Tumbuhnya Organisasi Masyarakat, ke Arah Mana?
Berkembangnya organisasi masyarakat sering dianggap sebagai petunjuk tumbuhnya kehidupan demokratis. Studi di pelbagai negara yang telah mengalami proses demokratisasi, seperti Polandia, Brasil, dan Cile menunjukkan bahwa terdapat perkembangan organisasi masyarakat yang pesat setelah rezim otoriter jatuh.
Kebanyakan studi tersebut menunjukkan nilai positif dari kemunculan organisasi tersebut. Organisasi masyarakat yang tumbuh meliputi berbagai bentuk informal, formal, berskala ketetanggaan hingga nasional memenuhi kebutuhan yang bersifat praktis hingga yang berusaha mempengaruhi kebijakan negara.
Di Indonesia, pada era Orde Baru, organisasi sosial yang muncul bentuknya amat terbatas. Hal ini terkait dengan jiwa pemerintahan di masa tersebut, yaitu pengendalian gerak masyarakat oleh negara. Setelah Orde Baru jatuh, organisasi sosial muncul dengan pesat. Bentuk baru yang tidak dikenal sebelumnya muncul seperti aliansi masyarakat adat, forum warga, serikat buruh dengan berbagai modelnya, dan banyak lagi. Seperti juga di negara disebut di atas, organisasi sosial di Indonesia didirikan untuk bermacam tujuan. Terhadap organisasi itu, salah satu pengamatan yang dapat dilakukan adalah dengan perspektif jatuh tidaknya (distance) dengan lembaga negara. Dengan perspektif ini, dapat dilihat kecenderungan komunikasi politik masyarakat dengan lembaga negara pengambil keputusan.
Perspektif hubungan dengan lembaga negara mendominasi aliansi tentang munculnya organisasi sosial setelah kejatuhan pemerintahan non-demokrasi. Pertumbuhan yang pesat sering dipandang sebagai hal positif karena dianggap menunjukkan orientasi independensi terhadap negara. Juga ditemukan bias dari penilaian negatif dari kondisi sebelumnya, yaitu keadaan terkukung, terhadap penilaian positif atas kemunculan organisasi sosial sebagai kecenderungan ke arah masyarakat demokratis. Bahkan, bias ini sering mengartikan bahwa kemunculan organisasi sosial bukan hanya menunjukkan adanya demokratisasi yang jelas, melainkan juga menandakan kemunculan masyarakat yang beradab antara lain menjunjung pluralism, beretika politik, patuh hukum dan berkemampuan antara lain berorientasi modern dan berpikir rasional.
Benarkah kemunculan banyaknya organisasi sosial di Indonesia menunjukkan kemajuan dalam kerangka seperti dikemukakan di atas? Jika tidak selalu berarti demikian, bagaimana menilai arahnya?
Elemen penilaian pertama adalah kembali pada persoalan yang dominan menyangkut hubungan masyarakat dan negara, arti independen dari lembaga negara. Apakah independensi menunjukkan keadaan positif. Kita harus membedakan latar belakang dari independensi ini, apakah karena ketidakmampuan negara atau karena kekuatan yang ada pada organisasi sosial yang ada. Latar belakang yang pertama adalah situasi di mana lembaga negara lemah-ditunjukkan dari, antara lain, kosongnya atau ketidakkonsistenan kebijakan yang dapat mengarahkan gerak masyarakat, ketidakkompakkan antara aktor dan lembaga negara, serta korupsi yang kronis. Negara tidak mampu menjalankan fungsi pengarahan, koordinasi, dan fasilitasi. Dalam kondisi ini, masyarakat harus mencari jalan keluar masing-masing. Kondisi ini lebih sering menimbulkan kekacauan daripada sebaliknya. Ini berlangsung setidaknya untuk periode tertentu, tergantung pada banyak faktor yang berpengaruh.
Latar belakang yang kedua menunjukkan adanya pengalaman dan kemampuan untuk mengelola kehidupan dalam masyarakat. Faktor seperti homogenitas, kepemimpinan, dan kuatnya institusi spiritualitas merupakan faktor yang sering berpengaruh, seperti yang terjadi di Brasil, Polandia, dan Filipina. Faktor di atas dapat mengarahkan kelompok yang ada dalam masyarakat untuk suatu kegiatan yang produktif dan mencegah berkembangnya konflik kepentingan yang melukai golongan tertentu atau secara umum. Tentu saja ini akan terjadi jika pemimpin sendiri tidak menciptakan konflik untuk kepentingannya.
Namun, apakah independensi dari negara selalu baik? Apakah, misalnya, ketergantungan pada sektor Negara akan selalu berarti buruk? Meskipun ketergantungan secara inheren berarti keterbatasan, namun jawabannya tidak sederhana dan tergantung pada banyak hal. Salah satunya adalah aturan main yang ditegakkan antara negara dan masyarakat, apakah mengandung prinsip kebebasan dan keadilan? Sebagai contoh, di Belanda undang-undang mengharuskan pemerintah memberikan dana untuk program-programnya tanpa bisa memiliki organisasi ini. Kondisi lain yang perlu diperhitungkan pandangan yang lebih baru adalah prinsip saling menunjang antara lembaga negara dan masyarakat. Antara negara dan masyarakat tidak mesti dipertentangkan. Jika yang satu membutuhkan yang lain, ini berarti bahwa satu sama lain tergantung. Tentu situasi ini tergantung pada orientasi dan kapasitas kedua belah pihak.
Di Indonesia, latar belakang independensi pada banyak organisasi sosial sering karena lemahnya negara. Masyarakat hampir tidak melihat kebijakan pemerintah maupun DPR yang secara jelas dan pasti (on the right track) mengatasi persoalan mendasar negara ini, misalnya kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan kegiatan ekonomi ilegal. Birokrasi seperti gurita yang mabuk sehingga tidak mampu memberi pelayanan yang baik pada masyarakat. Dalam situasi ini, masyarakat menginterpretasikan dan menerjemahkan tindakannya sesuatu dengan wawasan dan kepentingan masing-masing. Seperti kita lihat, beberapa di antaranya menghasilkan tindakan yang merugikan kelompok lain. Mereka pun mudah menjadi alat dari kepentingan tertentu.
Sebagian dari organisasi sosial muncul karena kekuatan yang dimilikinya. Mereka muncul karena adanya kekuatan spiritual dan moral anggotanya atau komunitasnya, karena kecakapannya, atau karena sumber daya yang dimilikinya-material, informasi, atau jaringan. Sebagian dari mereka menggunakannya hanya untuk memperbaiki kondisi kelompok sendiri yang terbatas. Namun, ada pula yang ingin menggunakannya untuk kepentingan masyarakat lebih luas. Organisasi ini organisasi berbasis agama. LSM, organisasi profesi, dan sebagiannya mengangkat isu yang berkaitan dengan kemaslahatan publik, korupsi, kekerasan, serta kekosongan penegakan hukum dan sebagainya.
Namun, bahkan keberadaan organisasi di atas belum menunjukkan arah yang pasti akan terjadinya perbaikan kehidupan bernegara. Sebagai indikasinya, setelah lima tahun “reformasi” kita belum dapat menunjuk secara yakin bagian mana dari kehidupan bernegara ini yang telah menunjukkan perbaikan. Sebagai contoh, korupsi terasa semakin menjadi-jadi meskipun organisasi sosial yang terlibat dalam isu ini tidak terhitung.
Kita sebagai bangsa punya pengalaman terlalu sedikit untuk menjelaskan keadaan ini. Dengan demikian, kita perlu belajar dari negara lain di mana organisasi sosial yang tumbuh berhasil mendorong perbaikan penyelenggaraan negara. Negara tersebut menjalani pengalaman yang berbeda, namun ada tiga faktor penting dapat dikenali dari latar belakang keberhasilan tersebut. Faktor yang pertama adalah sumber intelektual masyarakatnya. Dua negara dapat dijadikan contoh yang baik, yaitu Polandia dan Brasil. Yang dimaksud dengan sumber intelektual masyarakat bukanlah sekadar keberadaan universitas, melainkan universitas yang berdenyut merespons apa yang terjadi dalam masyarakat. Diadakannya riset pastilah sesuatu yang sangat mendasar, namun yang lebih pokok lagi adalah pertukaran gagasan tentang apa yang diperoleh dari riset.
Kondisi kedua adalah bahwa akademisi melakukan kontak yang luas dengan masyarakat. Di luar universitas, hidup kelompok intelektual di pelbagai bidang seperti seni dan lembaga berbasis agama. Dengan adanya sumber intelektual ini, organisasi masyarakat tertentu untuk menanggapi apa yang terjadi dalam masyarakat. Dengan cara ini, organisasi masyarakat tidak tergantung pada skema yang dikembangkan dari Barat atau yang dibawa lembaga donor. Sumber intelektual ini juga membantu terciptanya otoritas dalam organisasi sosial sendiri, yang memungkinkan adanya arah tertentu.
Kondisi penting lain adalah adanya pemimpin sosial yang mempunyai otoritas dan legitimasi. Di Brasil, Filipina, dan Polandia lembaga gereja menjadi salah satu sumber penting dari kekuatan spiritual dan moral organisasi sosial. Setidaknya di Brasil dan Polandia, gereja dapat memberi arah dan jawaban terhadap persoalan aktual masyarakat. Di Polandia, Lech Walesa menjadikan organisasi buruh solidaritas pemimpin dari gerakan sosial. Berbagai inisiatif masyarakat dengan latar belakang profesi, seni, etnis, budaya, dan sebagainya dapat muncul karena gerakan organisasi Solidaritas. Isu yang diperjuangkan organisasi ini menyangkut kehidupan demokratis yang lebih luas. Namun, yang penting dicatat adalah bahwa organisasi ini memiliki legitimasi sosial yang diperoleh organisasi yang demokratis. Organisasi ini berhasil membangun patokan baru tentang pengelolaan masyarakat.
Faktor penting ketiga, yang sesungguhnya dibentuk oleh ada tidaknya pemikiran dan kepemimpinan dalam masyarakat adalah tingkat fragmentasi dalam masyarakat. Organisasi yang bertebaran dengan arah masing-masing tidak mempunyai kekuatan pembaruan. Malahan, satu sama lain bisa saling menjegal. Menumbangkan pemerintah relatif mudah dengan bersatunya organisasi sosial, namun membangun sistem baru membutuhkan orientasi kerja sama jangka panjang.
Di Indonesia, ketiga faktor itu sangat lemah. Organisasi sosial berbasis agama sesungguhnya dapat menjadi harapan karena pengaruhnya yang luas. Namun sungguh sayang, bahkan dari organisasi itu pun belum terdengar adanya rumusan konsep pembaharuan. Ini bisa menunjukkan bahwa tidak satu pun organisasi atau lembaga yang mampu mendorong pembaruan kecuali kerja sama yang saling melengkapi.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Tumbuhnya Organisasi Masyarakat, ke Arah Mana?), Penerbit: Kompas, Halaman: 143-148.