Seni Meramu Tiga Pilar: ASTRA Internasional (Bagian 1/2)
Strategi Raksasa Otomotif Melestarikan Bumi Dan Bisnisnya
“Coba lihat Astra! Dia punya Astra Green Company! Dia masuk kategori terbaik karena jelas dukungannya. Dari top management komitmen penuh! Lantas, dalam komitmen penuh apakah iseng-iseng saja? Tidak! Dia buat management system, green strategy, green process, green product dan green employee. Dan ada comformity percentage, target kuantitatifnya.” Prof. Dr. Emil Salim, Ketua Dewan Juri Indonesia Green Company 2012 yang diselenggarakan Majalah SWA, sungguh bersemangat ketika diminta mengomentari PT Astra Internasional Tbk. sebagai pemenang ajang pemilihan usaha hijau tersebut. Emil memiliki alasan kuat untuk bersikap demikian. Sebagaimana dipaparkannya, Astra tidak hanya hijau di atas kertas, melainkan sampai ke lantai pabrik dan areal perkebunannya. Dengan Astra Green Company, di hadapan Dewan Juri, Astra yang kini memiliki 112 ribu karyawan lebih itu membentangkan mimpinya menjadi usaha ramah lingkungan dengan ditunjang empat pilar: green strategy, green process, green product dan green employee. Dan konsep itu tak cuma sebagai penghias laporan keuangan tahunan. Pelaksanaannya di lapangan dipantau intensif oleh Astra Internasional, holding company grup usaha yang didirikan oleh mendiang William Soeryadjaya itu.
Lalu, kapan semua itu dimulai? Menurut Abdul Karim Suwandono, sejak ia menjadi karyawan Astra pada 1990, konsep green sudah melekat dalam visi Astra, yaitu to be a socially responsible corporation and to be environmentally friendly. “Namun, kalau berbicara sistem Manajemen Astra Green Company, sistem tersebut kami susun dan diimplementasikan sejak 1999,” tutur pria yang kini menjabat sebagai Ketua Tim Divisi Tanggung Jawab Lingkungan & Sosial Astra itu.
Tepatnya pada 1999 Astra menggaungkan program Astra Green Company. Nah, bagaimana sebuah konsep usaha hijau yang begitu muluk di kepala para pemegang keputusan bisa merasuk kedalam benak dan perilaku para eksekutor di lapangan? M.Riza Deliansyah, Kepala Divisi Tanggung Jawab Lingkungan & Sosial Astra, menceritakan, caranya adalah melalui keempat pilar Astra Green Company.
Green strategy, sebagai pilar pertama, dilaksanakan melalui skema PDCA (Plan, Do, Check, Action). “Dimulai dari filosofi usaha melalui Catur Dharma, visi kami, kemudian ada president letter, ada kebijakan dari top management, dan ada komitmen lewat corporate policy,” kata Riza. Dari kebijakan lantas diturunkan ke dalam program di divisi, departemen, dan seterusnya. Sebelum menyusun program, lembaga mengidentifikasi isu-isu unik disetiap bisnis, seperti potensi kelongsoran di pertambangan, pencemaran air asam tambang, dan emisi kendaraan. “Setelah rampung, lalu dibuat rencana kerja tahunan, diimplementasikan dan ada audit internal, setelah itu review,” ujar Riza.
Pilar kedua, green process, berkait dengan implementasi di lapangan. “Ada inspeksi, sampai pengendalian kesehatan dan program penghijauan menanam pohon. Contohnya, kalau karyawannya lebih dari 500 orang, mereka harus punya dokter. Ada sumur resapan di pertambangan dan manufacturing,” Riza menambahkan.
Percuma saja kalau strategi dan prosesnya baik tetapi produknya tidak menjual. “Makanya, poin ketiga adalah green product. Kami minta lembaga menerjemahkan apa produknya dan apa yang mesti dilakukan untuk menuju green tadi. PT Pamapersada, misalnya, dia bukan batu baranya, tetapi dia services untuk menghasilkan batu bara,” ujar Riza.
Terakhir, pilar green employee. “Kalau employee-nya tidak bagus, akan berantakan juga. Kami masukkan konsep juga ke departemen HRD untuk semangat sustainability. Dibuatlah buku panduan, pedoman assessment, dan sebagainya agar kami dapat bercermin berapa level kami dengan mengacu pada ISO 14000,” kata Riza.
Selain mengacu pada ISO 14000, buku pedoman penilaian yang dibuat juga mengacu pada regulasi pemerintah. “Maka, kalau Astra kasih status merah, pemerintah juga keluarkan status merah, tidak jauh dari ketetapan pemerintah,” ujar Riza. Ia menjelaskan, warna tersebut merupakan peta status kehijauan lembaga. Dimulai dari yang terburuk hitam, lantas merah, biru, hijau sampai warna emas mewakili peringkat terbaik.
Status tersebut bukanlah warna tanpa makna. “Efeknya mulai ramai karena lama-lama masuk ke KPI (key performance indicators) lembaga. Bonus lembaga akan berkurang ketika keluar status hitam,” katanya. Astra memang berupaya agar internalnya dapat melakukan pengukuran sendiri. “Mulailah kami buat pelatihan Environment Officer Development Program. Mereka dapat pelatihan, ada pengetahuan dasar Officer Development Program dan auditor internal,” tambahnya. Pelatihan ini melatih karyawan agar dapat memenuhi standar yang ada, memahami regulasi serta mengaudit. Setelah itu, karyawan bersangkutan diangkat menjadi auditor. “Jadi, yang melakukan pengukuran bisa dari group assessment, misalnya Astra Autopart melakukan audit untuk beberapa anak usahanya atau self assessment dari masing-masing lembaga. Bila self assessment diragukan, kami langsung kirim orang dari pusat.”
Adapun yang diukur menyangkut management system, yaitu green strategy, green process, green product dan green employee; critical poin yang menyangkut limbah cair, udara atau energi; limbah B3 (bahan beracun berbahaya); dan amdal/UK-UPL. “Legal compliance pun diukur. Bila salah satu dari indikator status nilainya rendah, nilai terendah itulah yang menentukan status lembaga itu ada di level peringkat apa,” kata Riza.
Peta status tersebut tentunya bukan satu-satunya indikator keberhasilan program. Karena, Astra adalah sebuah entitas komersial yang tujuannya juga mencetak laba. Jadi, Astra menurut Karim, juga memonitor manfaat komersial pelaksanaan program-programnya dengan memantau indikasi benefit to cost ratio (B/C ratio). Sebuah program akan terus dijalankan apabila B/C ratio-nya positif. “Jadi dengan demikian, cost yang kami keluarkan tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi lembaga,” Karim menegaskan.
Sebagai contoh, Riza menyebut pabrik Panca Motor yang memproduksi Izusu Panther dapat menghasilkan rupiah yang tidak sedikit dari program daur ulang. “Dari hasil sisa-sisa logam, mereka bisa gaji karyawan. Bisa dapat miliaran rupiah.”
Penulis: Siti Ruslina, Rias Andriati & Eddy Dwinanto Iskandar.
Disarikan dari majalah: SWA , Halaman: 60-62