Perencanaan Desa Mandiri
Perencanaan Desa menjadi sebuah instrumen untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala lokal. Kejelasan tentang perencanaan Desa akan menggairahkan partisipasi dan kehidupan masyarakat Desa. Belajar pengalaman implementasi ADD, perencanaan Desa berlangsung secara dinamis, partisipatif dan menjawab kebutuhan berskala lokal.
Dasar hukum Perencanaan Desa secara makro berpijak pada regulasi yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No 25/2004) dan regulasi tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 212 UU No 32/2004). Namun, secara spesifik dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 (Pasal 64), yang dijabarkan dalam Permendagri No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Sejumlah daerah juga sudah menjabarkannya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa. Sesuai dengan amanat PP No. 72/2005, Desa diharuskan membuat perencanaan Desa yang didasarkan pada kenangan Desa.
Perencanaan Desa bukanlah perencanaan daerah yang berada di Desa, melainkan sebagai sebuah sistem perancanaan yang berhenti di tingkat Desa atau dikelola sendiri (self planning) oleh Desa serta berbasis pada masyarakat setempat, dengan tetap mengacu pada perencanaan daerah yang telah ditetapkan. Perencanaan Desa memiliki tujuan:
- memotong mata rantai prosedur perencanaan bertingkat (bottom up) yang terlalu panjang;
- membawa perencanaan betul-betul dekat pada masyarakat di Desa sehingga agenda Pembangunan Desa menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada kebutuhan masarakat setempat;
- membuat proses subsidiaritas dalam pembangunan bekerja di level Desa, sehingga bisa memperkuat tanggung jawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan prakarsa/potensi lokal;
- perencanaan Desa akan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan kemandirian Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat;
- membuat kepastian pelayanan publik dan pemerataan pembangunan sampai ke level Desa yang dekat dengan rakyat;
- menciptakan produktivitas, efisiensi dan efektivitas pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan Desa.
Perencanaan Desa memiliki sejumlah ciri, meliputi:
- Perencanaan Desa merupakan sistem perencanaan sendiri (self planning) yang menjangkau urusan pembangunan dan pemerintahan yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab Desa.
- Kewenangan Desa yang sudah ditetapkan kemudian dicakup dengan perencanaan Desa, membutuhkan dukungan dana alokasi Desa (ADD) dari pemerintah.
- Perencanaan Desa dibuat dalam bentuk rencana strategis sebagai rencana jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah (RPJMDes), dan rencana pembangunan tahunan (RKPDes).
- Perencanaan Desa merupakan sistem yang terpadu dan dibuat sistem budgeter (budgetary system) di Desa melalui skema APBDes. Artinya, kecuali perencanaan sektoral kabupaten maupun pelaksanaan tugas-tugas pembantuan (yang menjadi domain pemerintah supraDesa), program-program pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis Desa sebaiknya diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan Desa dan dana program-program itu dimasukkan ke dalam APBDes (budgetary system). Integrasi secara terpadu ini mempunyai beberapa tujuan: (1) menghindari terjadinya “dualisme” perencanaan dan pengelolaan pembangunan, sebagaimana Desa mengelola perencanaan rutin serta agenda pembangunan lainnya (PPK, PEMP, P2MD, P3DT, dan lain-lain) yang berada di luar sistem anggaran Desa. Dalam praktiknya perencanaan rutin justru sering terbengkelai karena kurang memiliki kepastian dana, sementara program-program luar itu memasok dana yang lebih besar dan lebih pasti. (2) Desa akan lebih fokus merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
- Perencanaan Desa dikelola untuk merespons secara dekat/langsung berbagai kebutuhan masyarakat Desa serta diproses secara partisipatif. Forum Musrenbangdes, LPMD, RT, RW, kelompok tani, kelompok perempuan, karang taruna, kelompok keagamaan dan lain-lain merupakan arena yang nyata untuk mewadahi proses perencanaan partisipatif di Desa. Di internal Desa, partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya pelembagaan yang demokratis dalam struktur pengambilan kebijakan Desa.
- Perencanaan Desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naik ke atas, misalnya untuk memperoleh persetujuan. Musrenbang di kabupaten tidak lagi digunakan untuk menilai, menyeleksi atau menyetujui usulan dari Desa. Dalam konteks perencanaan Desa, kabupaten bertugas melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.
- Tanggungjawab perencanaan Desa diletakkan di tingkat Desa. Desa menyampaikan dokumen-dokumen perencanaan dan pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pemerintah desa wajib menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa). RPJM Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat strategi dan arah kebijakan pembangunan Desa, arah kebijakan keuangan Desa dan program prioritas kewilayahan, yang disertai dengan rencana kerja.
RPJM Desa disusun untuk menj adi panduan atau pedoman bagi komunitas desa dan supradesa, dalam rangka mengelola potensi maupun persoalan di desa. Karena itu, RPJM Desa merupakan dokumen perencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan kabupaten/kota, (Pasal 63 ayat 1 PP No 72/2005). RPJM Desa dapat dimaknai sebagai dokumen “cetak biru” (blue print) desa selama rentang waktu lima (5) tahun. Dokumen “cetak biru” ini memuat arah dan orientasi pembangunan desa selama tahun. Secara konsepsional capaian pembangunan desa selama lima tahun dituangkan ke dalam visi dan misi desa. RPJM Desa juga merumuskan permasalahan desa, strategi dan kebijakan yang hendak ditempuh, serta program dan kegiatan yang disiapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. RPJM Desa kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) sekaligus dengan penganggarannya yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Kedua dokumen ini “RKP Desa dan APB Desa” merupakan hasil (output) dari Musrenbang tahunan.
Penyusunan rencana kerja desa membutuhkan sumber daya anggaran dan sumber daya lainnya. Apabila anggaran dan sumber daya tidak tersedia, rencana kerja tersebut hanya akan menjadi dokumen kertas saja. Karena itu, RKP Desa dan APB Desa merupakan dua dokumen yang tidak terpisahkan. APB Desa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang ditetapkan dengan Peraturan Desa (Pasal 1 ayat 12 PP No 72/2005). Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa (Pasal 73 ayat 3). Pedoman penyusunan APB Desa, perubahan APB Desa, perhitungan APB Desa, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota (Pasal 74).
Alokasi Dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota (Pasal-1 PP No.72/ tahun 2005). Dana dari Kabupaten/Kota yang diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tigapuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD dan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat (Penjelasan Pasal-68 ayat 1 poin c PP No.72/tahun 2005). ADD merupakan salah satu komponen APB Desa yang paling utama saat ini karena kebanyakan desa belum mengembangkan pendapatan asli desa yang cukup besar. ADD merupakan hak desa untuk memperoleh anggaran untuk menyelenggarakan pembangunan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Bagaimana kekuatan hukum dokumen rencana desa? Dokumen RPJM Desa dan RKP Desa merupakan dokumen kebijakan desa. Kebijakan desa disusun melalui proses politik yang melibatkan berbagai elemen di desa, pihak pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat desa. Sehingga untuk menopang produk kebijakan desa ini, digunakan kekuatan hukum dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) untuk RPJM Desa dan SK Kepala Desa untuk RKP Desa.
Dalam kerangka otonomi, pemerintah desa diberi kewenangan untuk menyusun program pembangunannya sendiri melalui proses partisipatif dan pelibatan masyarakat agar lebih mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata dan berkeadilan. Karena itulah, desa berhak memperoleh Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai anggaran pembangunan yang bersumber dari APBD (Kabupaten/Kota).
Desa memang memiliki potensi sumber daya yang beragam untuk membangun dirinya, baik sumber daya fisik, sosial, penduduk maupun budaya. Sayangnya, tidak semua potensi sumberdaya desa, dapat didayagunakan dan daya dukung sumber daya desa terbatas dalam aspek SDM, teknologi dan keuangan. Ketimpangan sosial dan ekonomi masih terjadi di desa. Padahal desa, sebagai kesatuan masyarakat hukum, terus akan ada dan diharapkan bisa dihuni sebagai tempat tinggal maupun memperoleh sumber penghidupan oleh warganya. Sehingga dibutuhkan suatu cita-cita bersama (mimpi bersama) yang merupakan dokumen politik desa, yang dirumuskan secara sistematis, terukur, dan menjanjikan hasil yang benar-benar dibutuhkan warga desa.
Itulah dokumen RPJM Desa. Dokumen RPJM Desa penting disusun oleh desa, agar pembangunan desa memiliki arah, orientasi dan prioritas yang jelas dan dipakai sebagai pedoman untuk merumuskan program dan kegiatan yang prioritas setiap tahunnya. RPJM Desa menjadi visi bersama warga desa, dalam melangsungkan kehidupannya di desa. Dengan adanya RPJM Desa, pihak-pihak supradesa (kecamatan, kabupaten, propinsi dan pemerintah pusat) memiliki orientasi dan dapat menyesuaikan dengan arah kebijakan maupun prioritas program yang dimilikinya. Pada saat menyusun RPJM Desa pun, dokumen perencanaan daerah (RPJMD) diperhatikan.
Saling memperhatikan dalam menyusun dokumen perencanaan tersebut, menandakan bahwa RPJM Desa menjadi satu kesatuan dari sistem perencanaan pembangunan daerah (Pasal 63 ayat 1 PP No 72/2005).
Disarikan dari buku: Sinkronisasi Perencanaan Desa, Penulis: Rohidin Sudarno, Suraji, Hal: 36-45.