Tuntutan Transparansi
Tuntutan Transparansi Tanpa bermaksud memungkiri elemen kekuatan demokrasi lainnya, khususnya mahasiswa, sebenarnya dapat dikatakan gerakan LSM Indonesia turut berperan aktif dalam mengarahkan kekuatan reformasi yang berhasil menjatuhkan rezim Soeharto.
Namun, setelah rezim Soeharto jatuh, dengan munculnya kebebasan beroganisasi dan mengemukakan pendapat, terdapat gejala disorientasi di kalangan LSM pada tataran politik nasional dan daerah. Berbeda dengan LSM di masa pemerintahan Orde Baru, tidak banyak LSM yang dapat mempertahankan front-line position dalam menggiring beberapa isu mikro untuk menjadi concern politik secara nasional, seperti yang dilakukan oleh UPC, ICW dan Kontras.
Disorientasi fungsi dan peran LSM di masa era Reformasi ini antara lain disebabkan banyak hal, antara lain: pertama, perubahan kebijakan funding yang secara drastis berubah ke arah konsolidasi demokrasi dengan pengembangan otonomi daerah. Kedua, merebaknya peranan partai politik sebagai wujud formal dari demokratisasi yang kemudian dalam banyak hal mengambil gaya dan arah peranan LSM. Ketiga, berpindahnya para tokoh dan aktivis LSM ke dalam institusi partai politik yang sering kali mengakibatkan demoralisasi, perpecahan dan terhambatnya proses kaderisasi di kelembagaan LSM sendiri. Di samping ketiga faktor ini, kemauan dan kemampuan adaptasi lembaga pemerintah serta komisi-komisi independen terhadap prinsip-prinsip yang selama ini diperjuangkan oleh LSM secara tidak langsung juga telah mengurangi domain peran LSM.
Di era Reformasi gejala euforia demokrasi tak terelakkan. Label LSM sering kali dipakai untuk, atas nama rakyat, mengisi euforia tersebut, yang pada kenyataannya lebih banyak bermakna sebagai mobilisasi politik dari pada partisipasi murni. Artinya, dalam berbagai konflik, kompetisi serta manuver politik gerakan LSM dipergunakan menjadi opini yang tidak jarang berujung pada praktik premanisme atau pemerasan politik. Hal ini sangat membuat citra LSM menjadi buruk di mata masyarakat. LSM dipandang tidak lebih dari sekedar “trouble maker” atau juga “broker politik” yang di-back up oleh aktor-aktor politik tertentu untuk melayani kepentingan-kepentingan sesaat.
Sementara itu juga, sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan banyak pengangguran di perkotaan, banyak orang/ tokoh yang mendirikan/ membentuk LSM sebagai katup penyelamat bagi dirinya sendiri di masa krisis. Artinya, LSM papan nama ini dipakai secara instrumental untuk melayani kepentingan individual pendirinya tanpa dibekali pemahaman, integritas pribadi dan profesionalisme yang memadai. Hasil akhimya adalah bahwa terjadi berbagai penyimpangan, baik dalam penyusunan program maupun dalam penggunaan dana. Oleh karenanya, tuntutan untuk meningkatkan transparansi dan kontrol terhadap LSM semakin relevan, bukan saja bagi LSM sendiri tetapi terlebih sebagai bentuk akuntabilitas publik dari LSM.
Bila kita menyinggung masalah transparansi dan kontrol publik terhadap LSM, sebenarnya masalah ini bukanlah merupakan persoalan yang sangat kompleks bagi LSM. Tuntutan ini lebih disebabkan oleh jatuhnya citra gerakan LSM yang diakibatkan oleh ulah segelintir tokoh dan lembaga LSM. Proses pembunuhan karakter terhadap LSM telah lama muncul sejak Orde Baru hingga sekarang. Namun demikian, saya sangat setuju bila pelembagaan kontrol publik dan transparansi LSM didorong untuk menjadi suatu tradisi yang mengakar pada LSM, agar masyarakat dan jaringan kerja LSM memiliki tingkat kepercayaan terhadap LSM khususnya di daerah.
Bila kita ingin melembagakan kontrol publik dan transparansi terhadap LSM, maka ada baiknya juga kita melihat beberapa kecenderungan penghambat terhadap upaya ini khususnya yang selama ini justru berasal dari kalangan LSM itu sendiri. Artinya, kita perlu mengenali beberapa ciri kelembagaan yang melekat pada LSM yang turut mengakibatkan rendahnya transparansi:
- One man show organization. Pada umumnya LSM sangat tergantung atau terpusat pada satu tokoh pimpinannya yang sering kali menjadi inisiator/pendiri dari LSM terse-but. Bahkan, mati hidup atau kesinambungan LSM tersebut sangat banyak tergantung pada tokoh tersebut. Dalam banyak hal, keadaan seperti ini kurang mendukung transparansi LSM, baik internal maupun eksternal. Karena dominasi individu dari sang tokoh, proses pengambilan keputusan pun sangat terkonsentrasi. Dalam keadaan demikian segala akses ke sumber daya yang dimiliki oleh LSM tersebut menjadi privelege dari tokoh pemimpin LSM yang bersangkutan
- Lembaga pengurus. LSM bukanlah organisasi massa yang memiliki anggota yang bersifat individual, meskipun memang, banyak LSM juga memiliki target group (kelompok sasaran) di tingkat masyarakat. Dalam penyusunan program, LSM yang kebanyakan berstatus hukum sebagai yayasan itu lebih berorientasi pada kehendak atau ide pengurus daripada kepentingan target group yang hendak dilayaninya. Target -group atau publik tidak memiliki akses kelembagaan untuk mengendalikan arah program, mobilisasi sumber daya serta sirkulasi kepemimpinan LSM. Eksklusivitas demikian dalam banyak hal tidak membuka kemungkinan yang cukup memadai untuk mengembangkan transparansi LSM terhadap publik.
- Ketergantungan ke lembaga dana asing. Hampir seluruh LSM di Indonesia menggantungkan sumber pendanaannya ke lembaga donor sebagai konsekuensi dari hubungan Utara-Selatan yang disebut di depan. Ketergantungan finansial ini juga mengakibatkan persepsi di kalangan LSM, bahwa dana yang mereka gunakan tersebut bukanlah dana dari pemerintah atau masyarakat secara lansung sehingga kewajiban moral untuk mempertanggungjawabkan penggunaannya kepada publik bukanlah sebagai sebuah keharusan. Meskipun sebenarnya persepsi ini masih dapat diperde-batkan mengingat bantuan grant asing itu juga berhubungan dengan kerja sama perdagangan dan ekonomi secara bilateral, tetapi kalangan LSM beranggapan bahwa transparansi kepada publik hanyalah domain dari pemerintah.
- Kekaburan akan mandat publik. Bagi kalangan LSM, publik adalah sesuatu yang cukup abstrak sebagai tempat di mana sumber kontrol mereka harus ditempatkan atau berada. Di samping itu, dalam banyak kasus, terdapat juga kecenderungan pemanipulasian dari mandat publik (public mandate) yang dilakukan oleh LSM guna melegitimasi kegiatan atau eksistensi mereka. Kecenderungan ini berakibat pada persepsi yang muncul bahwa sejauh gerakan LSM tersebut tidak merugikan secara langsung kepentingan publik, maka kontrol publik serta transparansi kepada publik bukanlah merupakan faktor utama yang harus diperhatikan.
Berlatar belakang pada faktor-faktor di atas, upaya untuk melembagakan transparansi dan kontrol publik menjadi sebuah prioritas utama yang harus diagendakan oleh gerakan LSM saat ini. Tujuannya, saya kira sangat mendasar. Pertama dan terutama adalah demi menegakkan nilai-nilai yang tersembunyi di balik kata transparansi dan kontrol tersebut, serta dampak yang tidak visible atau spil over positive yang bisa dilahirkan bila kita menegakkan nilai-nilai tersebut. Seperti kita ketahui, dengan penerapan transparansi dan kontrol publik yang harus terus menerus maka dengan sendirinya akan mendekatkan diri pada cita-cita tata pemerintahan yang baik dan civil society yang kuat di masyarakat.
Kalangan LSM yang selama ini cukup gencar menggembar-gemborkan keberadaanya untuk tujuan ini, seyogyanya berada secara konsisten di garis depan untuk menerapkan prasyarat-prasyarat pokok pencapaian dua tujuan tersebut. Kedua, di saat kampanye negatif sedang melanda LSM serta adanya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh sejumlah kalangan LSM, tidak ada cara lain kecuali LSM sendiri membenahi dirinya dengan cara memberikan contoh untuk transparansi dan terkontrol. Bila ini dilakukan. maka hal ini akan berdampak pada pemulihan dan peningkatan kepercayaan masyarakat luas pada LSM dan segala bentuk kampanye negatif yang bersifat tendensius terhadap LSM dengan sendirinya akan dapat direduksi. Ketiga, lewat transparansi dan kontrol publik yang dilakukan terhadap LSM, akan berdampak positif bagi kinerja LSM tersebut di kemudian hari karena dengan sendirinya LSM akan terbiasa untuk bekerja secara profesional di bidangnya. Artinya, prinsip ini menjadi semacam instrumen quality control terhadap kualitas program, kelembagaan serta kemampuan aktivis dari kalangan LSM yang selama ini dipandang kurang memegang prinsip-prinsip profesionalisme.
Bila kita sepakat akan ketiga tujuan pengembangan transparansi dan kontrol publik atas LSM, maka persoalan selanjutnya yang tidak kalah relevan adalah cara atau strategi untuk penerapannya. Menurut saya, ada beberapa strategi yang mesti dikembangkan. Pertama, hubungan antara lembaga donor dengan LSM yang mesti bersifat terbuka dan tidak hanya sekedar didasarkan pada hubungan personal atau selera politik belaka, terlebih pada sistem kompetisi yang sehat dan edukatif. Artinya, lembaga donor harus pertama-tama transparan, baik dalam soal program, latar belakang kelembagaan, prioritas wilayah dan kegiatan, sumber pendanaan induk serta distribusi finansialnya. Tentang hal ini, yang terjadi adalah sebuah ironi di mana lembaga donor sangat mengetahui persis peta gerakan LSM berikut aktor pemain di dalamnya, sementara LSM Indonesia hanya mengenali kulit permukaan dari peta lembaga donor yang beroperasi di Indonesia. Kedua, lembaga donor harus menerapkan prinsip-prinsip bersama dengan LSM Indonesia. Audit manajemen dan keuangan misalnya, mesti diterapkan di atas kesepakatan dan standar-standar tertentu. Ketiga, di kalangan LSM harus dikembangkan manajemen yang berdasar pada sistem team work serta perencanan partisipatif yang melibatkan stakeholder dari kegiatan LSM tersebut. Penyusunan program tahunan dan monitoring pencapaian tujuan harus dilaksanakan dengan berbagai elemen masyarakat yang menjadi partner dari LSM tersebut.
Sementara itu, secara intemal LSM juga harus menerapkan perangkat-perangkat teknis yang mendukung transparansi dan kontrol, seperti audit keuangan, sistem rekrutmen yang berbasis pada merit sytem, sistem informasi yang dapat diakses oleh publik serta keterbukaan dalam jaringan-jaringan kerja yang dipilih. Penerapan strategi tersebut harus menjadi kepedulian dari setiap LSM, tanpa harus memaksakannya secara serempak ke seluruh LSM dalam waktu yang bersamaan. Untuk itu perlu juga dipikirkan bersama dengan pihak funding, membangun mekanisme reward and incentives bagi LSM yang konsisten melaksanakan transparansi dan kontrol publik, khususnya dalam kaitannya dengan kesinambungan kelembagaan.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Penulis: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 89-95.