Tingginya Keluar Masuk Karyawan Dianggap Kesalahan SDM
Hampir setiap 4 bulan sekali, saya memberikan workshop yang cukup laris bernama “Building Highly Commintted People”. Kebanyakan peserta terdiri atas pemilik bisnis, professional SDM, beberapa manajer yang pusing dengan anak buahnya dan beberapa konsultan. Rata-rata peserta workshop memeberikan komentar bahwa mereka baru sadar ada begitu banyak cara untuk membuat karyawan bukan hanya makin setia tapi juga makin sungguh-sungguh dalam bekerja.
Tentu saja komentar itu sangat menyenangkan saya sebagai salah satu instrukturnya. Tapi, yang lebih menarik lagi adalah bahwa sebagian besar dari peserta baru sadar bahwa mereka memainkan peranan sangat besar dalam membuat anak buah mereka merasa tidak betah bekerja di perusahaan.
Namun, hampir di semua perusahaan selalu ada tokoh yang menyalahkan SDM untuk tingginya tingkat keluar masuk karyawan. Apakah yang disalahkan oleh banyak tokoh di perusahaan ketika perusahaan mengalami “kekeringan” karyawan? Hal yang paling pertama adalah gaji.
“Gaji kita kekecilan,” demikian jawaban banyak tokoh bila mengapa bisa terjadi turnover yang besar di perusahaan. Dengan panik, SDM di perusahaan itu akan bertanya, mana buktinya? Siapa yang ngomong begitu?
Jawab para tokoh dari departemen lain, “Silakan SDM yang membuktikan bukankah itu pekerjaan SDM? SDM bisa mencari survei gaji dari perusahaan-perusahaan konsultan atau mana saja.” Dalam hal ini sang penuduh meminta SDM sebagai tertuduh untuk membuktikan kebenaran tuduhannya.
Kalau survei membuktikan bahwa gaji perusahaan ternyata rendah, SDM bisa mengusulkan naiknya range gaji. Sebaliknya, bagaimana kalau ternyata hasil survei itu menunjukkan bahwa gaji perusahaan ternyata cukup baik? Biasanya tokoh tadi memiliki penjelasan lain: industri kita ‘kan beda, ilmu yang kita butuhkan jarang ada, jadi ya tidak bisa sepenuhnya ikut survei.
Faktanya, bahkan perusahaan survei yang mengumpulkan data mengenai gaji juga sangat berhati-hati dalam menjelaskan arti angka-angka yang ada dalam survei itu. Saya belum pernah melihat sebuah hasil survei yang tidak mengandung tambahan penjelasan seperti “angka ini tidak berlaku bagi semua industri” atau “angka ini belum termasuk bonus dan tunjangan yang diberikan oleh perusahaan pada tingkat karyawan yang berbeda” dan lain-lain.
Artinya, perusahaan pengumpul data itu sendiri sangat menyadari betapa kompleksnya jenis imbalan yang diberikan oleh perusahaan sehingga data yang dirangkum oleh perusahaan survei itu harus dimengerti dengan berbagai pertimbangan.
Setelah gaji, oknum kedua yang membuat karyawan tidak betah adalah suasana kerja yang tidak menyenagkan. Oknum ketiga adalah tidak jelasnya masa depan di perusahaan itu.
Kita tidak akan membahas perdebatan antara SDM dan Non-SDM tentang semua oknum ini satu per satu karena hal itu akan kita bahas di halaman berikutnya. Tapi, saya setuju bahwa sering kali SDM bisa memainkan peranan yang lebih aktif dalam meredam banjirnya keluar-masuk karyawan, dan banyak sekali cara untuk melakukan hal itu. Namun, statistik juga menyebutkan bahwa penyebab keluarnya karyawan bukanlah SDM, melainkan atasan langsung karyawan yang bersangkutan. Dalam bukunya First, Break All The Rules, Marcus Buckingham menyebutkan bahwa rata-rata karyawan meninggalkan atasan, bukan meninggalkan perusahaan.
Sayang kebanyakan atasan tidak membaca buku itu, dan walau mereka membaca buku itu, bisa saja mereka tidak setuju dengan statistik jutaan orang dari Gallup, perusahaan survei terbesar di dunia. Poinya di sini bukanlah untuk memulai debat kusir antara departemen SDM dan departemen lain, tetapi untuk mengarisbawahi bahwa keluar masuknya karyawan adalah tanggung jawab semua departemen.
Disarikan dari buku: Mengapa Departement SDM Dibenci?, Penulis: Steve Sudjatmiko, Hal: 106-109.