Krisis Kepemimpinan Sejati

Okt 10, 2014 No Comments by

Para pemimpin’ negeri kita, baik yang berada dikursi empuk pemerintahan maupun para wakil rakyat yang terhormat, serta para pemimpin bisnis (lagi-lagi khususnya di BUMN) telah terbiasa dan telah dikonotasikan bahwa mereka menjadikan posisinya masing-masing sebagai alat (sebagian besar diantaranya) untuk menyenangkan dirinya sendiri. Sebuah jabatan tidak dipahami sebagai sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, namun seolah-olah warisan nenek moyangnya, kemudian digunakan untuk merealisasikan kekuasaan dan kekayaan pribadi.

Untuk menduduki kursi empuk suatu jabatan, pada umumnya mereka telah berjuang dan telah menghabiskan tabungannya untuk “membeli” kursi jabatan, maka ketika mereka duduk di suatu kursi jabatan, segera mereka mencari peluang untuk “mengganti pundi-pundi tabungannya yang kemarin terkuras”, dan untuk mempertahankan jabatannya, ia juga tidak segan-segan korupsi untuk “mengisi pundi-pundi kerabat, golongan atau atasannya”. Sebagian besar diantara mereka merasa bahwa dengan posisi tersebut mereka adalah raja dan karenanya rakyat adalah hambanya. Mereka lupa pada sumpah jabatan, yang mengharuskan mereka berperan sebagai abdi/pelayan masyarakat, bukan menjadi penguasa rakyat.

Perubahan akan gagal kalau pemimpin-pemimpinnya hanya pandai berwacana saja. Wacana yang kosong akan destruktif Kita perlu pemimpin yang bisa menggerakkan orang-orang, pemimpin yang pandai berpikir dan bervisi, serta mampu berinisiatif, bergerak, dan berani memulai atau berani mengambil risiko. Get Started. Get into the garne. Get into the playing field, now! Just do it!

Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu menghantarkan dan mengawal proses reformasi. Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa memberi contoh untuk berubah dan mampu berdialog dengan masyarakat untuk menemukan dan menetapkan kesepakatan arah dan langkah-langkah perubahan. Saat ini bangsa kita membutuhkan pemimpin yang menurut maha guru bangsa Ki Hajar Dewantara disebut pemimpin “ing madyo mangun karso”. Yaitu pemimpin yang mau turun ke tengah-tengah masyarakat, yang mampu mendengarkan pendapat masyarakat yang masih remaja, yang dapat dipercaya sehingga nasehat-nasehatnya didengar dan diturut oleh masyarakat yang masih remaja, serta sekaligus mampu membangkitkan dan memotivasi semangat juang masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan yang berkelanjutan.

Berkaitan dengan pemimpin, Aa Gym di media detikcom online (2005) menyatakan bahwa: “Pemimpin apa yang kita butuhkan? Sederhana saja, jika kita ingin berubah, kita membutuhkan pemimpin yang bisa merubah. Siapa pemimpin yang bisa merubah adalah pemimpin yang bisa merubah dirinya. Sederhana kan. Jadi kunci kehebatan seorang pemimpin adalah bisakah dia memimpin dirinya sendiri dan keluarganya. Bagaimana bisa “memimpin orang lain kalau memimpin diri sendiri dan keluarganya saja tidak sanggup.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pemimpin harus menjadi pelayan bagi para umatnya. Eka Darmaputera (2003) menyebutkan bahwa Frank Mendoza dalam bukunya The Making of a Leader, menulis ada satu unsur yang amat esensial harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Apa itu? Yaitu, “pelayanan”. Bahwa memimpin itu berarti “melayani”. Memimpin berarti “mengabdi”. Pemimpin sejati mesti punya sikap mental seorang pelayan. Mesti punya motivasi seorang abdi. Mesti bersikap dan bertindak bak seorang hamba. la adalah pemimpin yang menghamba (seryant leadership).

Disarikan dari buku: Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar, Penulis: Jann Hidayat Tjakraatmadja, Donald Crestofel Lantu, Hal: 59-60.

 

Pengelolaan Pengetahuan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Krisis Kepemimpinan Sejati”

Leave a Reply