Tipologi LSM
Hampir di setiap daerah termasuk Riau, telah muncul kesadaran baru dalam upaya memperbaiki eksistensi dan citra LSM di tengah masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh sejak bulan Juli 1998, keberadaan LSM di Riau berkisar 6-10 LSM, menurut perkiraan sampai tahun 2002, telah mencapai angka sekitar 200-an. Suatu pertumbuhan yang sangat pesat dan perlu dihormati. Pertumbuhan LSM yang sangat bervariasi ini, sudah barang tentu melahirkan konsekuensi dari berbagai tipologi LSM dan perlu menjadi catatan kritis dari berbagai sesama aktivis LSM.
Dalam pengamatan penulis, ada beberapa tipologi (varian) terhadap dunia LSM di Riau, antara lain:
- LSM ‘kontraktor’. Jenis LSM macam ini mempraktikkan perilaku standar ganda. Sering kali meneriakkan atas nama kepentingan rakyat, sebelum proyek-proyek pembangunan di provinsi, kabupaten/kota diperolehnya. Bahkan, lewat LSM yang dimilikinya, menjadi senjata ‘pamungkas’ untuk menggertak, mengancam dan membangun bargaining dengan pemerintah daerah agar memberikan proyek kepada kelompoknya.
- LSM ‘beku operasi’. Karakteristik LSM semacam ini didirikan dalam rangka meraup keuntungan, dan kemunculannya bagai ‘siluman’. Kadang kala dirasakan keberadaannya, kadang kala suara dan aktivitasnya hilang tanpa jejak. Dari aspek pengelolaan, baik direktur, sekretaris dan bendahara, biasanya dirangkap oleh kolega terdekat (keluarga). Dalam hal ikhwal soal akuntabilitas dan transparansi, pengelolaan dan pemanfaatan pendanaan bagi program pemberdayaan masyarakat LSM jenis ini, sangat jauh dari harapan publik.
- LSM ‘pencari laba’. Karakteristik LSM demikian, didirikan betul-betul berorientasi untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sekalipun isu, program dan lingkup kegiatannya berorientasi untuk memperjuangkan masyarakat, akan tetapi semua itu ‘dikemas’ agar mendapat daya simpatik publik dan pemberi dana. Biasanya, mereka bergerak cepat menyodorkan proposal-proposal ke perusahaan besar, termasuk instansi pemerintah yang dianggap peduli pada kegiatan sosial-kemasyarakatan. Kehadiran LSM semacam ini, bagi pihak perusahaan selalu dinilai sebagai ancaman terhadap eksistensi perusahaan bersangkutan, terutama apabila perusahaan tidak merespon secara cerdas terhadap sepak terjang LSM jenis ini.
- LSM ‘wakil pemerintah’. LSM jenis keempat ini, kehadirannya kian menjamur terutama sejak era otonomi daerah. Biasanya pengelolanya berasal unsur PNS (birokrat). Atau bisa juga para birokrat merekrut orang-orang di luar birokrasi untuk memimpin LSM bersangkutan. Kehadiran LSM ini, lazimnya selalu berhadapan dengan LSM yang memposisikan diri sebagai mitra kritis dan bersikap oposisi dengan pemerintahan daerah. LSM kelompok ini selalu ‘mengintip’ proyek-proyek pembangunan yang tertuang dalam APBD.
- LSM ‘pejuang grassroots’. LSM jenis terakhir ini, kehadirannya berangkat dari komitmen moral dan kepedulian sosial yang tinggi untuk membela masyarakat grassroots yang berada dalam posisi lemah dan marjinal. Keberadaan LSM jenis ini, mulai dari alamat kantor, visi, misi, tujuan, platform dan program serta bidang garapan (profil lembaga) tersusun secara jelas dan sistematis. Keberadaannya di hadapan pemerintah daerah sebagai mitra kritis. Bahkan, kelompok LSM terakhir ini, memiliki tekad kuat untuk menjaga eksistensi dan citra LSM di hadapan publik dengan memberlakukan Kode Etik LSM, yakni dengan cara menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan lain sebagainya.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 79-81.