Ditempa Ombak

Agu 17, 2013 No Comments by

Terdampar karena belas kasihan ombak”. Ungkapan perantau Minang ini cocok mengambarkan nasib Syafi’i. Awalnya, dia hendak belajar di SMU Muhammadiyah di Yogyakarta. Niatnya kandas karena SMP -nya di Desa Lintau, Sijunjung, Sumatera Barat, dianggap tak bermutu. Anak muda itu lalu mendaftar ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah –juga di Yogyakarta. Lagi-lagi ditolak karena tak lulus tes. Tapi Madrasah itu akhirnya menerima dia juga. Pertimbangannya? Karena Syafi’i dari desa yang jauh, jadi, ya, sudahlah.

Di sekolah itu, ombak hidupnya naik. Nilai rapornya selalu bagus dan mendapat peringkat satu. Usai lulus dari sana, dia terdaftar di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, sebelum akhirnya pindah ke Jurusan Sejarah IKIP Yogyakarta. Syafi’i pindah karena butuh jadwal kuliah yang tidak teratur: dia harus nyambi mengajar di tempat sejauh 50 kilometer. Kerja sambilan ini ditebus mahal. “Saya lulus sarjana di umur 29 tahun,” ujarnya.

Usai lulus IKIP, dia kuliah di Illionois, Amerika Serikat. Studi itu putus di tengah jalan. Anak lelakinya meninggal—dan dia kembali ke tanah air. Beberapa tahun kemudian, Syafi’i kembali ke AS mengambil studi sejarah di Ohio University. Studi S3 tentang Pemikiran Islam dia teruskan di Chicago University.

Sejak di Chicago itulah Syafi’i belajar di bawah bimbingan Fazlur Rahman, seorang pembaharu Islam dari Mesir. Salah satu ajaran Al-Quran yang benar-benar dianut Syafi’i adalah tidak ada paksaan dalam beragama. Pandangannya ini cocok dengan Muhammadiyah. Alasannya, ada keterbukaan dan tidak mengajarkan orang menjadi pengikut yang membabi buta.

Di kemudian hari, ombak hidup menghempaskannya ke puncak organisasi yang dia cintai itu: Syafi’i Ma’arif menjad Ketua PP Muhammadiyah pada 1998. Usai memimpin Muhammadiyah, dia mendirikan Maarif Institute, lembaga yang berfokus pada gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan.

 

Anak Kampung dan Kemerdekaan Bangsa

Tak sedikit pun terbayangkan oleh saya nasib seorang anak kampung yang terletak jauh tersuruk di nagari Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, sekiranya Indonesia tidak merdeka pada 17 Agustus 1945. Selagi kecil (kelahiran 31 Mei 1935), tak ada mimpi untuk sekolah jauh, tak ada cita-cita tinggi yang ingin diraih. Semuanya terkurung di nagari sunyi yang dialiri sungai Batang Sumpur yang memanjang dari utara ke selatan sebelum melebur menjadi satu dengan sungai Ombilin yang jauh lebih perkasa. Di malam hari, ketika jam dinding berdetak, terkadang penduduk dikejutkan oleh auman harimau yang sangat menakutkan. Pernah pula raja hutan itu masuk kampung mencari mangsa seperti kambing, anjing, ayam, bahkan sapi, kerbau, dan kuda. Jika musibah itu terjadi, seantero kampung gempar, sementara mereka yang berani dan jago silat siap dengan senjata tajam pergi ke luar rumah untuk “menemui” si raja hutan itu.

Puluhan tahun, bahkan mungkin ratusan tahun, Sumpur Kudus adalah nagari yang kelam gulita di kala malam. Sebelum dialiri cahaya listrik tahun 2005, tujuh tahun yang lalu, sebagian penduduk yang berpunya biasa memakai genset untuk melawan kegelapan malam. Sedangkan mereka yang miskin, biasa menggunakan lampu minyak tanah, atau pun lampu minyak kelapa yang diberi sumbu kapas. Sumpur Kudus hanyalah satu dari sekian puluh ribu kampung yang berserakan di seluruh Nusantara, yang sebagian sampai hari ini belum mengenal listrik, sekalipun bangsa sudah merdeka selama 67 tahun.

Bagi saya kemerdekaan sungguh sangat tinggi harganya. Berkat kemerdekaanlah saya punya kesempatan belajar, tidak saja ke Jawa, bahkan sampai ke Chicago, Amerika Serikat, hingga tuntas. Dalam usia senja menjelang malam sekarang ini, rasa terima kasih saya kepada semua para pejuang kemerdekaan hampir tanpa batas. Karena karya besar merekalah Indonesia menjadi negara berdaulat seperti sekarang ini, sekalipun dalam perkembangan terakhir, kedaulatan itu terasa tidak dirawat dengan baik, pihak asing telah mempermainkan kita.

Jika pada tahun 1945, penduduk Indonesia barulah sekitar 70 juta, tahun 2012 ini sudah melebihi 240 juta, keempat terbesar sesudah Cina, India, dan Amerika Serikat. Ledakan demografis ini, jika tidak pandai-pandai mengelolanya, bisa berakibat fatal bagi hari depan kita semua. Dalam situasi seperti sekarang saja, jika parameter dua dolar pendapatan per kepala digunakan, maka penduduk miskin Indonesia tidak kurang 40%, sebuah angka dahsyat yang mengerikan. Keadilan sosial yang menjadi cita-cita luhur kemerdekaan belum dirasakan oleh saudara sebangsa kita yang miskin itu, apapun penyebabnya.

Tetapi dengan sisi-sisi hitam itu, sebagai anak kampung saya tidak akan pernah berhenti bersyukur kepada Allah atas anugerah kemerdekaan yang telah kita miliki sampai hari ini. Tanpa kemerdekaan bangsa, saya boleh jadi akan tetap terbenam dan terkurung di nagari udik Sumpur Kudus yang sangat saya cintai. Berkat kemerdekaan di samping listrik, jalan pun sudah diaspal, sekalipun tidak lebar. Viva kemerdekaan Indonesia!

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Ahmad Syafii Maarif, Hal: 2-3.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Ditempa Ombak”

Leave a Reply