Seni Meramu Tiga Pilar: BNI, “Doing Good While Doing Business” (Bagian 2/2)
Di internal lembaga, untuk memenuhi fungsinya sebagai lembaga yang harus menghasilkan profit, BNI melakukan proses bisnisnya sesuai dengan tata kelola lembaga yang baik. “Tentu, BNI selalu memenuhi seluruh persyaratan transparansi dan sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku di Indonesia,” Riza menekankan.
Tak hanya berusaha green dalam hal proses bisnis, BNI pun memberikan kredit di sektor energi terbarukan dan proyek-proyek ramah lingkungan, serta mendorong industri agribisnis yang berkelanjutan. BNI juga berusaha membina para debitornya untuk mau menerapkan tata kelola bisnis yang tidak hanya baik tetapi juga peduli lingkungan. BNI pun me-rating para debitor dan kredit yang diberikannya terkait aspek pelestarian lingkungan. “Ada empat zona warna: hitam, merah, biru dan hijau. Semakin banyak debitor dan kredit yang di zona hijau, itu semakin baik. Kami juga terus bimbing mereka agar dapat naik kelas ke zona yang lebih baik,” Riza menuturkan. Di 2011, BNI menyalurkan Rp 8,997 miliar untuk pembiayaan energi terbarukan, Rp 3,2 miliar untuk pinjaman agribisnis berkelanjutan, dan Rp 18,08 miliar untuk KPR Hijau. Setidaknya jumlah kredit di zona hijau yang disalurkan BNI telah mencapai angka Rp 737 miliar atau sekitar 3% dari total kredit BNI. Sementara itu, jumlah debitor yang masuk zona hijau telah mencapai 7,11% dari jumlah total debitor BNI.
Diakui Riza, perjalanan BNI menuju green company juga penuh tantangan, baik dari dalam lembaga sendiri maupun dari luar. Di internal, banyaknya karyawan menjadi tantangan tersendiri BNI sendiri untuk menyampaikan visi dan misi hijau tersebut kepada seluruh karyawan yang jumlahnya tak kurang dari 30.000 orang di Indonesia dan di luar negeri. “Kami punya 1.364 gerai cabang di Indonesia dan lima cabang di luar negeri. Menyosialisasi visi dan misi hijau ini dan membuat mereka semua mau menerapkan dalam budaya kerja sehari-hari bukanlah hal yang mudah,” kata Riza. Apalagi, tak jarang kesadaran karyawan akan penerapan konsep hijau pun relatif masih kurang.
Dari eksternal lembaga, tantangan yang dihadapi BNI adalah masih kurangnya mitra untuk menerapkan program hijaunya. “Kami masih kesulitan menemukan lembaga yang peduli kelestarian lingkungan untuk dijadikan mitra kerja dengan BNI,” tutur Riza. Ditambah lagi, saat ini belum ada peraturan pemerintah untuk menerapkan konsep hijau tersebut, baik bagi sektor perbankan maupun lembaga dari industri lain.
Di samping itu, pemerintah juga tidak memberikan insentif bagi lembaga perbankan, seperti BNI, untuk menjalankan program-program yang menyangkut usaha dalam pelestarian lingkungan. “Dengan tidak adanya insentif seperti ini, lembaga jadi kurang termotivasi untuk menjalankan program-program hijau itu,” ujarnya. Ke depan, BNI berharap pemerintah, melalui Bank Indonesia, akan lebih mengedepankan aspek-aspek seperti peraturan ataupun insentif bagi industri perbankan yang telah menjalankan konsep green. “Dengan begitu, lembaga, termasuk bank seperti BNI, akan lebih terangsang untuk mengembangkan konsep hijau ini di bisnis lembaga dalam rangka doing good while doing business,” ujar Riza berharap.
Penulis: Kristiana Anissa & Radito A. Wicaksono.
Disarikan dari: Majalah SWA, Halaman: 54-58.