Menyongsong Partisipasi Rakyat
Berbeda dengan masa Orde Baru, pada masa sekarang pertemuan warga suatu daerah untuk membahas secara kritis persoalan mereka adalah hal yang lumrah. Pertemuan yang biasanya difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini bebas mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pas. Demikian pula pada pertemuan warga dari daerah rawan banjir di Kabupaten Rembang dan Kebumen di Wisma Paseban Semarang untuk membahas Manajemen Bencana Berbasiskan Masyarakat.
Dalam pertemuan yang berlangsung dua hari itu, warga saling berbagi pengalaman saat mengalami banjir. Selain itu, warga juga menganalisis kerugian akibat banjir. “Salah satu dampak buruk banjir adalah timbul rasa takut,” ujar salah seorang peserta pertemuan.
Membongkar persoalan sampai ke akar-akarnya bukanlah hal yang mudah. Koordinator Sikep Agung Suryanto mengatakan, untuk mengajak masyarakat Kecamatan Mirit, Kebumen, melihat banjir tidak sebagai persoalan terpisah, kelompoknya harus terlebih dahulu mengajak warga melihat latar belakang sejarah daerah mereka. “Dari cerita para sesepuh Mirit, terungkap bahwa pada masa lalu, Belanda cukup menyediakan kapal keruk di muara sungai dan secara rutin mengeruknya. Banjir pada masa itu hanya berlangsung beberapa jam, tidak seperti sekarang yang sampai berhari-hari,” kata Agung.
Setelah memahami sejarah daerah mereka, barulah warga diajak melihat kebijakan penataan kawasan yang ada sekarang. “Memahami sejarah bisa membuat warga mampu bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah tentang penataan kawasan,” ujar Agung.
Usai melihat sejarah dan mencermati kebijakan pemerintah, warga akhirnya mampu merencanakan sendiri penataan kawasan daerah mereka. “Setelah ada perencanaan sendiri, barulah warga mengajukan usulah kebijakan kepada pemerintah,” kata Agung.
Pengalaman Sikep, nama yang berasal dari bahasa Samin yang berarti isine sing dikekep, adalah satu dari sekian banyak cerita proses pendampingan LSM untuk memberdayakan masyarakat. Semua pendampingan itu mempunyai satu tujuan. “Membuat rakyat tidak hanya menjadi obyek dalam pembuatan kebijakan pembangunan,” demikian argument yang sering terdengar dari aktivis LSM.
Gegap gempita menyambut era keterbukaan dengan membuat berbagai agenda pemberdayaan rakyat tampaknya tidak terjadi di tubuh pemerintah. Masih banyak institusi pemerintah yang lebih suka mendiktekan kebijakan mereka dan tidak mau mendengarkan aspirasi bawah.
Oleh karena itu, kesediaan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jawa Tengah menerapkan prinsip mendengarkan aspirasi bawah dalam menyusun program pembangunan mungkin tergolong langka.
“Dengan mengajak masyarakat merumuskan permasalahan mereka sendiri, merencanakan program pembangunan yang harus dibuat, kita berarti telah mengorangkan mereka. Selain itu, masyarakat terbukti bisa berperan aktif dalam proses tersebut,” ujar Ir Djoko Soetrisno, Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Lingkungan Bapedal, beberapa waktu lalu.
Apa yang dikatakan Djoko Soetrisno itu adalah pengalamannya selama memimpin kelompok kerja (pokja) penanggulangan K3 (kebodohan, kemiskinan, dan keterisolasian) di Kedungombo, yang sampai sekarang masih berlangsung. Pada tahun 1998, Gubernur Jateng Mardiyanto, memutuskan Bapedal sebagai lembaga yang bertugas mengooridinasikan berbagai pembangunan di Kedungombo.
Prinsip keterbukaan yang diterapkan Djoko membawa dampak positif luar biasa. Berbagai kebuntuan dalam proses penyelesaian Kedungombo sedikit demi sedikit mulai terkikis. Kesediaan mendengarkan aspirasi masyarakat dalam membuat program pembangunan telah membuat warga menaruh kepercayaan kepada pemerintah.
“Agenda yang paling penting sekarang adalah bagaimana membangun kepercayaan warga kepada pemerintah. Kasus Kedungombo pada masa lalu telah meruntuhkan kepercayaan warga kepada pemerintah,” ujar Djoko.
Bahkan, lanjut Djoko mengatakan, pola lama pembangunan yang hanya mengandalkan perencanaan terpusat harus ditinggalkan pola itu,” ujar Djoko.
Bahkan, lanjut Djoko mengatakan, pola lama pembangunan yang hanya mengandalkan perencanaan terpusat harus ditinggalkan pemerintah. “Instansi pemerintah harus meninggalkan pola itu,”ujar Djoko.
Kesiapan rakyat memasuki era keterbukaan harus dibarengi dengan kesiapan pemerintah. Jika tidak, sangat mungkin, gelombang ketidakpuasan akan menyulut kemelut politik baru.
Orang seperti Djoko Soetrisno mungkin tidak terlalu banyak di lingkungan pemerintahan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana ide-ide dari orang-orang seperti Djoko Soetrisno itu bisa menjadi mainstream dalam tubuh pemerintah.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Menyongsong Partisipasi Rakyat), Penerbit: Kompas, Halaman: 232-235.