Tantangan Manajerial
Sejumlah implikasi atas paradigm akuntabilitas demokratik bagi lembaga nirlaba dan LSM di atas meruapak konsekuensi untuk menjawab masalah legitimasi eksistensialnya politis dan sosial, dan pada gilirannya, posisi moralnya. Sumber legitimasi dapat berupa legitimasi sosial. Tentu, hal-hal ini menimbulkan serangkaian tantangan manajerial: instrument apa sajakah yang dapat diciptakan dan dapat dipakai untuk memenuhi konsekuensi-konsejuensi di atas?
Bagaimanapun pertama-tama, harus diingat terlebih dahulu kerangka hukum yang berlaku atau perlu diberlakukan bagi pemenuhan terwujudnya akuntabilitas demokratis yang mau kita bangun ini. Kerangka hukum ini pula, dalam derajatnya yang cukup jauh akan mempengaruhi kemampuan kita membangun instrumen-instrumen manajerial di atas. Undang-undang No 16/2001 misalnya, jelas telah memberikan tekanan dari luar tentang struktur organisasi dan pembagian kekuasaan, sistem renumerasi, dan strategi pendanaan, dan mekanisme pertanggungjawaban bagi organisasi nirlaba yang berbadan hukum yayasan. Ringkasnya intenal governance lembaga nirlaba, secara legal, telah didefinisikan oleh Negara melalui UU ini. Sebegitu jauh undang-undang ini tidak menyentuh soal konstituensialisme lembaga nirlaba.
Jelaslah, pendekatan legalistik dalam pembangunan akuntabilitas demokratik tidak akan efektif, dan paling jauh harus diperlukan ‘sebagai standar minimal’. Suatu problem yang tampaknya cukup universal, sebagai mana gambaran yang diberikan oleh Rajesh Tandon untuk organisasi nirlaba di Asia Selatan. Sekalipun telah memenuhi ketentuan undang-undang, dalam hal struktur organisasi dan pemisahan kekuasaan, tidak selalu berarti governance telah berjalan dengan baik. Tipologi kucing-kucingan melalui “permainan pengurus” sebagaimana digambarkannya juga lazim terjadi di Indonesia. Gambaran tipiologi ini oleh Tandon dikategorikan sebagai “Yayasan Keluarga” (family board), “Yayasan Tidur” (invisible board), “Yayasan Staf” (Staff Board), dan “Yayasan Profesioana” (professional Board), yang memiliki persoalannya masing-masing.
Pilihan untuk menetapkan standar yang lebih baik, berdasarkan ketentuan hukum, justru dapat ditempuh melalui mekanisme pengaturan diri sendiri. Suatu mekanisme yang memerlukan komitmen dan kemauan sungguh-sungguh dalam kalangan organisasi nirlaba dan LSM sendiri untuk mewujudkannya. Ini jalan yang sama tidak mudahnya dengan jalan legalistic, ketika penegakannya. Dua instrument yang lazim dipakai dalam pengaturan diri sendiri ini, dan tamapaknya mulai menarik perhatian kalangan LSM di Indonesia, adalah kode etik dan akreditasi/sertifikat.
Penerapan kode etik atau akreditas organisasi nirlaba merupakan pilihan ideal apabila mekanisme ini terbangun secara orisinal dari kalangan sendiri, dan karenanya tidak harus bersifat tunggal dan “menasioanal”. Tolak ukur yang diseragamkan dan elitis justru harus dihindari, meskipun hal ini tidak mudah dicapai. Upaya yang tengah dilakukan oleh KPMM di Padang dan Sewarung di Bandung misalnya, sangat penting untuk diteruskan dan didukung perkembangannya, sama pentingnya melihat eksperimen yang dilakukan oleh jaringan LP3ES dalam upaya merumuskan dan menegakkan Kode Etik LSM di tingkat regional dan nasional.
Adapun transparansi adalah prinsip yang merupakan prasyarat terlaksananya akuntabilitas demokratik. Keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Nana Sukarna, dihubungkan dengan pengungkapan (disclosure). Bentuk dan mekanisme pengungkapan ini tentunya sangat terkait dengan dan tergantung kepada governance dan konstituensialisme yang dikembangkan oleh suatu organisasi sebagaimana didiskusikan di atas.
Sedangkan secara material, subtansi yang diungkapkan tersebut kiranya merupakan hal-hal yang standar dan etikal, mencakup antara lain, soal keuangan, program, strategi penggalangan dan pemakaian dana, sampai visi dan misi.
Berdasarkan diskusi di atas jelas bahwa akuntabilitas bukan saja terkait dengan soal pelaporan keuangan dan program, tetapi juga dengan soal legitimasi. Karena itu mengukur akuntabilitas tidak cukup hanya soal teknis, misalnya keuangan dan program, tetapi juga soal partisipasi, konsultasi, dan proses demokratisasi internal LSM. Diharapkan semakin akuntabel dan transparan sebuah LSM, semakin besar legitimasi yang diperolehnya yang dapat diukur dengan besarnya pengakuan, pembenaran, dan dukungan serta perlindungan konstituen atau masyarakat kepada komunitas LSM.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 37-39.