Berjuang Mempengaruhi Kebijakan
“Gerah saya duduk di situ,” begitu komentar Nursyahbani Katjasungkana ketika ditanya bagaimana rasanya duduk di kursi legislatif sebagai wakil Majelis Permusyawaratan Rakyat. “Saya takut tidak bisa menyuarakan kepentingan masyarakat luas.”
Kekhawatiran Nursyahbani beralasan, mengingat selama ini kursi parlemen mampu membisukan suara anggotanya. Tetapi tampaknya hal ini tidak akan terjadi pada Nursyabani, perempuan aktivis yang memberikan hampir separuh hidupnya untuk perjuangan kesetaraan dan keadilan gender.
Ibu tiga anak lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya tahun 1979 ini dikenal sebagai pribadi yang tegas dan kukuh dalam prinsip, tetapi tidak menutup telinganya terhadap pendapat lain yang berbeda.
Nursyahbani memulai kariernya sebagai pengacara pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tahun 1980 sampai menjadi Direktur LBH Jakarta tahun 1987-1993. Ia menjadi narasumber dari berbagai seminar, lokakarya dan konferensi, serta aktif melobi berbagai lembaga donor internasional untuk isu-isu perempuan.
Pada tahun 1997 ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) yang kini berkembang ke berbagai wilayah di Indonesia. Nursyahbani adalah salah satu anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah untuk kasus Mei, khususnya yang berkaitan dengan masalah kekerasan seksual terhadap perempuan.
Salah seorang wakil dari LSM pada Utusan Golongan di MPR adalah Erna Witoelar. Ketika masalah lingkungan belum menjadi “isu seksi”, Erna sudah melihat masalah ini sebagai salah satu persoalan besar. Itu sebabnya pada tahun 1983 ia mendirikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan menjadi direktur eksekutifnya sampai tahun 1993. Walhi dikenal sebagai LSM di bidang lingkungan yang kritis dan tidak kenal kompromi.
Perjuangannya di bidang lingkungan mengantar Erna Witoelar meraih Global 500 dari Program PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) pada tahun 1992 dan Earth Day International Award dari Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) tahun 1993, dan seabrek penghargaan lainnya. Ia aktif dalam berbagai organisasi nasional dan internasional yang bergerak di bidang lingkungan dan pembangunan.
Ibu tiga anak yang menyelesaikan pendidikannya pada Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung tahun 1974 itu pada awalnya bergerak di bidang advokasi konsumen melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan menjadi Direktur Pelaksana YLKI pada tahun 1978-1979. Ia kemudian aktif pada International Organization of Consumers Unions (IOCU) dan dua kali terpilih sebagai ketua (tahun 1991-1994 dan 1994-1997). Sekarang ia menjadi council member organisasi itu.
Sepulang dari tugasnya mendampingi suaminya, Rahmat Witoelar sebagai Dubes RI di Rusia (1993-1997), Erna langsung masuk ke program pemberdayaan masyarakat. Pengalamannya yang begitu luas membuat Erna tahu persis bagaimana harus memposisikan diri di MPR, apa dan bagaimana harus memperjuangkan bidang-bidang yang menjadi lingkup keprihatinannya.
Berikut wawancara kepada keduanya secara terpisah di sela-sela acara Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Banyak kritik dilontarkan kepada para tokoh organisasi nonpemerintah (ornop/LSM) yang masuk ke lembaga legislatif? Bagaimana proses sampai Anda menjadi anggota MPR?
Nursyahbani: Ya, saya juga mendapat kritik keras dari teman-teman. Wardah (Wardah Hafidz, dari Konsorsium Kemiskinan Kota, UPC-Red) misalnya, mengkritik, mengapa tidak memperkuat masyarakat madani dulu. Saya pikir (bertugas di ) MPR hanya beberapa hari, hanya sesi memutuskan UUD, memilih presiden, GBHN serta materi non-GBHN penting lainnya. Kalau DPR ‘kan setiap hari dalam lima tahun full. Tetapi saya dengar, rencananya MPR mau bersidang setahun sekali juga. Begitu dikeluarkan UU Pemilu No.3, No.4 dan UU mengenai Susunan DPR/MRP saya melihat kriteria Utusan Golongan, siapa yang menentukan dan sebagainya. Waktu itu kelompok-kelompok perempuan sudah mulai membicarakan bagaimana caranya menempatkan lebih banyak perempuan di DPR/MPR. Dalam Forum Dialog Wanita yang diprakarsa Ibu Nani Sudarsono dari HWK (Himpunan Wanita Karya) April dan pertemuan nasional 30 April lalu disepakati mengusulkan sejumlah nama ke Komite Pemilihan Umum (KPU). Nama saya ada di dalamnya.
Rupanya ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi. Saya pelajari undang-undangnya dan kontak teman-teman GPSP (Gerakan Perempuan Sadar Pemilu). Mereka bilang harus ada prosedur khusus dan kami bisa mengusulkan kriterianya. Kami membicarakan hal itu di sebuah lokakarya, hasilnya kami kirim ke KPU. Dari situ saya mulai memroses, didukung terutama oleh teman-teman dari Koalisi Perempuan. Tetapi persyaratan harus ada sedikitnya tujuh atau delapan dukungan dari daerah karena organisasinya harus bersifat nasional. Sementara Koalisi baru punya vocal point di wilayah-wilayah. Yang paling mungkin adalah APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan). Jadi saya diajukan lewat APIK.
Pada seleksi pertama saya dimasukkan ke Golongan Perempuan, tetapi mental ke intelektual pada seleksi kedua. Saya mengajukan surat keberatan ke KPU, karena ini bukan “habitat” saya. Di saat terakhir Ikadin juga rebut. Mereka tidak mau masuk di LSM, maunya masuk di golongan intelektual. Akhirnya kami tukar tempat.
Pertimbangan saya, ini masa transisi, waktu yang amat kritis buat semua untuk menentukan lima tahun ke depan. Memang setitik debu di antara lautan debu mungkin tidak berarti, tetapi saya percaya pada kekuatan ide yang jelas dan logis.
Erna: Sebenarnya keberadaan Utusan Golongan di persimpangan jalan karena tidak dipilih rakyat, masih ditentukan KPU. Ini yang dipermasalahkan LSM. Idealnya semua anggota MPR dipilih rakyat.
Menjelang lembaga konsumen (YLKI, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) memutuskan mengirimkan saya atau tidak, kami buat daftar pro dan kontra-nya. Saya menyadari Utusan Golongan adalah posisi transisi. Di pemilu mendatang mestinya sudah tidak ada. Tetapi kami menyadari, perubahan demokrasi tidak bisa loncat setelah 30 tahun seperti ini. Di dalam konstitusi pun masih ada Utusan Golongan, sehingga lembaga konsumen memutuskan masuk ke dalam.
Sebenarnya kami tidak pernah berpretensi mewakili konsumen, kami menyuarakan kepentingan konsumen. Itu dua hal berbed. YLKI dari dulu bekerja di dalam dan di luar, karena banyak bekerja sama dengan pemerintah. Kami juga hearing dengan enam atau tujuh komisi di DPR, tetapi di luar kami melakukan advokasi. Selain itu, kami juga melihat ini adalah momentum sejarah yang akan mengubah atau memperbaiki konstitusi, akan memilih presiden yang make or break.
Kekhawatiran terbesar adalah kemungkinan adanya politik uang. Wakil LSM di MPR harus punya keberanian moral untuk membuka, kalau memang ada, politik uang atau ada usaha ke arah sana. Untuk ini kami yang di dalam berhubungan dengan teman-teman yang di luar.
Saya pribadi, selain perlindungan konsumen, yang saya perjuangkan secara menyeluruh di MPR baik melalui GBHN maupun dalam penentuan cabinet pemerintahan dan sebagainya, adalah lingkungan hidup dan gender. Itu tiga isu utama yang menjadi perhatian saya. Tiga-tiganya sudah tidak pantas lagi menjadi isu marginal. Dalam Indonesia baru sudah harus menjadi isu marginal. Dalam Indonesia baru sudah menjadi isu utama dan sudah harus melekat dalam sistem governance yang akan datang. Itu sebabnya mengapa saya mengambil risiko kontroversial untuk akhirnya masuk.
Apa yang akan Anda lakukan sebagai wakil Utusan Golongan?
Nursyahbani: Kekayaan saya mungkin pada pengalaman saya di bidang hukum dan lain-lain. Saya juga punya pengalaman menegosiasikan formulasi-formulasi kebijakan umum/negara pada dua kali penyusunan Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN). Saya mengharapkan bisa duduk di Badan Pekerja untuk ikut mewarnai proses formulasi keputusan di Badan Pekerja, untuk draft baik GBHN maupun non-GBHN.
Saya kira yang paling penting adalah yang non-GBHN, yang berkaitan dengan Amandemen UUD. Obsesi saya adalah penghapusan peran sosial politik TNI, dan itu harus di TAP MPR, supaya tidak mengacu terus pada consensus nasional yang tidak jelas. Semua itu dilakukan dengan memastikan bahwa perspektif gender masuk di dalamnya.
Kedua, ini satu babak baru dan saya mencoba bereksperimen dalam proses politik formal. Banyak teman LSM seperti Chusnul (Dr Chusnul Mar’iyah, ahli politik, perempuan aktivis, Red) bilang, kami tidak bisa hanya semata-mata gerakan moral seperti selama ini dilakukan. Itu tetap penting, tetapi masuk ke politik formla juga penting, meskipun menjadikan politik sebagai satu hal yang inheren dalam kehidupan sehari-hari perempuan juga sangat penting, apalagi menyongsong lima tahun ke depan.
Erna: Kami ingin meningkatkan kualitas dan kuantitas perempuan dalam pengambilan kebijakan politik. Agenda politik saya adalah supaya upaya yang non-partisan bisa hidup di sini. Misalnya, saya keberatan bila Utusan Golongan digiring mendukung salah satu calon karena itu akan menjadi partisan. Harus ada kebebasan di dalamnya untuk berbeda.
Kemudian saya ingin memasukkan isu-isu yang menjadi perhatian saya. Misalnya, UU Perlindungan Konsumen, di situ aka nada badan pemerintah yang ditentukan untuk menangani sehingga perlindungan konsumen bukan hanya oleh LSM. Saya ingin dalam draft GBHN yang akan datang itu masuk. Misalnya di dalam Departemen Perdagangan dan Industri, perlindungan konsumen itu jelas portofolio-nya.
Soal lingkungan, jelas. Bila ada penciutan kabinet, soal lingkungan akan masuk di mana, kebijakannya bagaimana, saya ingin ikut mempengaruhi. Apakah mau dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan, atau pembangunan industri dan lingkungan, karena kita di persimpangan jalan. Gender dimasalahkan, tetapi kita mau membubarkan Kantor Menteri Peranan Wanita. Bagaimana itu masuk ke dalam kebijakan saya ingin terlibat di dalam penentuannya atau paling tidak ikut mempengaruhi mereka yang menyusun.
Apakah akan membuat kaukus?
Nursyahbani: Saya sudah mulai lobi. Dari Fraksi TNI ada tiga perempuan, dan saya sudah bilang kemungkinan membuat semacam forum komunikasi. Kebetulan itu juga sudah masuk dalam perencanaan strategis Koalisi Perempuan. Masalahnya sekarang, jumlah perempuannya sedikit dan belum tentu sadar gender. Mudah-mudahan kaukus perempuan atau apa pun namanya bisa menjembatani tidak saja di antara perempuan anggota legislatif, tetapi juga dengan teman-teman di luar.
Erna: Kaukus perempuan perlu, meski sulit. Tetapi harus dicoba. Kepentingan partai-partai memang berlainan, di sini tergantung pinternya kita memfasilitasinya, sehingga semua melihat kepentingan perempuan sama, yang nanti dia perjuangkan melalui partainya.
Bisa lebih rinci?
Nursyahbani: Amandemen UUD 1945, dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan pokok serta mengatur kembali soal pembagian kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Selama ini UUD ‘kan memberikan kekuasaan besar sekali kepada eksekutif. Selain itu, juga harus dimasukkan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan gender dan affirmative action, sesuai pasal 2 dan 3 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 1984.
Saya pelajari UUD-nya Bangladesh, India dan Afrika Selatan. India misalnya, baru mengamandemen UUD-nya dengan memasukkan prinsip kesetaraan gender dan affirmative action tahun 1993. Di situ ada dua pasal yang memastikan jaminan hak-hak perempuan oleh konstitusi. Selama ini kita selalu merefer pada pasal 27 UUD 1945, yang mengatakan setiap orang sama kedudukannya dalam hukum. Itu bukan prinsip keadilan gender tetapi lebih pada prinsip kesetaraan di hadapan hukum, yang tidak dengan sendirinya dalam satu masyarakat yang begitu patriarkhis berdampak sama pada perempuan.
RUU KUHP harus dibahas pada periode DPR yang akan datang setelah 20 tahun mendek. Konsepnya sebenarnya sudah mulai tahun 1976, dan konsep terakhir selesai April 1993, tetapi dikembalikan ke Badan Perencana Hukum Nasional (BPHN) Februari 1998. Yang mengganjal adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan keamanan negara dan perlindungan perempuan, yang pada intinya menolak setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan di mana pun, di ruang publik dan di ruang privat, di tempat tidur sekalipun. Saya melihat, dengan Wakil Sekretaris Kabinet Dr Erman Rajaguguk, akan lebih mudah melobi agar masalah ini bisa segera dibicarakan.
Mengenai masalah kekerasan dalam rumah tangga, selain perlindungan yang lebih besar dari KUHP, juga ada perubahan orientasi untuk mengakomodasi kecenderungan masyarakat yang menjunjung tinggi keutuhan keluarga, sekaligus melindungi perempuan. Jadi bukan impunity meski pelaku tindak kekerasan tidak langsung diproses secara hukum. Ada proses dimana pelakunya harus menjalani dulu semacam anger management programme untuk memperbaiki tingkah laku. Kalau ia kembali melakukan tindak kekerasan setelah perawatan itu, baru diproses secara hukum.
Saya juga melihat rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF, dibentuk untuk kasus Mei) untuk melindungi korban perkosaan dan saksi, mendesak dibuat. Ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan-peraturan dalam KUHP. Tanpa itu kita tidak bisa mendorong korban mengadukan kekerasan yang dialaminya ke publik, apalagi kalau kekerasan itu dilakukan negara atau militer.
Perlindungan terhadap perempuan dan anak seharusnya satu paket, meski kategorinya berbeda. Posisi anak yang sangat lemah dalam struktur seperti sekarang ini harus diberikan perhatian khusus.
Mungkinkah membentuk kaukus, karena pandangan tentang UU Perkawinan misalnya, ada perempuan anggota partai pemenang pemilu yang minta poligami dibolehkan, sementara perempuan lainnya tidak mau?
Erna: Memang ada nuansa-nuansa beda yang tidak bisa dipaksakan untuk satu karena sudah beda ideologi. Tetapi ada hal-hal yang masih bisa satu, misalnya kebijakan mengenai keberadaan perempuan dalam kabinet yang akan datang, itu kan belum jelas. Jadi bisa dirumuskan bersama dan bisa kemudian melalui kaukus dititipkan kepada masing-masing partai sehingga semua sependapat governance yang menyangkut peningkatan partisipasi gender itu yang seperti apa. Itu menjadi semacam pijakan bersama.
Jadi jangan dipaksakan sesuatu yang memang sudah berbeda. Seperti aborsi dan anti aborsi di tingkat pergerakan perempuan di dunia saja tidak pernah selesai perdebatannya. Tetapi masalah kekerasan terhadap perempuan, hak-hak kesehatan perempuan, seharusnya sama, dan mereka perlu memperjuangkan di partainya. Juga peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan politik, itu sama keluhannya. Jadi bisa ada kelompok pendukung untuk itu.
Anda optimis?
Nursyahbani: Ya, tetapi harus kerja keras. Saya membaca agenda reformasi PDI-P misalnya lain dari yang dikesankan selama ini. Memang sesuai kesepakatan Ciganjur mereka setuju menghapuskan peran militer secara bertahap sampai tahun 2004, tetapi dalam programnya jelas tercantum upaya menghilangkan atau mengurangi koramil, kodim dan kodam-kodam. Menurut saya itulah inti dwifungsi TNI yang harus kita tolak itu.
Erna: Ini transisional. Idealnya terjadi pemutusan tuntas (dengan rezim sebelumnya), tetapi melihat keadaan sekarang saya pesimis bisa terjadi, tetap saja ada sisa-sisa yang terbawa. Makanya mengambil posisi seperti teman-teman di luar, yang tidak mau masuk karena masih rotten, juga susah. Bila tidak masuk, bisa-bisa yang menggantikan ya orang yang itu-itu lagi. Ini pilihan yang sulit, memang.
Inginnya optimis, tetapi saya juga mengantisipasi KPU besar akan ada di sini karena tidak sama derajat demokrasi dari setiap orang, setiap kelompok. Juga masih ada yang sok macho-machoan. Kita tahu ini kualitas transisional, tidak bisa semua langsung baik.
Dalam kaukus perempuan kita mencari siapa yang punya kesadaran gender di kalangan laki-laki. Itu menjadi pekerjaan saya untuk memasang rada ‘mengenai hal itu, karena itu dalam perkenalan saja sudah saya lemparkan tiga isu yang menjadi titik perhatian saya. Ini menarik karena selama ini saya terus berada di luar sistem.
Apa signifikansi penghapusan dwifungsi TNI dengan masalah perempuan?
Nursyahbani: Kekerasan, yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Hal penting lainnya adalah proses penyembuhan dari berbagai kasus kekerasan oleh negara. Ini harus bagaimana. Tentu harus ada penyelesaian hukum, yang saya sangat pesimis. Tetapi yang utama adalah penyelesaian politik. Proses pembangunan perdamaian harus disuarakan di lembaga ini.
Tentang Komisi Kebenaran (Truth Commission), di Afrika Selatan misalnya, berdasarkan keputusan DPR mereka. Kita sudah harus berpikir untuk itu, bahkan sudah di MPR harusnya. Untuk konseling trauma kami tidak bisa mengandalkan pemerintah, tetapi saya berharap LSM berperan. Saya dengar Komnas HAM sedang mempersiapkan program besar untuk itu.
Erna: Semua isu sama mendesaknya (untuk diselesaikan). Dari segi politik adalah mengenai militer dan pelanggaran hak asasi manusia keseluruhan. Saya senang karena ada teman-teman yang kuat di bidang kekerasan terhadap perempuan duduk di MPR dan saya sendiri akan mendukung hal itu. Mungkin Nursyahbani akan lebih kuat merumuskan hal itu. Saya akan lebih kuat merumuskan lingkungan. Kami membawa kekuatan masing-masing kami di sini.
Jumlah perempuan di Utusan Golongan lumayan, 20 persen, tetapi seberapa jauh perspektif gender-nya, belum tahu.
Bagaimana pandangan Anda terhadap Megawati?
Erna: Gendernya perempuan. Itu adalah kekuatan pemersatu. Tetapi saya lebih melihat para calon presiden sebagai sistem keseluruhan; paket apa yang dibawa. Ada yang membawa paket perubahan, ada yang membawa paket status-quo. Jadi apa pun, orangnya dibanding-bandingkan, tetapi paketnya adalah perubahan dan perubahan yang diinginkan masyarakat. Itu yang dibawakan dan apa pun hasilnya, kami harus mencobanya.
Jadi saya tidak terlalu mempermasalahkan gendernya. Saya mempermasalahkan sikap politiknya, keberadaan dia dan paketnya. Pandai-pandainya dia membawakan paketnya sehingga lebih sedikit korban dan lebih ke arah tim yang memungkinkan cepat ada perbaikan baik dari segi ketidakamanan orang-orang yang tertekan hak asasinya, yang tidak punya pekerjaan, maupun yang terusir dari tanahnya. Ini tidak bisa dibiarkan lagi menunggu. Lebih konkretnya, saya ingin sidang umum berbeda dari yang lalu, proses yang lebih cepat memungkinkan adanya kepastian.
Apakah Anda masih punya cukup semangat melihat perkembangan yang tampaknya tidak beranjak jauh dari situasi masa lalu?
Nursyahbani: Kalau melihat fenomena politik seperti pemilihan Ketua DPRD Jakarta atau keputusan DPRD Ujungpandang mengenai Baramuli, ‘kan tidak menunjukkan satu perubahan. Tetapi orang bilang pantarei, mengalir saja, dan pada saatnya demokrasi yang sebenarnya akan datang. Berapa lamanya, aura orang-orang di dalam sangat menentukan, tetapi kalau auranya masih yang dulu ya susah.
Ada hal-hal yang bisa sama-sama diperjuangkan perempuan seperti ha katas kesehatan dan penolakan kekerasan terhadap perempuan.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Berjuang Mempengaruhi Kebijakan), Penerbit: Kompas, Halaman: 182-193.