Tikus dalam Labirin
Beberapa tahun yang lalu, seorang professor dari Universitas Michigan melakukan sejumlah percobaan pada tikus untuk menyelidiki penyebab stress dan penyakit saraf (neurosis). Tikus-tikus terlatih untuk melompat masuk ke salah satu dari dua pintu yang terdapat pada Labirin. Jika mereka masuk ke pintu sebelah kiri, pintu akan terbuka dan mereka akan mendapatkan secuil makanan. Sementara, pintu yang berada di sebelah kanan Labirin akan tetap tertutup. Jika mereka berusaha melompat ke pintu itu yang di dapat hanyalah hidung yang memar. Umumnya, tikus-tikus itu (sebagai binatang yang cerdas) dengan cepat mengambil pelajaran dan melompat ke pintu sebelah kiri.
Setelah beberapa saat, ketika tikus-tikus itu telah terbiasa dengan aturan ini, sang penyelidik memutuskan untuk mengubah aturannya dan mengganti pintu-pintu tersebut sehingga pintu di sebelah kiri tidak menghasilkan apa-apa, sebaliknya pintu di sebelah kanan adalah yang memberikan hadiah. Dapat dimaklumi, pada awalnya mereka merasa kesal. Namun, tikus-tikus itu dengan segera menyesuaikan diri dengan perubahan dan mulai terbiasa untuk melompat masuk kepintu di sebelah kanan untuk mendapatkan makanan.
Lalu, para peneliti memutuskan untuk ‘meningkatkan’ percobaan dan membuat aturan-aturan yang semakin rumit. Selama beberapa hari, ketika tikus-tikus itu dihadapkan pada Labirin, mereka harus melompat masuk ke pintu di sebelah kanan dan untuk beberapa hari mereka harus melompat masuk ke pintu di sebelah kiri.
Pilihan yang diberikan benar-benar acak dan tikus-tikus itu tidak pernah tahu, pada hari tersebut, pintu mana yang akan memberi mereka makanan. Perubahan secara acak ini ternyata terlalu berat bagi tikus-tikus. Dengan segera mereka menunjukkan tanda-tanda sangat kebingungan, hingga pada akhirnya mereka sama sekali menolak untuk melompat masuk, dan hanya terdiam di tengah-tengah Labirin.
Terlalu banyak perubahan — apalagi jika secara acak dan tidak terstruktur—dapat sama buruknya dengan tidak ada perubahan sama sekali.
Disarikan dari buku: Tales for Change, penulis: Margaret Parkins.