Tantangan Ketiga: Keberlanjutan Financial
Salah satu persoalan penting kalangan LSM kita saat ini adalah keberlanjutan financial. Ini karena mayoritas LSM sangat tergantung pada bantuan hibah, khususnya dari lembaga-lembaga luar negeri. Data lengkap mengenai jumlah dan komposisi sumber dana bagi LSM masih belum tersedia, tetapi penelitian Ibrahim (2000) pada 25 organisasi sedikit menggambarkan komposisi ini. Meskipun, perlu dicatat di sini, responden yang disurvei adalah organisasi yang masuk dalam kategori Organisasi Sumber Daya Sipil (OSMS), dan bukan sepenuhnya LSM. Karenanya data yang tersedia ini lebih menggambarkan sumber daya yang diterima oleh organisasi OSMS dan LSM maupun lembaga dana.
Dari penelitian ini terlihat mayoritas masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang mencapai 65%, dan sumber dalam negeri 35%. Secara lebih terinci sumber dalam negeri teruatama adalah hasil usaha sendiri (33%), sumbangan perusahaan dan dana abadi (masing-masing 17%). Donasi individual menyumbang 14%. Sisanya dalam jumlah lebih kecil bersumber dari pemerintah (5%) dan sumbangan Ornop (3%), dan sumber lainnya (11%). Sementara itu dalam beberapa tahun ini, ada kecenderungan aliran hibah berkurang. Sebabnya antara lain, situasi dunia yang terus berubah ikut mempengaruhi skala prioritas donator. Karena itu kalangan LSM perlu mulai menggalang dana alternatif, yang bukan sama sekali tidak ada, tetapi kontribusinya masih sangat kecil. Sumber alternatif ini beragam dari sumbangan perorangan sampai penjualan produk dan jasa yang terkait dengan misi lembaga.
Dari berbagai survei terlihat bahwa kemandirian dan keberlanjutan pendanaan organisasi nirlaba dapat ditempuh lewat dua jalur utama. Petama, upaya penggalangan dana secara massal dari masyarakat umum. Kedua, menciptakan dana sendiri lewat pengelolaan unit-unit usaha. Cara pertama telah dibuktikan oleh sejumlah lembaga semacam Yayasan Dompet Dhuafa, Dana Sosial Al Falah, Darut Tauhid, Pos Kemanusiaan Peduli Umat, dan sejenisnya, bias sangat efektif. Yang kedua, belum terlalu banyak diterapkan oleh LSM, tetapi juga sangat efektif, misalnya dilakukan oleh Yayasan Bina Swadaya.
Untuk strategi pertama, meskipun efektif bagi sebagian lembaga, dirasakan sulit diterapkan oleh sebagian lembaga lain. Hal ini dapat dimengerti karena tidak semua “isu”, atau misi organisasi, “laku dijual” kepada masyarakat umum. Tema-tema yang dekat dengan masalah keagamaan, sebagaimana umumnya ditangani oleh berbagai lembaga yang disebut di atas, akan mudah didukung oleh masyarakat. Tapi “isu-isu LSM” seperti pemberdayaan perempuan, hak azasi, hak konsumen, advokasi publik dan sejenisnya, tampaknya belum nyambung dengan minat masyarakat pada umumnya.
Karena itu strategi kedua merupakan pilihan yang berikutnya. Sejak lama Bina Swadaya misalnya, membangun unit-unit usaha dan ekonomi yang menghasilkan pendapatan bagi lembaga (earned income). Strategi yang dilakukan untuk menggalang dana lewat strategi ini adalah penjualan produk, penyediaan jasa profesioanal, penyewaan sarana dan fasilitas, penyediaan kredit, revolving fund atau jasa keuangan lainnya. Yasmin (Yayasan Imdad Mustadhafin), yang relatif masih baru (berdiri 1998) mengembangkan jaringan took barang bekas (Berbeku).
Gagasan untuk “menciptakan” dana sendiri melalui unit usaha bukan tidak popular di kalangan aktivis LSM. Namun isu ini masih menjadi perdebatan. Perdebatan soal “LSM berbisnis” ini sebenarnya dapat dipilah menjadi dua tingkat, yakni pada dataran teknis dan ideologis. Secara teknis banyak LSM tidak terbiasa mengelola usaha yang komersial atau profit oriented. Keahlian dan pengalaman mengelola bisnis terbatas, sumber keuangan dan modal terbatas, serta rendahnya kemapuan berkompetisi dengan sektor bisnis lainnya.
Tetapi, di atas semua persoalan teknis itu, timbul pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana jadinya bila lembaga nirlaba melakukan bisnis? Apakah ini tidak mencampuradukkan visi dan misi keswadayaan dengan sesuatu yang komersial? Bagaimana hal itu dapat dikompromikan?
Dalam kenyataan unit-unit usaha itu memang ada yang berkaitan dengan misi atau program yang tengah dikembangkan oleh lembaga bersangkutan, ada juga yang tidak berkaitan sama sekali. Beberapa organisasi mengelola unit usahanya secara professional dalam badan usaha yang komersial dan merekrut tenaga-tenaga yang ahli di bidangnya. Manajemen dan laporan keuangan juga terpisah dari organisasi. Sementara beberapa organisasi lain juga membuat unit usaha, namun pengelolaannya masih dilakukan secara semi professional dan melibatkan pengurus maupun staf lembaga, yang notebene nirlaba.
Perdebatan dan perkembangan pendekatan sektor nirlaba lewat “jalan tengah” itu sendiri juga berlangsung di hamper semua Negara. Salah satu pemicu utamanya adalah makin mengecilnya dana-dana yang berasal dari donasi di satu pihak, tetapi juga kegelisahan untuk tidak selalu tergantung pada donasi tersebut di pihak lain. Gagasan semacam ini bahkan telah masuk dalam wacana akademis di lingkungan Universitas Harvard AS misal-nya. Sebagaimana ditampilkan dalam diagram 1, yang dikembangkan oleh J Gregory Dees, dan dipublikasikan lewat Harvard Business Review (Januari-Februari1998), jalan tengah itu dituliskan dalam suatu spectrum dari kedermawanan murni sampai komersial murni.
Dengan memberikan istilah social enterprise, Dees memberikan satu kerangka analisis yang sederhana tetapi cukup menjelaskan. Pada dasarnya jalan tengah dapat ditempuh dengan semacam kombinasi antara niat baik dan kepentingan pribadi, antara modal sumbangan dan tenaga sukarela dan modal tenaga profesioanal. Jalan tengah ini juga mempertemukan antara yang kaya dan yang miskin, misalnya melalui mekanisme subsidi silang.
Dalam praktik perolehan uang dari unit usaha itu bias berasal dari tiga sumber. Pertama, dari kelompok sasaran, yang diminta memberikan konstribusi. Contohnya pelayanan klinik atau kegiatan pelatihan yang mengharuskan pesertanya membayar. Kedua, penjualan produk atau jasa, yang sesuai dengan misi sosial lembaga, meskipun tidak berasal dari sasaran. Contohnya sebuah LSM yang memproduksi dan menjual buku-buku yang sesuai dengan misinya (misalnya lembaga konsumen memasarkan majalah konsumen). Ketiga, penjualan produk atau jasa yang sama sekali tak terkait dengan misi sosial lembaga. Contohnya sebuah LSM bantuan hukum yang mengelola dan menyewakan hotel atau membuka kafe untuk umum.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 29-33.