Sustainability Reporting dan Perannya
Desakan kepada kalangan bisnis untuk memperbaiki kinerja lingkungan dan sosial mereka semakin kuat didorongkan. Desakan itu didasari oleh paling tidak dua hal yaitu (1) kesadaran akan peran bisnis yang besar dalam ranah perekonomian dan (2) bisnis pun memikul tanggung jawab pada perkembangan sosial kemasyarakatan serta sewajarnya memikul kontribusi untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik.
Penerapan pembangunan berkelanjutan diharapkan akan membantu bisnis untuk melakukan praktek-praktek yang tidak merusak lingkungan maupun bertentangan dengan standard-standard sosial kemasyarakatan. Harapan akan peran bisnis seperti ini sepertinya muluk-muluk, namun sebenarnya beberapa bisnis telah mulai menyadari hal ini walau dalam kadar yang berbeda-beda.
Adanya kesadaran dan desakan ini sebetulnya merupakan kesempatan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh dunia bisnis kepada masyarakat. Terutama bagi bisnis-bisnis yang selama ini banyak dikeluhkan melakukan praktek-praktek yang merusak baik bagi lingkungan maupun masyarakat, pendekatan yang mengandalkan adanya kesadaran dan kesukarelaan dari dirinya sendiri kiranya akan lebih efektif disamping selama ini melakukan konfrontasi dengan mereka.
Pendekatan Berbasis Pasar
Di Indonesia, sustainable reporting diharapkan mempunyai peran yang cukup besar. Hal ini karena terbuktinya ketidakmampuan negara untuk menjalankan pengawasan dan penegakan hukum, apalagi dalam masa sekarang dimana banyak perubahan yang mendasar baik dalam pendekatan pengelolaan negara maupun kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi negara.
Melepaskan pengawasan untuk perbaikan kinerja lingkungan dan masyarakat pada pasar dan berharap mekanisme koreksi berjalan sendiri berpotensi memperburuk keadaan karena pasar bebas akan menyisihkan pemain yang tidak mampu.
Pendekatan berbasis pasar menjadi salah satu pilihan yang menarik. Namun demikian pendekatan ini memerlukan ‘pengawalan’ dan bantuan untuk bisa terlaksana. Dalam pendekatan ini asumsi dasarnya ialah lembaga sendiri sadar bahwa mereka perlu memperbaiki kinerjanya dalam 3 hal (tripple bottom-line: people – planet – profit) karena itu akan menjamin keberlanjutan usaha mereka dalam jangka panjang.
Namun demikian mengharapkan mekanisme itu terjadi secara otomatis memang agak naif karena lembaga terbatas kemampuannya untuk melaksanakan hal tersebut. Peningkatan kemampuan organisasi untuk bisa mengembangkan piranti dan kelengkapan bagi peningkatan kinerja lingkungan dan sosial belum bisa masuk dalam domain aktivitas organisasi saat ini karena akan memakan sumber daya yang tidak sedikit. Memang beberapa lembaga besar akan mampu melaksanakannya sementara lembaga di bawah skala multinasional yang besar lebih sulit, makin kecil lembaganya makin terbatas pula sumber dayanya.
Oleh karena itu diperlukan inisiatif bersama dari berbagai lembaga pembangunan – mulai dari organisasi tingkat dunia seperti PBB, Bank Dunia, lembaga donor sampai LSM – untuk secara bahu membahu mengembangkan kerangka kerja yang dapat menjadi acuan kalangan bisnis dalam meningkatkan kinerja sosial dan lingkungannya.
Sustainability Reporting dan Perannya
Salah satu kunci penting untuk menjamin berjalannya perbaikan kinerja organisasi dalam hal sosial dan lingkungan ialah reporting (pelaporan). Adanya pelaporan bisa menjadi alat untuk melakukan komunikasi tentang apa yang sudah dilakukan oleh suatu organisasi sehubungan dengan perbaikan kinerja lingkungan dan sosialnya.
Global Reporting Initiative menganut beberapa prinsip dalam mendefinisikan isi report-nya. Berdasarkan GRI Guidelines, prinsip-prinsip tersebut ialah:
- Inclusivity: The reporting organization should identify its stakeholders and explain how it has responded to their issues in the report
- Relevance and Materiality: The informatiion in a report should cover issues and indicators that would substantively influence the decisions of the stakeholders using the report.
- Sustainability Context: The reporting organization should present its performance in the wider context of sustainability, where such context has significant interpretative value.
- Completeness: coverage of the releant and material issues and indicator, and definition of the report boundary should be sufficicent to enable stakeholders to assess the reporting organization’s economic, environmental, and social performance in the reported period.
Disamping itu dikenal pula prinsip-prinsip untuk menjamin kualitas dari informasi yang dilaporkan. Prinsip-prinsip tersebut dari GRI Guidelines ialah:
- Balance: The report should provide a balanced and reasonable presentation of the reporting organization’s performance
- Comparability: The information reported should remain consistent and be compiled and presented in a manner that enables stakeholders using the report to analyze changes in the organization’s performance over time as well as relative to other organizations.
- Accuracy: The reported information should be accurate and sufficiently detailed for stakeholders using the report to make decisions with a high degree of confidence
- Timeliness: The information is presented in time, and on a regular schedule, for stakeholders using the report to be able to make informed decisions.
- Clarity: Information should be made available in a manner that is understandable by and accesssible to stakeholders using the report
- Assurability: Information and processes used in the preparation of a report should be recorded, compiled, analyzed and disclosed in a way that could be subject to review and assurance.
Komunikasi apa yang sudah dilakukan oleh organisasi memegang peranan yang sangat penting bagi pemangku kepentingan lain yang berkaitan dengan isu lingkungan dan sosial. Pihak seperti Pemerintah, LSM dan komunitas akademis bisa melihat bahwa organisasi memang melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki kinerja lingkungan dan sosialnya. Berbagai komitmen dari organisasi yang sudah dilakukan kepada masyarakat, baik dilakukan dalam pendekatan melalui program community development maupun berbagai hal lainnya dalam bidang ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, produk dalam pemasaran sampai penggunaannya, sampai hubungan kemasyarakatan.
Ruang lingkup informasi yang dilaporkan menjadi sangat perlu untuk bisa menjamin struktur logis dari upaya reporting yang ada. Ruang lingkup reporting meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Strategy and Analysis, yang digambarkan dari statement CEO dan Preskom atau ketua organisasi independen terhadap organisasi pembuat laporan yang memaparkan risiko dan peluang penting secara ringkas.
- Organization Profile, meliputi nama organisasi, produk-produknya, struktur operasional, negara-negara di mana lembaga beroperasi, kondisi kepemilikan dan badan hukumnya, pasar, skala organisasi, serta keputusan-keputusan penting selama periode pelaporan
- Reporting Parameters: lingkup atau profilnya, keterangan mengenai prosesnya, dan batasan pelaporan, daftar isi dan assurance yang menerangkan lingkup dan dasar penilaian dari pihak independen yang digunakan ketika melakukan penilaian dan melaporkannya.
- Governance (struktur organisasi dan tata kepemimpinan dalam organisasi tersebut), Commitments to External Initiatives (keterangan mengenai apakah dan bagaimana pendekatan tertentu diambil oleh organisasi dengan mengacu pada prinsip-prinsip/ perjanjian/ kesepakatan dalam hal sosial dan lingkungan yang dikembangkan secara eksternal dan diterapkan secara sukarela) dan Engagement (sebagai gambaran luasnya pemangku kepentingan yang didefinisikan oleh organisasi dan relasi dengan para pemangku kepentingan tersebut)
Ada beberapa indikator kinerja yang dikembangkan untuk membantu organisasi-organisasi pelapor mengetahui lingkup dan aspek yang dibahas dalam laporannya. Indikator-indikator kinerja tersebut ialah:
- Kinerja perekonomian, meliputi: penciptaan dan pendistribusian nilai ekonomi, kehadiran di pasar serta dampak ekonomi secara tak langsung.
- Kinerja lingkungan, meliputi: bahan yang digunakan, energi dan konsumsinya, air dan konsumsinya, pembuangan – emisi – pelepasan limbah (cair, padat dan gas), produk dan jasa, kepatuhan, transport, dan penilaian aspek-aspek itu secara keseluruhan
- Kinerja sosial dalam praktek perburuhan dan pemenuhan aturan-aturan hubungan industrial, meliputi: kondisi pekerja (jumlah, komposisi gender, pekerja purna waktu dan paruh waktu), relasi buruh dengan manajemen, keselamatan dan kesehatan kerja, pelatihan – pendidikan – pengembangan karyawan, serta keberagaman dan peluang.
- Kinerja sosial dalam aspek HAM, meliputi: praktek manajemen, penerapan prinsip non-diskriminasi, kebebasan untuk mengikuti perkumpulan, tenaga kerja anak, pemaksaan untuk bekerja, praktek pendisiplinan, praktek pengamanan, dan hak-hak masyarakat adat.
- Kinerja sosial terhadap masyarakat, meliputi bebagai kepedulian dan langkah organisasi mengantisipasi atau mengelola isu-isu: komunitas, korupsi, kebijakan publik, serta perilaku anti-kompetitif seperti anti-trust dan monopoli.
- Kinerja sosial dalam aspek product responsibility, yaitu mencakup beberapa aspek: kesehatan dan keselamatan dari pengguna produk dan pelanggan pada umumnya, produk dan jasa, komunikasi untuk pemasaran, serta customer privacy.
Organisasi yang akan mengembangkan sustainability reporting bisa menggunakan prinsip-prinsip ini dalam pelaporannya sebagai acuan sementara pemangku kepentingan lainnya bisa melakukan benchmark sehingga bisa menilai dalam aspek yang sesuai serta mengupayakan kerjasama untuk meningkatkannya karena sustainability reporting pada prinsipnya ialah inisiatif bersama dari berbagai pihak dalam membangun kepedulian untuk peningkatan kinerja bisnis terhadap lingkungan dan masyarakat.
Transparansi dan Sustainabibility Reporting
Selama ini banyak pihak – tidak hanya lembaga – beranggapan bahwa transparansi dan akuntabilitas organisasi sudah cukup terjamin melalui laporan keuangan yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Memang pada prinsipnya laporan keuangan yang baik akan membantu sekali bagi berbagai pemangku kepentingan untuk dapat memahami upaya yang dilakukan oleh organisasi dalam menjaga supaya operasinya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Namun dalam perkembangan belakangan ini, disadari bahwa laporan keuangan semata belum menggambarkan secara gamblang apa yang telah dilakukan oleh suatu organisasi terutama berhubungan dengan isu-isu yang sifatnya intangible dalam aspek lingkungan dan sosial.
Sustainability Reporting hadir untuk mencoba memberikan jawaban mengenai hal-hal yang bisa dilaporkan sehubungan dengan upaya yang telah dilakukan oleh organisasi sehubungan dengan kinerja perekonomian dan sosialnya.
Sustainability Reporting bukannya harus dipertentangkan dengan laporan keuangan – seperti disinyalir oleh banyak pihak – namun merupakan komponen pelengkap sehingga prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam bisnis bisa didukung terus berkembangnya yang tidak hanya bisa memberikan manfaat pada kondisi sosial dan lingkungan, namun memberikan kontribusi untuk keberlanjutan lembaga serta perannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Inequality Revisited
Dalam mengembangkan inisiatif ini, ada hal penting yang tidak bisa dianggap remeh yaitu kesenjangan yang terdapat dalam era globalisasi sekarang ini. Kesenjangan ini bukan hanya dari penguasaan modal dan faktor produksi lainnya antar negara, lembaga multinasional, domestik maupun lembaga-lembaga pengelola investasi. Kesenjangan yang cukup serius juga terjadi pada lembaga pembangunan dan pendekatannya sendiri.
Paling tidak ada 5 faktor yang berpengaruh dalam hal ini, yaitu:
- Kesenjangan yang terdapat pada pasar global
- Kesenjangan kapasitas
- Kompleksitas isu
- Kesenjangan distribusi informasi
- Kondisi bisnis dan pemerintahan di negara berkembang yang bersangkutan.
Kesenjangan pasar global merupakan suatu fakta karena berbagai negara di dunia ini berada pada fase yang berbeda-beda dalam perkembangan ekonominya. Contoh paling mudahnya yaitu usaha multinasional yang beroperasi lintas batas suatu negara didukung oleh modal yang sangat besar – bahkan kadangkala modalnya lebih besar daripada modal negara berkembang dimana usaha tersebut beroperasi. Dalam kondisi itu, lembaga-lembaga multinasional berada dalam posisi yang sangat kuat terhadap negara yang kekurangan modal dan mengalami kelangkaan investasi masuk. Bahkan kadangkala, suatu organisasi multinasional merupakan aktor ekonomi yang pengaruhnya sangat signifikan terhadap perekonomian suatu negara dan penciptaan kesejahteraan di negara tersebut.
Kesenjangan kapasitas juga terjadi pada skala yang amat besar. Haruslah diakui bahwa kapasitas untuk melaksanakan dan memberikan saran terhadap perbaikan kinerja lingkungan dan sosial tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Kondisi saat ini ialah institusi-institusi di negara maju – termasuk ornop – memperoleh peranan yang lebih banyak dibandingkan dengan mitra-mitranya dari negara berkembang. Sementara tidak adanya perhatian yang cukup serius untuk melakukan alih pengetahuan dan kapasitas ke negara berkembang, mengharapkan mekanisme pengawalan dan peningkatan kapasitas yang melibatkan setiap pemangku kepentingan secara merata bisa menjadi jauh dari harapan.
Kesenjangan kapasitas bertambah parah dengan kesenjangan informasi. Informasi memang tidak tersebar secara merata antar pemangku kepentingan, baik karena akses maupun faktor teknis seperti pendanaan untuk mengakses informasi, bahasa dan arena penyampaian yang biasanya lebih banyak dilakukan di negara maju.
Kompleksitas isu menambah masalah tersendiri. Negara-negara di kawasan khatulistiwa yang sebagian besar mempunyai kekayaaan alam yang cukup baik, penduduknya banyak, operasi usaha multinasional juga cukup intensif namun cenderung mengalami ‘kutukan sumber daya’ (resource curse) karena pada saat yang bersamaan kekayaan dan daya tarik investasi tersebut tidak membawa banyak peningkatan bagi kesejahteraan rakyatnya.
Untuk isu keanekaragaman hayati, kompleksitas isu menjadi masalah tersendiri. Negara-negara khatulistiwa dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya di satu sisi membawa konsekuensi isu keanekaragaman hayatinya semakin kompleks. Seiring dengan makin kompleksnya keanekaragaman hayati, basis ilmu pengetahuan untuk bisa melakukan identifikasi- eksplorasi – analisis – valuasi – pengembangan menjadi sangat lebih rumit. Sementara sumber daya yang diperlukan untuk mendukung pengembangan berbagai pendekatan teknis dan melakukan penelitian komprehensif tidak hanya berbasis ilmu pengetahuan alam namun juga ilmu sosial di negara-negara dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya tersebut juga sangat terbatas.
Kesenjangan distribusi informasi terjadi pada dukungan maupun infrastrukturnya. Situasi kekurangan informasi menjadi makin parah untuk masyarakat yang terpinggirkan yang kebanyakan tidak mampu bersuara. Seringkali, mereka tahu informasi tentang suatu hal karena mereka sendirilah yang menyaksikan kejadian tersebut di depan mata – misalnya tentang pembalakan liar, penambangan di kawasan lindung maupun pencemaran – namun tidak didukung oleh informasi pendukung yang cukup. Akibatnya informasi tingkat pertama yang berdasarkan pengalaman empiris indrawi yang mereka miliki menjadi tidak banyak bisa digunakan dan ditindaklanjuti.
Kelengkapan, keakuratan dan penyajian informasi yang kurang baik seringkali dimanfaatkan oleh pihak yang tidak terlalu mendukung perbaikan kinerja lingkungan dan sosial – termasuk aparat yang berkolusi dengan organisasi perusak lingkungan – menjadi dasar untuk mengabaikan informasi tersebut dan membiarkan praktek yang merusak terus berjalan. Sementara untuk bisa menyajikan informasi seperti ini, berbagai kesenjangan yang diungkapkan diatas (kapasitas – informasi, dll) menjadi penghalang yang amat besar.
Sementara di kalangan bisnis pun praktek yang baik sering tidak memperoleh penghargaan dan perhatian sewajarnya karena tidak disadarinya kemajuan yang terjadi tersebut.
Dalam menerapkan standard baru, seringkali dilupakan mengenai kondisi bisnis dan pemerintahan di suatu negara. Contoh yang paling konkrit ialah kehadiran lembaga yang praktek pengelolaan lingkungan dan kepedulian sosialnya kurang baik namun memainkan peran yang cukup berdampak pada ekonomi suatu negara atau provinsi/lokal. Dengan menutup akses pasar dari organisasi yang kurang baik kinerjanya tersebut, kerugian tidak hanya di tingkat lembaga yang mencemari namun juga di tingkat pemerintah dan masyarakat sekitar. Demikian pula banyak kerusakan lingkungan – termasuk biodiversity losses – terjadi di negara-negara dengan tata pemerintahan yang kurang baik, masyarakatnya dalam transisi dan konflik antara berbagai faksi di dalam pemerintahan.
Masalah-masalah diatas sebenarnya bukan hanya menggambarkan kritik yang harus diperhatikan namun juga perlunya agenda tambahan untuk meningkatkan proses pengawalan dan inisiatif bersama dalam meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan. Negara-negara berkembang perlu memperoleh bantuan untuk dapat memberikan masukan yang lebih baik. Namun yang lebih penting lagi ialah bagaimana menjaga representasi dari masyarakat negara berkembang – terutama yang dipinggirkan – untuk bisa turut mengawasi dan berkontribusi pada perbaikan dunia bisnis yang dampaknya mereka rasakan langsung.