Seni Meramu Tiga Pilar: ASTRA Internasional (Bagian 2/2)
Program daur ulang di Panca Motor adalah contoh keberhasilan Astra Green Company berkontribusi pada laju bisnis lembaga. Lalu, apa contoh riil yang pernah diupayakan Astra agar terus hijau bagi lingkungan dan masyarakat? Astra membesut bank sampah di lingkungan masyarakat. Saat ini ada lima kelurahan di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kami belikan mesin yang dioperasikan masyarakat. Dengan mesin tersebut, botol plastik bekas kemasan air mineral dicacah. Potongan-potongan plastiknya dibeli oleh penadah plastik. Hasilnya untuk masyarakat. Zamrud, Mitra Lembaga Masyarakat Astra Internasional, memaparkan lewat bank sampah pihaknya berhasil mengekspor plastik hasil pencacahan itu ke Cina dan lantas direekspor ke Rusia menjadi benang.
Tantangan yang cukup berarti dalam melaksanakan Astra Green Company justru datang dari kalangan internal. “Kesulitan yang mendasar adalah dalam hal menjaga semangat dan behavior karyawan dalam menjalankan elemen-elemen Green Company, di samping juga menjaga komitmen manajeman lembaga,” Kata Karim. Karena itu, untuk menjaga agar bara semangat tetap menyala, berbagai pelatihan digelar bagi karyawan baru. Dan, demi memacu inovasi agar menjadi lebih hijau, sejak 1999 Astra menggelar kompetisi di antara anak-anak usahanya. “Mulai tahun 1999-10 program-program hasil inisiasi mereka kami lombakan. Kami berikan penghargaan kepada seluruh 161 lembaga,” tutur Riza.
Sejauh ini, menurut Riza, perkembangan status Astra cukup baik. Pada periode 2010-11, peringkat emas dan hijau Astra naik 67%. “Alhasil, pengimplementasian kinerja Astra Green Company per tahun 2011, dari 483 total instalasi yang di-assess, 17% memperoleh peringkat emas, 50% hijau, 24% biru, 5% pernah merah dan 4% hitam,” ungkap Riza.
Apakah pencapaian itu sesuai dengan target yang telah disusun? “Intinya kami mengimplementasikan Astra Green Company minimal dengan peringkat hijau. Efesiensi sumber daya alam minimal 5% per satuan produk atau aktivitas dari tahun 2011 melalui Program Cleaner Production, penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 2% per satuan produksi atau aktivitas dibandingkan tahun 2011 dan zero workplace, serta melakukan pencatatan, analisis dan program antisipasi insiden termasuk pihak ketiga, yaitu kontraktor atau outsourcer,” kata Riza merinci.
Soal biaya, Karim mengelak memaparkan angkanya seraya menjawab diplomatis. “Pengeluaran bujet untuk kegiatan lingkungan berdasarkan activity driven, jadi pengeluaran per tahunnya tidak dipersentasekan dari keuntungan lembaga, tetapi berdasarkan aktivitas yang akan dilakukan.”
Sementara rekannya, Riza memaparkan “Nasionalisme top management sangat tinggi dan mendukung program CSR. Untuk Astra Internasional saja mencapai Rp 16 miliar. Total Grup Astra hampir Rp 300 miliar,” ungkap Riza memaparkan anggaran program CSR Astra secara keseluruhan.
Adapun Emil memandang Astra sudah sangat tepat dalam melaksanakan program hijaunya. “Jadi, pertama adalah dalam organisasi, ada komitmen dari top management. Kedua, dengan komitmen itu, dia mainstreaming, masuk ke dalam arus aktivitas usaha dan kepada semua cabangnya. Ketiga, dalam mainstreaming itu harus integratif dengan tolok ukur. Keempat, mereka outreach, memanjangkan tangan merangkul stakeholder.”
Astra pun terbukti berhasil menjalankan konsep green company. Buktinya, menurut Emil, Astra meraih banyak apresiasi. “Sertifikasi, Proper Biru Hijau, ISO 14001, OHSAS 18001, dan sejumlah penghargaan seperti dari Indonesia Sustainability Report Award,” ungkap Emil.
Ketika ditanya lebih lanjut apa gebrakan hijau Astra selanjutnya, Karim mengaku Astra masih memiliki banyak impian. “Proses produksi jalan terus, jadi upaya green ini akan terus berkelanjuatan. Intinya, kami lakukan 6R: Refine, Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Retrieve to energy. Kami punya rencana menanam pohon jarak dan kemiri sunan di wilayah Hambalang, Bogor, yang berguna untuk bio fuel. Kami juga ingin setiap satu motor kami yang keluar (diproduksi) ada satu pohon ditanam,” ungkap Karim.
Penulis: Siti Ruslina, Rias Andriati & Eddy Dwinanto Iskandar.
Disarikan dari majalah: SWA , Halaman: 60-62