The Sustainability Game! (Bagian 2/2)
Ada banyak pendekatan ketika bicara bagaimana upaya organisasi menjadi green company. Namun, muaranya adalah satu: menjadi green company, organisasi harus menjalankan seluruh responsibility-nya secara utuh. Dan pada ujungnya, muara dari green economy sebagai upaya menciptakan green economy adalah menciptakan keberlanjutan (sustainabilitas). Baik keberlanjutan alam, pembangunan secara keseluruhan, maupun bisnis organisasi itu sendiri. Ini rohnya. “Kalau dilihat secara mendasar, sebenarnya jiwanya terletak pada sustainability,” ujar Darwina.
Mengikuti alur pikir John Elkington, untuk menciptakan sustainability, organisasi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan triple bottom line yang sering dikenal sebagi segi tiga P: people, profit dan planet. Organisasi yang baik tidak cuma memburu laba, tetapi juga peduli lingkungan sosial dan alam. 3P bisa dikatakan menjadi model klasik dalam pembicaraan tentang responsibility dan sustainability. Model ini kelak dikembangkan banyak pihak. Salah satunya adalah Andrew Savitz untuk menjelaskan apa saja menjadi contoh 3P yang perlu diperhatikan tersebut – bisa dilihat pada Tabel berikut:
Pada kesempatan berbeda, Carol Sanford menawarkan kerangka berpikir lain yang disebutnya Model Pentad. Dalam kerangka berbentuk lima sudut seperti bintang ini, Sanford mengingatkan bahwa organisasi yang ingin sustain harus memperhatikan lima komponen stakeholder-nya, yang terhubung satu sama lain, yang dalam model ini diilustrasikan dengan garis panah. Pertama, customer, mereka yang menggunakan produk/jasanya. Kedua, co-creator, orang yang terlibat dalam proses penciptaan produk dan jasa. Lalu, anak panah bergerak ke elemen ketiga, earth, sumber energi dan bahan produksi. Keempat, community, masyarakat dan instutisi yang mengizinkan dan terpengaruh oleh aktifitas organisasi. Dan akhirnya bergerak ke elemen kelima, investor, mereka yang memasok kapital finansial untuk bergeraknya roda bisnis. Ilustrasinya bisa dilihat pada bagan Pentad Framework.
Bicara model untuk keberlanjutan bisnis, sungguh banyak pendekatan ditawarkan. Contoh lain adalah yang dipopulerkan Alan Atkisson yang menggambarkan kompas empat arah mata angin: North (nature, berkenaan dengan lingkungan), South (society, urusan kesejahteraan masyarakat), East (economy, aspek finansial) dan West (wellbeing, kesejahteraan individu). “Menurut saya, ini yang paling lengkap dibandingkan pihak lain,” ujar Maria. Alasannya: memberi keseimbangan atas keutamaan pada keempat aspek sustainability, yakni perbaikan dan kelestarian lingkungan, kesejahteraan/kebahagiaan individu, masyarakat, dan aspek peningkatan ekonomi.
Kendati setiap model memiliki akar pemikirannya masing-masing, pada akhirnya green company yang ideal adalah yang memberi dampak posistif pada lingkungan, ekonomi dan sosial, sekaligus meminimalisasi setiap potensi dampak negatifnya. Sisi minimalisasi ini mesti diingatkan karena adalah bohong belaka jika ada organisasi yang mengklaim tak memiliki potensi negatif. Jadi, “Apa pun aktivitas yang dilakukan harus untuk menyejahterakan rakyat dan melestarikan lingkungan. Di semua aspek operasional, production, marketing, sales, dan sebagainya itu, ada keseimbangan 3P,” ujar Yanti. Persoalannya tinggal: bagaimana cara melakukannya?
Yang mestinya disadari terlebih dulu oleh setiap organisasi adalah bahwa setiap entitas bisnis sesungguhnya memiliki isu sustainability bisnisnya masing-masing. Hotel, ambil contoh. Isu terbesarnya adalah konsumsi air yang sangat besar. Begitu juga rumah sakit. Apalagi, usaha property yang membangun sebuah kota. Keberlanjutan bisnis mereka akan bergantung pada sejauh mana ketersediaan air. Bahkan, keberlanjutan sebuah kota harus mempertimbangkan sisi transportasi. Contoh lain, usaha air minum dalam kemasan (AMDK), pastinya keberlanjutan usahanya adalah sumber-sumber mata air. Ini adalah sumber sustainability-nya yang utama. Tiada sumber daya ini, maka bisnis tak akan berlanjut.
Menggunakan Model Pentad, umpamanya, organisasi-organisasi di atas memang harus menyajikan produk yang memuaskan pelanggannya sehingga bisa memberi dividen kepada investornya, juga bonus buat co-creator-nya. Untuk itu, mereka harus mengambil air buat ketersediaan produk dan jasanya. Namun, mereka juga mesti memperhatikan stakeholders lainnya. Dalam kasus hotel, rumah sakit, properti dan AMDK, kebutuhan komunitas sekitar juga harus diperhitungkan. Dan, disinilah faktor rebutan resources (air) sering menjadi sumber sengketa. Green company yang ingin sustain mesti memperlihatkan seluruh aspek ini. Jadi, di satu sisi harus mengeksplorasi sumber bisnisnya, tetapi di sisi lain, harus melindungi dan meningkatkan stakeholders lainnya. Inilah the sustainability game!
Mengutip Andrew Savitz, kini adalah era interpenden. Atau, dalam bahasa para konsultan di Ellen MacArthur Foundation: era circular economy. Maknanya: keberadaan satu pihak tergantung pada pihak lain, yang boleh jadi sepertinya tidak memiliki kaitan langsung. Dalam kondisi seperti ini, tulis Savitz dalam Triple Bottom Line, “Satu-satunya jalan untuk sukses adalah mengambil jalan sustainability. Untuk melakukannya organisasi harus mampu mengidentifikasi stakeholders-nya yang menjadi tanggung jawabnya, membangun relasi yang baik, dan membangun kerja sama dalam model yang saling menguntungkan.”
Terlihat sederhana: identifikasi pemangku kepentingan, lalu bangun hubungan win-win. Kenyataannya, di sejumlah organisasi ini tidaklah mudah dilakukan. Isu sustainability masih terabaikan. Bahkan, membicarakannya dan terpikirkan pun tidak. Yang ada adalah kepentingan jangka pendek: mencetak laba untuk memuaskan investor.
“Sustainability memang usaha yang memerlukan kesungguhan hati,” kata Darwina. Namun itulah jalan yang mesti ditempuh, keniscayaan yang harus dipeluk di tengah daya dukung bumi yang terus merosot, perubahan iklim, dan sederet persoalan lingkungan alam lainnya. Sebab, lanjut Darwina, sekarang adalah masa-masa human survival. Tidak hanya dilingkup global, tetapi juga nasional dan lokal. Bila organisasi sebagai entitas yang memproduksi barang dan jasa bersikap cuek, sejatinya liang kehancuran terus digali lebih cepat.
Oleh: Teguh S. Pambudi.
Sumber: Majalah SWA, Halaman: 42-44.