Politik adalah Perjuangan Nilai

Nov 16, 2013 No Comments by

Energinya berpolitik tak ada matinya. Jika pada 1965-1966 dia ikut menggerakkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, kini Rahman Tolleng aktif mendorong orang muda melakukan perubahan. Ia turut membidani kelahiran Partai Serikat Rakyat lndependen, yang berniat mengusung Sri Mulyani lndrawati sebagai calon presiden. Berpolitik, kata Tolleng, haruslah dengan tujuan memuliakan kehidupan rakyat.

Dorongan berpolitik datang dari rasa keindonesiaan yang bersemi ke­ tika dia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar di Watampone, Sulawesi Selatan di penghujung 1945. Hampir setiap petang, bersama ternan sepermainannya, ia mengintip sekelompok anak muda berlatih baris­ berbaris di jalan raya.

Mereka mengenakan pakaian putih, dengan emblem merah-putih tersemat di dada. “lngin menjadi bagian dari kelompok itu, saya memasang emblem merah-putih di dada, yang dibuatkan ibu,” kata Tolleng, putra saudagar dan pelaut Bugis ini.

Rahman adalah politikus idealis. Di era Orde Lama, ia dicari karena memprotes Dekrit Presiden Sukarno. Sesudah G-30-S, ia menggerakkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di Bandung, dan ikut memprakarsai penerbitan tabloid Mahasiswa Indonesia, pada 1966.

Menjelang pemilu 1971, Rahman terlibat dalam proses transformasi Sekretariat Bersama Golkar menjadi Golongan Karya. Karir politiknya maju pesat. Peristiwa Malari, 15 Januari 1974, menjadi titik balik baginya.

Ia dianggap terlibat dalam demonstrasi menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Tolleng ditahan bersama sejumlah elektual dan pemimpin mahasiswa masa itu. Meski akhirnya dibebaskan, ia mulai terpinggirkan dari pentas politik. Di-recall sebagai anggota ewan Perwakilan Rakyat, dia juga kehilangan jabatan di Dewan Pimpinan Pusat Golkar.

Pada awal 1990-an, bersama Abdurrahman Wahid dan sejumlah tokoh lain Rahman ikut mendeklarasikan Forum Demokrasi yang mengajukan Gus Dur sebagai calon presiden alternatif menggantikan Soeharto sebuah langkah sangat berani saat itu. Gus Dur akhirnya menjadi presiden, tapi Forum menghilang.

Bagi ayah dua anak dan kakek tiga cucu itu usia bukan rintangan untuk tetap giat di dunia politik. “Perjuangan politik adalah perjuangan nilai,” katanya.

 

Negeri Ini Milik Kita Bersama

Sebuah Renungan bagi Kaum Muda
OlehA. Rahman Tolleng

Wij zijn de bouwers van de tempel niet
Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen
Wij zijn het geslacht dat moet vergaan
Op dat een betere rijze uit onze graven
Henriette Roland Holst

Terus terang, saya tidak tergolong akrab dengan puisi. Tapi puisi yang satu ini benar-benar telah mencuri hati saya sejak pertama kali membacanya. Ketika itu. 60 tahun yang silam, saya baru duduk di bangku SMA. di Makassar. Puisi yang digubah oleh seorang perempuan sosialis Belanda ini seakan me lekat di benak saya. Hingga kini, selain syairnya, saya masih menghafalkan terjemahan bebasnya di luar kepala: “Kami ini bukanlah pembangun candi / kami hanyalah pengangkut bebatuan / Kami adalah angkatan yang musti punah / Agar tumbuh generasi yang lebih sempuma di atas kuburan kami”.

Saya membacanya dari sebuah buklet yang terbit dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan*. Dari segi mutu sastra, saya tak mampu menilainya. Tapi bagi saya, puisi Roland Holst ini sedikit banyaknya merefleksikan kiprah dan kesucian hati para ksatria yang telah mendahului kita. Mereka bertarung menyambung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” —sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, “agar tumbuh generasi yang lebih sempurna ….”

Apa lacur? Generasi demi generasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh. Konstitusi me nyebutkan negara ini berbentuk Republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”. Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukan kerajaan. Resminya, bukan kerajaan memang —sungguhpun tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan dengan seorang monark di jaman sekarang. Bangsa ini pun kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.

Frasa “cinta tanah air” juga  mengalami penyimpangan makna. Konsep “patriotisme”, padanannya, seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep “nasionalisme”. Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi di balik kesamaan itu ada garis tebal yang memisahkannya. “Patriotisme” menuntut kebebasan warga negara atas dasar penghormatan hak-hak orang lain, sedangkan “nasionalisme” memuja kebesaran bangsa dan menjunjung tinggi apa yang disebut kepribadian nasional. Musuh masing-masing karenanya juga berbeda. Musuh patriotisme adalah segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi, sementara bagi “nasionalisme” yang dimusuhi adalah pencemaran budaya, ketidakutuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing.

Elan “cinta tanah air” dalam arti “patriotisme” itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda, sebagaimana hal itu pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Tapi jangan salah pahami saya. Menjalankan “tugas patriotik” —meminjam istilah Carlo Rosselli, seorang martir antifasis Italia pada Perang Dunia II—tidaklah berarti dan harus selalu berupa tindakan heroik. Patriotisme bukanlah “penyerahan” diri kepada tanah air, mengorbankan seluruh hidup bagi Republik. Tindakan yang demikian tidak diperlukan, terkecuali mungkin secara terbatas dalam situasi-situasi genting.

Patriotisme hanya menuntut agar Anda menjadi warga negara yang aktif, warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama, peduli terhadap kemaslahatan bersama. Ini mengimplikasikan bahwa kita selalu siaga untuk melibatkan diri, dan bukannya bersikap acuh tak acuh, tatkala ada sesama warga negara yang menjadi korban ketidakadilan atau tindakan diskriminatif, ketika suatu turan perundang-undangan yang reaksioner dipersiapkan atau disahkan, atau ketika pasal-pasal konstitusi dilecehkan. Tugas-tugas itu sesungguhnya bisa dijalankan, sembari Anda bisa tetap bergembira belajar, atau bekerja menghidupi keluarga. Pokoknya, Anda tak perlu meninggalkan kehidupan privat masing-masing.

Beberapa waktu lalu, istri saya menerima oleh-oleh dari adiknya yang baru saja berkunjung ke London. Sehelai sarung bantal sofa yang sederhana saja. Pada salah satu sisinya terpampang lambang negara Kerajaan Inggris dan di bawahnya tertera suatu seruan singkat yang tertata rapi. Terus terang saya terperangah  dan kagum melihatnya. Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewrisi aspek tertentu dalam Republikanisme.

Apa bunyi seruan itu? Sebagai penutup tulisan ini saya kutipkan di sini untuk dicamkan oleh kaum muda “Your Country Needs You” —Negeri Membutuhkan Anda.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Rahman Tolleng, Hal: 43-45.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Politik adalah Perjuangan Nilai”

Leave a Reply