Tantangan Keempat dan Kelima: Kompetensi Profesioanal & Kredibilitas Sosial
Tantangan Keempat: Kompetensi Profesioanal
Di kalangan LSM sangat dikembangkan semangat “kerelawanan” sebagai bagian dari kegiatan nirlaba. Hal ini tentu sangat benar dan sesuai dengan visi dan misi yang seharusnya diemban LSM dan para aktivisnya. Tetapi harus disadari bahwa hal ini telah menimbulkan ekses dalam bentuk medioker, kerja asal-asaln dengan dalih amatirisme. Tadak dapat dipungkiri di kalangan LSM acap tidak dianut suatu standar kerja minimal yang memadai. Bahkan banyak aktivis LSM, sesungguhnya “pekerja” LSM yang “aktif” di LSM, bukan karena idealism dan cita-cita melainkan karena tidak mendapatkan pekerjaan lain.
Rendahnya profesionalitas di kalangan LSM bukan saja membuat kinerja LSM rendah, tetapi sesungguhnya juga merugikan masyarakat, karena pemborosan dan penyia-nyiaan sumber daya yang harusnya lebih efisien dan efektif.
Di sisi lain kualitas “produk” LSM yang rendah menjadikan dunia LSM dipandang sebelah mata oleh sektor swasta dan pemerintah, dan menghasilkan stereotype yang merugikan. Pada persoalan yang lebih substantive, LSM acap tidak mampu menjawab tantangan pihak lain untuk memberikan alternative pemikiran dan solusi praktis bagi masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Boleh ditambahkan di sisni semangat kerelawanan para aktivis acap disalahgunakan para pengurus dan “pejabat” LSM, dan juga kalangan lembaga donor, untuk mengekploitasi mereka sebagai “tenaga kerja murah”.
Tantangan Kelima: Kredibilitas Sosial
Tantangan kelima paling mudah dimengerti, meski paling sulit bagi LSM, yakni kredibilitas LSM di mata masyarakat sebagai konstituen utamanya. Kalau legitimasi politiknya lemah, legalitasnya bermasalah, secara financial meragukan, dan secara profesional tidak menyakinkan, bagaimana LSM dapat membangun kredibilitas sosialnya?
Dalam hal lebih substantive, di berbagai tempat, muncul pertanyaan logis semacam ini: kalau legislative mengawasi eksekutif, dan LSM mengawasi legislatif, siapa yang mengawasi LSM? Bahkan ada juga yang mempertanyakan, “aktivis LSM itu pahlawan atau pengganggu”?
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 33-34.