Tantangan Kedua: Legalitas
Persoalan badan hukum bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semakin krusial dengan diberlakukannya UU No 16/2001 tentang Yayasan. Pada umumnya, barangkali 99% LSM di Indonesia berbadan hukum yayasan, hingga harus tunduk pada UU tersebut. Bagi sebagian aktivis LSM, hal ini menjadi masalah karena UU ini dinyatakan akan menimbulkan investasi pemerintah dalam berbagai hal. Maka, pilihannya adalah antara menerima UU ini dan menyesuaikan dengannya, mencoba mengubahnya hingga potensi pemerintah mengintervensi LSM diperkecil. Pilihan lain adalah menghindarinya dengan cara mencari badan hukum lain.
Masalah ini sendiri dapat detelaah dari berbagai sudut pandang, khususnya hukum dan sosial politik. Dari segi hukum tentu akan menghasilkan telaah yang positivistic, dan zakelek, hingga mempersempit pilihan-pilihan bagi aktivis LSM. Karena itu saya menawarkan satu kajian yang umum sifatnya, dengan melihat dari perspektif sosial politik, hingga berbagai pilihan dapat terbuka.
Cara pandang ini dimulai dengan menelaah pilihan-pilihan visi dan misi kelembagaan yang diwujudkan sebagai LSM itu, dibandingkan dengan misi dan visi kelembagaan lain. Dengan kata lain pilihan badan hukum dilihat hanya sebagai instrument dan konsekuensi logis dari visi dan misi tersebut. Tabel di bawah ini memperlihatkan tiga visi kemanusiaan yakni ekonomi, sosial ekonomi, dan sosial-politik.
Visi ekonomi jelas diterjemahkan dalam misi komersial, untuk mencari laba atau keuntungan sendiri (self benefit), dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, yaitu PT, CV, atau NV. Visi sosial-ekonomi diterjemahkan dalam misi semi komersial, untuk mencari laba bersama (mutual benefit), dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu yaitu koperasi atau perkumpulan (asosiasi). Visi sosial-politik diterjemahkan dalam misi sosial atau politik, untuk meningkatkan kesejahteraan (nirlaba) atau mengejar kekuasaan, dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, yaitu yayasan; untuk nirlaba dan kelembagaan politik yang tanpa badan hukum, tapi diatur dalam satu kerangka perundang-undangan tertentu (UU Keormasan dan UU Politik). Lalu di mana LSM?
Di sinilah mulai timbul persoalan. LSM memiliki visi sosial-politik, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan, tapi bersentuhan dengan kekuasaan (politik). Di masa Orde Baru pilihan badan hukum LSM dalam bentuk yayasan jelas memiliki tujuan taktis, yakni menghindari kontrol kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan terhadap parpol dan ormas. Yayasan menjadi pilihan satu-satunya bagi LSM, karena bentuk yang lain, tentu tidak sesuai dengan misinya. Tanpa ada undang-undang yang secara khusus mengatur kehidupan yayasan, dan karenanya LSM luar biasa bebasnya dan Orde Baru kehilangan alat kontrol, bahkan sesungguhnya ikut memanfaatkannya, yakni dengan memanfaatkan kelembagaan ini untuk tujuan politik dan komersial.
Penyalahguaan badan hukum yayasan secara beramai-ramai dinikmati bersama oleh LSM dan “yayasan-yayasan Cendana” dan “yayasan tentara”, dalam konteks dan bentuk yang berbeda-beda. Dengan latar belakang ini, dan dengan semangat menghentikan penyalagunaan inilah, Orde Reformasi di bawah tekanan IMF melahirkan UU Yayasan.
Akibatnya opini mengenai UU ini, dan dampaknya terhadap LSM, terbelah dua: sebagian berpendapat sangat baik demi membangun keteraturan dan keterbukaan; dan sebagian berpendapat kurang baik karena alas an yang disebut di atas, memudahkan intervensi Negara terhadap LSM. Di tengah perdebatan ini sebagian kecil LSM telah meresponnya dengan cepat yakni mengubah badan hukumnya dari yayasan menjadi Perkumpulan.
UU Yayasan jelas tetap diperlukan untuk mengatur kelembagaan yang memang visi dan misinya sepenuhnya kemanusiaan dan sedekah. Kita tahu penyalahgunaan badan hukum yayasan untuk kepentingan pribadi sesungguhnya tidak Cuma terjadi pada “yayasan Cendana” dan “yayasan tentara” di atas, tetapi juga yayasan-yayasan yang mengoperasikan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit komersial. Tentu kehadiran UU Yayasan tetap harus dicermati jangan sampai mematikan niat baik warga Negara yang ingin mengabdikan visi kemanusiaan dan sedekahnya. Sedangkan untuk LSM agaknya memang perlu dicari badan hukum lain, meskipun tidak harus buru-buru diputuskan menjadi perkumpulan. Sebab, Negara akan mudah melahirkan undang-undang lain untuk perkumpulan, kalau memang tujuannya untuk mengontrol keberadaannya.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 26-29.