Kisah Gregory si Angsa
Gregory si Angsa memandang kearah danau, melihat matahari yang terbenam pada suatu hari menyenangkan pada akhir musim gugur. Sejumlah kecil angsa yang berteriak menyelamatkan diri dari satu atau dua landak, sedang mengendus mencari serangga dan cacing sebagai makan besar mereka yang terakhir sebelum musim dingin.
Angsa-angsa yang lain sudah pergi untuk tidur malam karena mereka dan juga Gregory mengetahui bahwa besok, langit fajar akan melihat bermulanya perjalanan mereka kearah selatan selama musin dingin.
Gregory sudah tidak ingat berapa kali ia sudah melakukan perjalanan seperti itu, dan telah melupakan mengapa ia mempunyai ‘tanda” di punggungnya. Bagaimanapun, ia sudah tahu bahwa meskipun ia mungkin tidak mendapatkan pujian dan penghargaan sebagai pemimpin kelompok terbang, ia juga tidak menanggung beban atas kontribusi tersebut.
Tidak, kata Gregory pada dirinya sendiri sambil mengantuk, saya sudah puas menjadi pengikut. Lagi pula, penghargaan-diri (self-esteem) dan pemberdayaan mungkin tepat bagi “angsa-muda,” tetapi bagi angsa sepertinya, dengan kenyamanan seumur hidup—mengapa mesti berubah?
Gregory tiba-tiba terbangun ketika hari sudah mulai terang dan dengan segera merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia tahu, ia terlambat bangun pagi itu. Ia melihat kearah danau. Kabut tebal yang menutup segalanya sesuatunya—ini karena kemarin adalah hari yang panas dan dengan cepat menjadi dingin pada malam hari.
Dalam beberapa detik, ia menyadari bahwa ia sendirian. Lalu, suara yang sudah akrab di telinganya terdengar di udara yang masih pagi. Gregory mengetahui itu adalah suara angsa-angsa yang sedang terbang di kejauhan. Hampir secara otomatis dan tanpa pikir panjang, dengan cepat ia meluncur ke udara menuju ke arah suara di kejauhan itu seakan-akan ditarik oleh sebuah magnet.
Tak berapa lama setelah terbang, Gregory merasakan kelelahan di sayapnya; gerakan-gerakan agresif dan seperti hampir panik, ketika ia berjuang mempertahankan momentum terhadap angin yang arahnya berlawanan. Oh betapa ia berharap bersama-sama rombongan, dengan gerakan yang lamban dan panjang cukup untuk membuatnya membubung, mengambil keuntungan dari aliran yang dibuat sang pemimpin.
Ketika Gregory terbang, udara pagi itu hening dan aneh dan tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh dua letusan senjata api. Gregory melihat sekelilingnya dengan ketakutan, tetapi ia tak mampu melihat banyak karena kabut masih menggantung di udara. Lalu ia mendengar suara angsa-angsa yang memanggil terdengar kembali, dan menurut pendengaran Gregory terdengar lebih keras daripada sebelumnya. Ia mengembira ketika menyadari bahwa angsa-angsa pengikut sekarang sudah semakin dekat. Mungkin usahanya membuahkan hasil; kecepatan terbangnya mungkin sudah bertambah; mungkin ia sudah menghilangkan efek dari rumput kolam yang ia makan kemarin malam. Mungkin itulah yang menyebabkan mengapa ia terlalu lama tertidur. Pikirnya dengan kesal.
Suara-suara itu sekarang sepertinya berasal dari sisi-sisi kanannya, tetapi Gregory terus terbang. Ia mengenali rute itu dengan baik dan tetap terbang dengan arah seperti biasanya. Ketika ia mendengar lebih seksama, suara-suara dari kejauhan itu mendekat dengan cepat. Cukup aneh, mungkin tipuan angin, tetapi tampaknya sekarang suara-suara itu ada di sekelilingnya.
Perlahan-lahan, kabut mulai menyingkir dan Gregory melihat, dengan terkejut, wajah-wajah yang tidak ia kenal, ternyata ia terbang dengan angsa-angsa dari danau sebelah yang tampak dengan jelas sedang kesulitan dan terbang berputar-putar dalam lingkaran. Suara letusan senjata yang ia dengar sebelumnya merupakan gema dari senapan angin yang membunuh pemimpin terbang angsa-angsa tersebut. Ketika Gregory terbang diantara teman-teman barunya itu, dan menjadi akrab dengan mereka, ia menyadari sambil terheran-heran, satu persatu, mereka terbang membentuk barisan di belakangnya. Ia sudah menjadi pemimpin! Rasa panik menusuk jantungnya.
“Apa yang harus saya lakukan? Kemana saya harus pergi? Apakah saya pergi kearah yang tepat?” Ia bertanya kepada dirinya sendiri.
Meskipun segala sesuatunya tidak telalu sulit, satu embusan angin yang keras hampir membawa gerakan majunya menjadi terhenti.. Akan tetapi, dengan tegas, dan dengan satu tujuan baru, Gregory menundukkan kepalanya kebawah dan mengumpulkan lebih banyak tenaga untuk terbang. Ia menyadari bahwa sekarang suara teriakan angsa-angsa lainnya terus menerus terdengar di belakangnya.
Akhirnya, matanya melihat pembatas berbentuk jantung di ladang di bawahnya.
Dengan segera ia mengenalinya, karena sebelumnya sudah pernah beberapa kali melintasinya. Lalu ia melihat kedepan, ia melihat pohon oak yang besar di ladang berikutnya dan cerobong asap dari bangunan-bangunan industri di batas cakrawala. Gregory lega karena ia mengenali semua tanda-tanda itu, dan mengetahui bahwa ia berjalan ke arah yang tepat. Ketika ia telah membawa angsa-angsa lainnya dengan selamat ke daratan, pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan pada dirinya sendiri beberapa waktu yang lalu sudah ia lupakan.
Gregory langsung minum dan berpikir betapa aneh kejadian tadi karena ia tidak dapat mengingat kembali sebagian besar perjalanan yang baru saja ia lalui—kecuali betapa berbedanya perjalanan kali ini dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya.
Satu persatu, angsa-angsa yang lain mendatanginya untuk berterima kasih atas panduannya— dan Gregory berbinar-binar dengan bangga. Mungkin ada satu “hal” dalam penghargaan-diri dan pemberdayaan pikirnya.
“Siapa yang ingin menjadi pengikut? Bukan saya!” jawab Gregory kepada dirinya sendiri.
Mungkin di dalam diri setiap orang terdapat jiwa seorang pemimpin
Disarikan dari buku: Tales for Change, penulis: Margaret Parkins.