus di investigasi terlebih dahulu sehingga diketahui track recordnya calon pendonor seperti apa, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar organisasi. Misalnya, Greenpeace akan menolak sumbangan dari seseorang dalam jumlah besar jika ternyata diketahui bahwa orang ini mempunyai usaha yang tidak ramah lingkungan atau bahkan bidang usaha yang justru merusak kelestarian lingkungan.
Kecuali para manager dan bagian administrasi, semua yang bekerja pada divisi fundraising ini mendapat insentif dari besaran sumbangan yang dihasilkan. Seperti halnya di lembaga, Greenpeace menganut sistem remunerasi yang based on performance. Walau pun tetap mendapatkan basic salary, tak jarang jumlah insentif mereka melebihi jumlah gaji pokoknya.
Tak ada cara lain bagi Greenpeace untuk melakukan penggalangan dana selain dengan menggalangnya dari masyarakat, mengingat komitmen mereka sebagai organisasi independen, maka untuk menjadi independen tentunya paling utama adalah sumber dana mereka pun harus independen, bukan dari pihak tertentu. Hal ini diimplementasikan di Greenpeace di seluruh dunia termasuk di AsiaTenggara dan di Indonesia.
Tak banyak orang mengetahui soal hal ini, sehingga tak heran banyak tuduhan miring mengenai sumber pendanaan Greenpeace. Hal ini cukup mengundang pro dan kontra dikalangan rekan-rekan LSM. Namun demikian menurut hemat saya, untuk sebuah kinerja dalam bidang apapun dan siapapun, layak untuk mendapatkan sebuah reward. Insentif adalah sebuah bentuk reward untuk memacu kinerja dan sudah terbukti berhasil di berbagai bidang termasuk di bidang charity.
Berdasarkan laporan keuangan Greenpeace tahun 2010, dalam kurun waktu 1 tahun terakhir Greenpeace telah berhasil mengumpulkan dana dari masyarakat sekita 12 milyar lebih atau sekitar 1 milyar rupiah perbulannya. Dana ini terkumpul dari 45 ribu pendukung Greenpeace di Indonesia yang secara rutin menyumbangkan dananya setiap bulan melalui auto debet dari rekening dan kartu kredit.
Terlepas dari segala kontroversinya, Greenpeace, WWF, dan juga ICW sepertinya cukup berhasil dalam menggalang dana dari masyarakat secara langsung atau face-to-face. Apa yang mereka lakukan patut menjadi panutan dan dicontoh oleh organisasi lain dalam rangka menjaga kelangsungan organisasi serta kemandiriannya dalam menjalankan visi, misi dari organisasi tanpa dicampuri oleh kepentingan si pemberi dana.
Mungkin sudah saatnya untuk mengembalikan fitrah dari LSM kita, yaitu sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat kita sendiri, bukan masyarakat dari negara lain.