Tiga Pilar Sektor dan Aktor (2/12)
Seri 2/3 dari Bag. 1 Konfigurasi Arena Sosial, dari keseluruhan 12 seri artikel berjudul Menuntaskan Dilema “Moral dan/atau Modal?” dalam Praksis Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, ditulis oleh Hasan Bachtiar.
Keterangan lengkap tentang tulisan ini.
Diturunkan dari interplay ketiga arena seperti yang diuraikan pada tulisan sebelumnya, selanjutnya, banyak ahli studi ekonomi-politik membuat pemilahan tentang tiga jenis “sektor”—yang, sebenarnya, juga kerap disebut wilayah, ranah, medan, ataupun arena (lagi)—berikut tiga “entitas”, atau “aktor”, utama yang menjadi pengejawantahannya. Pemilahan lanjutan ini menghasilkan suatu konfigurasi tiga pilar (tripartite), sebagaimana tampak pada Ilustrasi 0.2 berikut.
Ilustrasi 0.2: Konstelasi Tiga Pilar Sektor dan Aktor
Yang pertama, arena politik, disebut sebagai “sektor publik/pemerintahan” (public, government sector), yang menemukan manifestasinya yang paling konkret pada “negara” (state). Suatu negara, pada dasarnya, diciptakan masyarakatnya untuk mengatur perikehidupan umum (res publica) melalui berbagai regulasi sambil menjalankan fungsi penyediaan (provision) pelbagai sarana dan prasarana umum demi mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama (bonum commune). Di sini, sebagian anggota masyarakat “bermain peran” dengan cara membangun interaksi sebagai “masyarakat politis” (political society). Jadi, asumsi awalnya, negara adalah institusi yang netral dan akomodatif, yang menjalankan kewenangan-kewenangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berbagai instrumen sistem dan kelembagaan dibuat masyarakat untuk mencapai negara, misalnya partai politik—disebut the state in waiting—dan pemilihan umum dalam kerangka demokrasi.
Namun, akibat pelbagai distorsi dan malfungsi yang terjadi, kemudian muncul banyak kritik dan gugatan yang sangat mendasar terhadap hakikat negara-bangsa modern (modern nation-state). Negara dianggap telah gagal dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya sebagai pengatur yang adil demi mewujudkan bonum commune. Umpamanya, dalam terminologi Althusserean, negara dikritik sebagai “suprastruktur” (superstructure) yang mengendalikan gerak dua kelompok aparatnya (state apparatuses), baik “aparat represif” (repressive state apparatuses, RSA) seperti pengadilan, polisi, dan militer, maupun “aparat ideologis” (ideological state apparatuses, ISA) seperti media massa, sekolah, agama, dst., dalam rangka mempertahankan konsensus dan demi melegitimasi serta mereproduksi “ideologi dominan” yang sedang berkuasa (the dominant, ruling ideology). Ini semua terjadi akibat nilai (value) utama yang diperebutkan dalam negara adalah kekuasaan (power) belaka—dengan demikian, manusia berlaku sebagai zoon politicon.
Pada arena kedua, ekonomi, yang umum disebut sebagai “sektor swasta/prolaba” (private, profitmaking sector), terdapat beraneka ragam aktor, seperti lembaga, pabrik, bank, pasar uang dan saham, toko, mal, hingga komunitas bisnis (business community), yang memainkan peran-perannya membentuk interaksi bernama entitas pasar (market). Di ranah inilah sebagian anggota masyarakat bermain peran sebagai “masyarakat ekonomis” (economic society) guna menjalankan mekanisme pertukaran-pertukaran ekonomis demi pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Namun, sama saja dengan negara, akibat berbagai malpraktik bisnis, sektor ini—karena berorientasi pada pemupukan kekayaan atau kapital belaka, dengan tameng asas “profesionalisme”—dituding telah mengeksploitasi sumber daya natural dan sosial hingga mengakibatkan berbagai kerusakan yang massif seolah-olah tanpa sedikit pun mau bertanggung jawab. Di sinilah paham filsafat manusia sebagai homo oeconomicus memperoleh pelampiasannya yang paling sempurna. Untuk mengoreksi penyelewengan yang dilakukan sektor bisnis ini, akhir-akhir ini semakin kuat dimunculkan gerakan “corporate social responsibility” . Setiap rupiah yang diraup bisnis harus dikompensasikan balik ke masyarakat, sekurang-kurangnya yang berdiam di sekitar lokasi usahanya, dalam bentuk, umpamanya, program-program pengembangan masyarakat, dana perbaikan lingkungan, dll.
Pada akhirnya, ketiga, di arena kultur, yang lazim disebut sebagai sektor ketiga, “sektor nirlaba/pelayanan kemanusiaan” (non-profit, humanitarian services sector), terdapat asosiasi-asosiasi mandiri yang diprakarsai warga masyarakat untuk mengelola perikehidupan komunal di luar politik dan ekonomi. Persis di sinilah lokasi “masyarakat sipil” (civil society). Bentuk nyata elemen-elemen penghuni sektor masyarakat sipil bisa diidentifikasi sebagai organisasi-organisasi keagamaan, serikat buruh, lembaga adat, perkumpulan pemuda, gerakan mahasiswa, asosiasi jurnalis, dll., serta yang paling kerap dibicarakan adalah organisasi non-pemerintah (ornop—nongovernmental organization, NGO).