Warisan Terakhir Tumbang Satu Per Satu

Nov 13, 2013 No Comments by

Berbicara tentang masa depan kayu ulin di Kalimantan adalah menyoal tentang tipisnya harapan. Penjarahan pohon ulin di hutan-hutan yang tak tertangani. Masa depan kayu berjuluk kayu besi yang terkenal di dunia itu. Era rumah panggung pun tampaknya menuju usai.

Keunggulan ulin adalah kekuatan dan daya tahannya. Rumah-rumah adat Dayak atau betang di Kalimantan Tengah, yang seluruhnya memakai ulin, merupakan bukti kokohnya pohon tersebut. Betang di Desa Tumbang Apat, Kecamatan Sungai Babuat, Kabupaten Murung Raya, sudah berdiri sejak 1828.

Sementara itu, betang di Desa Tumbang Malahui, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, dibangun tahun 1869. Betang di Desa Tumbang Gagu, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur, dibangun tahun 1870. Tak heran kayu ini sering disebut kayu besi.

Di pedalaman Kalimantan Timur, juga permukiman penduduk di tepi sungai dan laut, rumah-rumah mereka mengandalkan ulin. Kampung Baru, permukiman padat penduduk di Balikpapan, misalnya, berdiri di atas rawa dan tepian laut. Fondasi rumah mereka, yang sebagian bertembok, adalah ulin.

Ulin dirawat hanya dengan menggosokkan sedikit minyak kelapa atau pelumas agar mengilap. Selain rumah nenek moyang masyarakat Dayak, pohon yang banyak tumbuh di Kalimantan dan sebagian Sumatera itu juga digunakan antara lain untuk sumpit, bagian kapal, dan jembatan.

Satu-satunya musuh bagi ulin hanya api. Si jago merah itu pula yang meluluhlantakkan puluhan rumah di Kampung Baru, Balikpapan Barat, pekan lalu. Sekian puluh tahun rumah-rumah di sana terendam air, terhantam gelombang laut, tapi tetap kokoh. Baru rontok ketika terbakar.

Kalimantan punya banyak hutan sebagai habitat ulin. Namun, ketika ulin terus diambil, satu demi satu ditebang, Kalimantan kini memasuki era krisis ulin. Demi ulin, para penjarah pun berkeliaran semakin nekat, bahkan merambah ke hutan. Kucing-kucingan dengan petugas.

Contoh paling gampang dilihat adalah yang terjadi di Taman Nasional Kutai (TNK) di Kaltim. Hutan seluas 198.629 hektar itu terus diincar penjarah. Sepanjang tahun 2013 saja, menurut Hernowo Supriyanto, Kepala Seksi Pengelolaan TNK Wilayah 1 Sangatta, patroli petugas TNK menemukan sekitar 70 meter kubik kayu berbentuk balok dan papan. Sekitar 90 persen kayu-kayu tersebut adalah ulin.

Sepanjang 2011-2012, misalnya, ditemukan sekitar 200 meter kubik kayu jarahan di TNK. Sebanyak 43 usaha mebel ilegal yang tersebar di sepanjang ruas jalan Sangatta-Bontang juga diamankan. Namun, di toko-toko kayu, seperti di Samarinda, Bontang, dan Sangatta, masih juga dijual ulin. Dengan kata lain, ulin masih diambil dari hutan.

Dengan beragam modus ulin itu diambil. Umumnya, penjarah memakai motor untuk masuk jauh ke hutan dan beberapa hari menebang. Dengan mudah mereka bisa tahu kapan petugas patroli datang. Karena itu, adalah umum jika petugas patroli hanya menemukan tumpukan kayu tanpa pelaku.

Kayu-kayu itu tergeletak begitu saja di dalam hutan. Bahkan, pada pertengahan September lalu balok-balok ulin ditemukan sudah dalam posisi terikat dan diceburkan ke Sungai Benu Muda, Rantau Pulung, Kutai Timur. Artinya, ulin-ulin itu siap ”meluncur” keluar. Ulin diincar karena harganya sangat tinggi. Per meter kubik harganya bisa mencapai Rp 7 juta.

Nyaris dalam setiap patroli, petugas TNK menemukan ulin tergeletak, ditinggal begitu saja oleh penjarah. Mengapa begitu gampang TNK dimasuki? Ini pun tak lepas dari kondisi TNK yang sudah dihuni oleh sedikitnya 27.000 orang. Warga mengklaim, mereka mulai menetap 40-50 tahun lalu.

Penduduk yang tidak memiliki sertifikat tanah ini datang lalu membangun rumah, bangunan, dan membuat kebun yang total luasnya sekitar 17.000 hektar di tujuh desa. Inilah embrio perambahan ulin di TNK. Petugas patroli selalu tak bisa menangkap perambah karena begitu hendak memasuki TNK (melewati kampung), keberadaan petugas sudah terendus.

Di Desa Sukakarya, Kecamatan Jenamas, Kabupaten Barito Selatan, Kalteng, misalnya, bagian-bagian jembatan yang terbuat dari ulin pun kerap dicuri. ”Ada jembatan yang pernah diperbaiki hingga enam kali karena seringnya kayu dicuri. Banyak warga jatuh dari jembatan rusak itu,” ungkap Suriansah (48), warga Desa Sukakarya.

Pada pertengahan Oktober 2011, seorang mantri terjatuh ke kanal hingga lengannya patah. Padahal, jembatan sedianya direncanakan berfungsi untuk setidaknya puluhan tahun, bahkan hingga ratusan tahun. Suriansah mengatakan, banyak jembatan di desanya yang rawan hancur. Di Sukakarya, terdapat 20 jembatan dan sempat hanya dua yang bisa digunakan pada tahun 2011.

Infrastruktur itu kemudian diperbaiki, tetapi menggunakan jenis-jenis kayu lain. Setidaknya itu mengurangi potensi dicuri lagi. ”Ulin pipih dengan panjang 2 meter dan lebar 30 cm saja harganya bisa mencapai Rp 100.000,” ujar Suriansah, menjelaskan mengapa ulin dicari.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Arie Rompas menjelaskan, di Kalteng, dulu ulin banyak ditemukan di Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan. Perluasan perkebunan kelapa sawit yang sangat agresif membuat ulin kian sulit terlihat. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalteng tahun 2012, total luas perkebunan sawit di Kalteng sekitar 776.000 hektar yang dikelola 72 perusahaan pemilik hak guna usaha.

”Invasi perusahaan perkebunan yang tidak memperhitungkan lingkungan membabat habis semua tanaman dan hewan,” ujarnya. Sawit marak ditanam di Danau Sembuluh sejak sekitar 10 tahun lalu. Sejak itu, keanekaragaman flora berubah menjadi monokultur.

Faktor itu belum termasuk kebakaran lahan yang kerap terjadi di Kalteng saat kemarau. Kini, tak ada daerah di Kalteng yang memiliki ulin dalam jumlah besar. Ulin tersebar secara acak. Jika ditemukan pun biasanya hanya satu atau dua pohon yang terlihat. Penyebab lain ulin semakin sulit ditemukan dan tidak ada yang membudidayakannya karena pertumbuhannya amat lambat.

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, Kalteng, Cakra Birawa, mengatakan, di halaman Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya terdapat pohon ulin. Sudah lebih dari 15 tahun pohon ulin itu hampir tak bertambah tinggi atau hanya sekitar 1,5 meter. Pertumbuhan ulin sangat ditentukan curah hujan dan tanah sebagai media tumbuhnya. Namun, pertumbuhan jenis pohon lain pada umumnya lebih cepat.

Untuk mencapai diameter 30 cm, ulin membutuhkan waktu 60-100 tahun. Untuk mencapai diameter 80 cm, ulin butuh 160-300 tahun. Sekarang penjarah mencari pohon yang pokoknya ulin. Bertemu ulin yang berdiamater 30 cm pun mereka tebas.

Bernaulus Saragih, Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman Samarinda, mengutarakan, ulin tak bakal dilirik untuk dibudidayakan. Pohon jati pun juga tidak ada yang tertarik, padahal pohon jati berdiameter 2 meter ”hanya” dibutuhkan waktu 70-an tahun.

”Siapa yang tertarik menanam ulin? Tidak ada yang mau. Jadi, ketika tidak ada budidaya ulin, dan ulin diambil dari alam, kita tinggal menunggu kapan ulin habis. Prediksi saya, 15 tahun lagi ulin habis. Tak ada lagi ulin, maka gantinya nanti, ya beton,” kata Bernaulus.

Ironis, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan nasib ulin saat ini dan di masa mendatang. Satu demi satu pohon ulin di hutan bertumbangan oleh ulah manusia. Mungkin, ketika tulisan ini dibaca, satu (lagi) pohon ulin berumur ratusan tahun di dalam hutan tengah digergaji mesin….

(Lukas Adi Prasetya/Dwi Bayu Radius)

Sumber: KOMPAS, Rabu, 9 Oktober 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Warisan Terakhir Tumbang Satu Per Satu”

Leave a Reply